Saturday, March 29, 2008

FOR THE SHAKE OF AMBON "MANISE"

In January 19,1999 Ambon and Maluku no longer become the city of "Manise" due to sectarian conflict among the local groups. Law and order was crippled, society was polarized into groups. Thus the violence become landscape of everday life in the city, and its really humanitarian tragedy. In the mids of these situation, Ambon Express as one of the latest news paper in the region exist. Actually from the name itself is not considering as new newspaper, because long before that there already exist the similar name which so called "Suara Maluku". Its expanding of Java Post Group, one of big local newspaper in Java Island. In fact they (two newspaper) are same, it is under one company, Java Post Group. But it can be said also that they are very different from each other, in sense that each group has its own managerial system. As Eriyanto stated, in the article entitled “Media dan Konflik (Media and Conflict)” that "Suara Maluku newspaper is being separated into two groups, such as, "Suara Maluku" and "Ambon Express".

It happens that since the social conflict spread out around the area, the society break through into different sectarian groups and people divided themselves according to the religion they belong to. Those who come from Muslim may not go to Christian community, and vice versa. Each group cannot interact or communicate each other and really being isolated from other group. This kind of situation gives great impact to the local media/newspaper especially in publishing daily information. They cannot publish the newspaper because the area was being banned by its own group not to enter into other area. However it is more complicated for the journalist especially for those who come from Muslim community to do their work normally because the main office of the Newspaper is located in Kampung (village)Halong Atas, one of Christian community. Instead of being banned from each group, some of their Muslim colleagues choose to establish Ambon Ekspress, and some are decided to leave Maluku island. For the group who established "Ambon Express", they continue their work by becoming freelance in other media,such as, Forum Keadilan Magazine, Republika, Jawa Pos, ect. But it is not take so long for them to go back to their first community to form their own newspasper, which they name it "Ambon Express".

To implement their idea, in following day, May 1999, the writer together with Machfud Waliulu (Vice General Manager/Chief of Finance Suara Maluku), Elly Sutrahitu (GM Suara Maluku) and Darmosius Sosebeko (Editorial Suara Maluku) made the meeting which was scheduled by Jawa Pos group. There were also the boss of Jawa Pos Dahlan Iskan and the director HM. Alwi Hamu. The result was agreement to establish a new newspaper, "Ambon Ekspress", so that the journalist can continuously express their idealism.

Ambon Ekspress first publication was on 12 July 1999 with the press license (SIUPP) from Junus Yosfia ni 1574/MENPEN/SIUPP/1999, 30 July 1000. The umbrella of the company was PT. Ambon Press Intermedia. The first time, Ambon Ekspress was located in the boarding house of Jalan Baru no 6, Ambon. Dahlan Iskan was elected as the Chair leader, meanwhile main commissioner HM. Alwi Hamu and director Syamsu Nur. The director of the company was Wachmud Waliulu, S.E, editor in chief is Drs. Ahmad Ibrahim, vice of chief editorial Ongki Anakoda, S.H and Hamid Kasim, S.E as the redactor.

Started as weekly magazine, Ambon Ekspress was printed in Makassar under collaboration with the printing company of Harian Fajar, Makasar. The oplah was 2.500 pieces.

The articles were sent from Ambon by fax and email, edited in Makasar, and after printed to be sent via the plane or express boat PT. Pelni. During first and half year Ambon Ekspress was quickly improved. And on Tuesday, May 10, 2001, Ambon Ekspress officially became daily and printed black and white in Ambon.

Since the beginning, Ambon Ekpress has great concern to the local issues including the previous conflict in Ambon. Some political figures stated that Ambon Ekspress is “in purpose” to provoke the society who are being trapped by the conflict. Coincidently, Ambon Ekspress who created by Muslim journalist was on the position of Suara Maluku competitor. Ambon Ekspress also signified as Islam representative newspaper.

During its consistency, press in Maluku always become the spot of the sample of conflict. Press also often to be positioned as the black goat. Furthermore, Suara Maluku-Ambon Ekpress case also positioned as the part of conflict lengthening. Though most of them understood hat the conflict was caused of many players involved. That is why in order to find the better composition of opinion, there should be certain indicator, so that the provocation standard from the media could be seen clearly, as well as the case of Ambon Ekspress.

In the meeting which was held at Hotel Salak, Bogor, February 2001, facilitated by Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Indonesia, under collaboration with the Asian of Foundation and BBC London, the attendance were from 42 journalist and the leaders of local mass media from Maluku and North Maluku. This meeting also attended by the Head of Press Board Atmakusumah and some other leaders, like a sociologist Dr. Imam Prasodjo, from Universitas Indonesia, Kapuspen TNI MArsekal Muda Gratio Usodo, Munir from human right activist watch, Maluku governor Dr. M. Saleh Latuconsina and Jawa Pos group boss Dahlan Iskan. That was the ‘judgment day’ of Ambon Ekspress.

During the event, the writer explained that “too subjective if it is said that Ambon Ekspress daily is neutral or not provoked during the conflict. All people realize that the conflict can caused social damage including our social systems, like the government, private sector, army/police, and mass media. Conflict exist not because of the media since it is happened before reported.”

In 2001 the following meeting was held in Surabaya, there the idea came up to combine this two media between Ambon Express and Suara Maluku. They decided that both have their own office but then the articles were united. The printing company (Suara Maluku has Harris mark and Ambon Ekspress has Collor Web mark), was placed on the neutral location. With this idea, the negative image of the conflict amongst media in Maluku will be eliminated. But, this idea was dropped down. Ambon had already become fragmented into sectarian groups based on the ‘religious’ issue, no neutral place. With his headache, Dahlan Iskan said, “How if we unite the machine and be called Al-Harris. Principally, machine has no religion, only human being has it?”(Rhoma Dwi Aria Yuliantri)

::Selengkapnya::

Wednesday, March 12, 2008

Untuk Dunia Buku


Siapakah orang paling berpengaruh dalam sejarah? Untuk menjawabnya, ada baiknya Anda buka Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah terbitan Pustaka Jaya (1982). Di buku itu, bertengger pada urutan 6 dan 7, Anda akan menemukan nama Ts'ai Lun dan Johan Gutenberg. Nama pertama adalah penemu kertas, sedangkan nama selanjutnya penemu mesin cetak.

Pada mulanya adalah kertas, ditera pada lembar-lembarnya huruf-huruf, digabungkan, diberi lem, dan di-binding, walhasil jadilah buku. Buku-buku disebar ke seluruh dunia, melewati sekat pembatas, menembus waktu. Berkat buku, kehidupan pada abad-abad yang lewat bisa hadir di hadapan kita: kini dan di sini. Dengan alur itu, tak heran bila Lun dan Gutenberg masuk dalam daftar pesohor pengubah sejarah. Bukankah sejarah lahir setelah ada tulisan, dan tulisan menjadi abadi tersebab kertas dan cetakan?

Begitulah, setiap berhadapan dengan buku, kita selalu berjumpa dengan ketakjuban-ketakjuban. O, apakah dunia buku kita sama menakjubkannya dengan buku itu sendiri? Tentu saja, Saudara. Cobalah buka dan baca Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia terbitan Yayasan Lontar bekerjasama dengan Weatherhill Inc., akan Anda temui betapa tradisi aksara di Indonesia jauh lebih awal dari yang dketahui.

Anda tentu tahu kalangon, seni menulis puisi dalam tradisi Jawa Kuno. Tradisi ini telah melahirkan antara lain Ramayana (abad ke-9) dan Arjunawiwaha (abad ke-11). Atau berkunjunglah ke Tanah Bugis, di sana ada puisi epik I La Galigo atau Sureq Galigo, naskah yang hingga kini merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Juga sempatkanlah mampir ke Bima, ada Bo' Sangaji Kai, buku catatan raja-raja Bima selama dua abad. Mengagumkan, bukan?

Tentu kekaguman pada warisan silam saja tak cukup. Yang lebih penting adalah meneruskan tradisi itu, mencatat perkembangan dunia menakjubkan tersebut sepanjang zaman. Untunglah, di antara sekian banyak yang tak peduli, MataBaca tampil mengemban tugas itu. Lima tahun sudah majalah ini merekam jejak belantara buku Indonesia.

Terbit perdana pada Agustus 2002, Mata Baca menjumpai pembacanya saban sebulan sekali. Majalah ini terbit berkat kerja mitra Bank Naskah Gramedia dan Penerbit IndonesiaTera. Bank Naskah Gramedia merupakan bagian dari industri buku terbesar negeri ini, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang berkediaman di Jakarta, mewakili pusat, sementara IndonesiaTera berkantor di sebuah desa di Magelang, representasi penerbitan kecil di wilayah tengah Jawa.

Pada sebuah siang di tahun 2002, di Hotel Santika Yogyakarta perwakilan kedua penerbitan itu bertemu. Pihak Bank Naskah Gramedia diwakili Theodorus J. Koekerits dan penyair Joko Pinurbo. Sementara dari pihak IndonesiaTera datang Andreas Darmanto dan direkturnya yang juga penyair, Dorothea Rosa Herliany. Seturut pengakuan Joko Pinurbo dalam MataBaca vol V/No 1/September 2006, pertemuan itu berusaha "menindaklanjuti gagasan Frans M. Parera ... tentang perlunya segera menerbitkan majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan".

Barangkali benar pengakuan itu, bahwa gagasan majalah perbukuan tersebut merupakan gagasan Frans Parera, petinggi KKG. Karena itu kemudian namanya bercokol sebagai pemimpin umum. Sementara di antara mereka yang bertemu, Dorothea Rosa Herliany menjadi wakilnya, T. Jacob Koekerits menjabat pemimpin redaksi, dan Joko Pinurbo kebagian redaktur pelaksana.

Perihal nama MataBaca sendiri, keputusan untuk memakai nama itu, demikian Pinurbo, lebih dipukau oleh pesona puitiknya ketimbang makna leksikalnya. Pada mulanya adalah nama, setelahnya baru rasionalisasi terhadap nama itu. Kata Pinurbo, rasionalisasinya adalah "Mata perlu dididik dan dibudayakan agar semakin jernih dan tajam. Agar semakin mampu melihat dan menembus dimensi-dimensi yang lebih dalam di balik hiruk-pikuk peristiwa dan riuh-rendahnya perkembangan zaman. Agar semakin tekun dan pintar membaca. Bukan sekadar membaca buku atau deretan aksara, tapi juga membaca berbagai fenomena yang bersliweran di tengah pusaran kehidupan masyarakat."

Kerjasama kedua pegiat penerbitan itu menghasilkan karya apik: kekhasan perwajahan ala penerbitan Yogyakarta yang nyeni, seperti dianut juga IndonesiaTera, jelas terlihat. Sementara, karena dicetak oleh Percetakan milik Gramedia yang canggih, wajahnya jadi terlihat lebih cantik. Tak hanya perwajahannya, isinya juga informatif. Di antara rubrikasinya ada "Gagas" yang berisi opini seputar perbukuan, "Raut" tentang tokoh atau wajah suatu penerbitan, "Warta" berita dunia buku, "Kupas" merupakan resensi buku-buku yang baru beredar, dan "Renung", sebuah kontemplasi dengan puisi.

Pada edisi-edisi awal, pembaca bisa berpartisipasi mengisi semua rubrik tersebut. Walhasil, alih-alih menyodorkan satu tema tertentu dalam satu edisi, majalah ini nyaris serupa kumpulan tulisan terserak banyak orang. Belakangan, majalah ini punya beberapa kontributor yang menuangkan tulisan-tulisan bertema sama dalam satu edisi, mengurangi jatah tulisan pembaca.

Namun demikian, majalah ini selayaknya didukung. Setidaknya alasannya adalah dia satu-satunya yang mengkaver wajah perbukuan kita. Memang selain MataBaca ada "Ruang Baca". Namun "Ruang Baca" tak lebih dari suplemen sebuah koran dan nyaris hanya berisi kumpulan resensi semata.

Kesendirian tentu tidak bisa jadi alasan untuk tidak berbenah. Perubahan adalah hal niscaya. Seiring waktu, MataBaca pun tak bisa mengabaikan hukum alam ini. Namun perubahannya sedikit membuat kita tertegun: majalah ini menjadi lebih muda dan ngepop. Karenanya dalam rasionalisasinya Joko Pinurbo menulis, "majalah ini ingin lebih mendekat ke kalangan muda, ke mata-mata muda yang diharapkan dapat ikut menciptakan keindahan manusiawi di tengah kemelut kehidupan masyarakat yang lebih gelap mata dan membabibuta." Rasionalisasi yang jelas tidak tercetus ketika terjadi pertemuan Santika.

Perubahan sejak edisi September 2005 itu tak hanya pada perwajahan dan isinya yang lebih gaul, tapi juga mereka yang berada pada kursi redaksional. Orang-orang IndonesiaTera tak lagi duduk di sana. Dan hasilnya pun jelas: ciri nyeni ala penerbitan Jogja dengan tampilan lukisan yang semula menghias tiap edisi, terutama pada kaver depan, menghilang, diganti dengan pose penulis atau pemilik penerbitan yang direkam oleh jepretan fotografer, dengan judul yang jelas ngepop: "Pram, Gue Banget!", "Kalau Seleb Jadi Penulis", "Nggak Zamannya Lagi Penulis Miskin", "Sains Gak Ada Matinye". Judul-judul itu juga diupayakan mengikat tulisan-tulisan di dalamnya, terutama di bawah rubrik "Gagas Utama".

Mengapa IndonesiaTera tidak lagi berkecimpung mengelola majalah berjargon "Jendela Dunia Pustaka" (sebelumnya: "Mencermati Dunia Pustaka") ini? Tak ada penjelasan. Yang jelas, sejak merebaknya penerbitan di Yogyakarta dan sekitarnya pascareformasi 1998, musim surut menghantui semenjak tahun 2005-an. Konon, jumlah penerbitan di Yogyakarta waktu itu mencapai ratusan. Satu per satu penerbit Yogya itu jatuh. Beberapa yang namanya kadung besar, diakuisisi oleh penerbitan dari kota lain. Termasuk IndonesiaTera yang pada penghujung 2006 dibeli oleh distributor buku besar asal Jakarta.

Bertahan di negeri dengan minat baca rendah memang bukan pekerjaan mudah, tak hanya bagi penerbitan di Yogyakarta, tetapi juga penerbitan di kota lain. Bayangkan, buku yang dicetak 1000 eksemplar saja harus melewati masa bertahun-tahun agar bisa habis dipasarkan. Buku paling laris pun, dengan tema sensasional, hanya laku puluhan ribu eksemplar. Berapa persen jumlah itu dibanding penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa?

Kendala lain adalah pertarungan antarpenerbit yang nyaris serupa arena tarung bebas dengan hukum rimba: yang kuat memangsa yang lemah. Belum lagi harga kertas yang terus melambung, iklim pemasaran yang tak berpihak pada industri kecil, serta regulasi perbukuan yang tak jelas. Dan satu lagi: tak ada badan yang memayungi semua penerbitan itu. Alih-alih menjadi pengayom dan pembina, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) punya syarat yang tak bakal genap dipenuhi penerbitan kecil.

Serta yang terpenting: badan ini menjadi semacam event organizer pameran buku semata. Peran lain nyaris tak ada. Misalnya, ketika penerbitan kecil punya masalah ketidaktahuan atau dalam posisi tawarnya membeli rights dari penerbitan luar, tak ada upaya IKAPI memberikan diklat atau menguruskannya. Ketika ada dua penerbitan, satu kecil dan satu besar, saling bertarung atas nama hak penerjemahan, tak ada usaha IKAPI menengahi. Juga ketiadaan regulasi yang jelas, tak ada tuntutan apa pun dari badan ini kepada pemerintah. Sampai kapan langit buku Indonesia akan tetap dikurung mendung?

Sebagai satu-satunya media perbukuan di negeri ini, tentu tak salah bila kita berharap MataBaca membantu menghapus mendung itu. Sebagaimana ide awal pendirian majalah ini, "majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan", mestinya ia juga punya fungsi advokasi bagi insan perbukuan yang nyaris tak bisa berkutik. Bila harapan ini dipenuhi, tentulah bisa majalah ini dimasukkan dalam daftar pemengaruh sejarah, setidaknya sejarah negeri ini.

Entahlah, Saudara, bila ia sudah menjadi penyuara penerbitan besar itu.(Rhoma Dwi Aria Yuliantri)

::Selengkapnya::

Thursday, March 6, 2008

Dari Jurnal ke LSM Profesional


Sepulang dari mengambil Master di Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale, Prancis pada 1994, Gadis Arivia mengajar studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswanya mengalami kesulitan lantaran bahan-bahan bacaan berbahasa Indonesia tidak banyak ditemukan. Gadis pun membuat buletin, oplah pertama berbentuk stensilan (15-20 lembar) yang dibagikan kepada para mahasiswanya yang mengikuti kuliah ”Paradigma Studi Wanita” Universitas Indonesia, dicetak sekitar 200 eksemplar dan langsung habis.

The Ford Foundation, sebuah lembaga dana Amerika Serikat, tertarik dengan buletin berisi teori dan perkembangan feminisme itu. Lembaga itu bersedia mendanai dengan syarat harus ada legalitas secara hukum. Bersama Ida Dhani, Toeti Heranty Noerhadi, Asikin Arif, dan Gadis mendirikan badan hukum yang dinamai Yayasan Jurnal Perempuan. Modalnya hanya empat juta yang segera pula dikembalikan setelah yayasan berdiri.

Mereka berempat langsung bekerja. Awalnya, JP terbit pada bulan Agustus 1996, dengan ISSN: 0854-2481, beralamatkan di ruang belajar Gadis Jl. Taman Patra V/16, Jakarta 12950. JP muncul perdana dengan lebar 21 cm dan panjang 30 cm (berbentuk panjang, sekarang berbentuk seperti buku), seharga Rp. 9.200,- dengan 98 halaman. Atau harga langganan Rp. 36.000,- per tahun. Edisi tersebut menampilkan topik utama tentang kekerasan terhadap perempuan, judul artikel utama adalah ”Mengapa Perempuan Disiksa?”.

Kelahiran JP tidak pernah direncanakans ecara matang dengan tim yang terorganisir. JP lahir dari imajinasi, keinginan untuk memiliki bacaan yang serius tentang masalah perempuan. Imajinasi Gadis adalah menerbitkan majalah perempuan seperti dalam majalah Prisma, padat dan berisi. Sejak awal tulisan di JP mengambil arah ilmiah populer, yang dapat dicerna dengan mudah tetapi tidak dangkal dan tanpa refleksi.

Redaksi JP pada awalnya adalah orang-orang yang mau bekerja secara volunteer dan meluangkan waktu untuk mengedit atau menyumbangkan tulisan untuk JP. Redaksi JP baru mulai profesional pada awal tahun 1997/1998 dengan melakukan perekrutan, membuka lowongan redaksi. Dengan kriteria yang tidak terlalu ketat, menginggat terbatasnya pengetahuan studi gender waktu itu.

Distribusi JP pun mengalami kesulitan. Ketika itu, tidak ada orang yang tertarik membeli apalagi berlangganan JP karena tidak dianggap penting. JP pun terkadang ditolak orang pemasaran, tanapa melihat kualitasnya lebih dulu, karena dianggap kurang laku dan tidak akan diminati. Ada pula yang berkilah ”harus ada jurnal laki-laki dong, baru itu namanya adil”. Pendek kata, pada awal-awal JP terjadi banyak penolakan.

Ungkap Gadis: ’Kalau jurnal kami diterima di toko buku (pada waktu itu Gramedia yang terbesar) jurnal kami ditaruh di bagian belakang bersama buku-buku ”dan lain-lain”, atau masakan. Jadi, kami harus rajin mengontrol ke toko buku dan menaruhnya sendiri di rak-rak buku yang mudah dilihat orang secara diam-diam. Sering juga saya ke toko buku dam membaca JP dengan cara provokatif, lalu mengatakan kepada calon pembeli bahwa jurnal ini bagus, saya pelanggan setia, mereka tidak tahu kalau saya dari JP.”

JP menjadi lebih terkenal sebagai organisasi pada tahun 1998 ketika beberapa anggotanya, seperti, Karlina Supelii dan Gadis Arivia ditangkap karena demonstrasi Suara Ibu Peduli.

Pada perkembangannya, ternyata jurnal ini cukup banyak diminati khalayak, sehingga menuntut penanganan yang serius, terlebih isi dan kemasannya, oplah pun bisa ditembus hingga 5000 eksemplar. Hingga akhir Desember 2003 Jurnal Perempuan mencapai edisi ke-32 dan pada Maret 2007 mencapai 52. Jurnal berukuran sebesar buku biasa ini telah pula terdistribusikan hampir di seluruh toko buku ternama di Indonesia.

Dibiayai oleh sekian lembaga dana serta perusahaan nasional dan internasional, yang mengangsur sekitar 60 persen kebutuhannya, YJP berkembang menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kini diawaki lebih 20 orang. Tak hanya menerbitakn jurnal, yayasan ini juga menerbitkan buku-buku tentang feminisme dan gerakan perempuan. Salah satunya adalah buku Filsafat Berperspektif Feminis, reproduksi dari disertasi Gadis Arivia di jurusan Filsafat UI.

Selanjutnya di tahun 1998 YJP menerima tawaran dari Internews Indonesia untuk mencoba sebuah bidang yang baru dan penuh tantangan yakni memproduksi program radio bernama Program Radio Jurnal Perempuan (PRJP) yang mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan khususnya di tingkat lokal.

Bila Jurnal Perempuan yang formatnya seperti majalah Granta dan bertiras 2.000 eksemplar, dikhususkan untuk segmen menengah-atas dan akademisi, program radio (102 stasiun radio) ditujukan untuk segmen menengah ke bawah. Radio memang lebih mudah diakses bahkan oleh masyarakat di pedesaan. Murah, mudah, dan dapat didengarkan kapan saja sembari tetap beraktivitas.

Program Radio Jurnal Perempuan hingga kini tetap mengudara setiap minggunya dan menyapa pendengar di Indonesia bersama 162 stasiun radio mitra kerja YJP di seluruh pelosok tanah air. Hingga kini PRJP telah menghasilkan lebih dari 200 program yang menyuarakan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

Selanjutnya pada tahun 2000 YJP kembali menjajal bidang baru yakni pembuatan film dokumentasi. Divisi ini selanjutnya dinamai Video Jurnal Perempuan yang hingga saat ini telah berhasil memproduksi 3 film dokumentasi yakni “Kekerasan terhadap Perempuan”, “Perempuan di Wilayah Konflik” serta “Perdagangan Anak dan Perempuan”.

Selain lima divisi utama YJP yakni penerbitan Jurnal Perempuan, penerbitan buku-buku berperspektif gender, produksi Program Radio Jurnal Perempuan, pembuatan film dokumenter dan Program Jurnal Perempuan online, YJP juga memiliki 3 divisi pendukung lainnya: toko buku Perempuan, event organizer, dan Informasi dan Dokumentasi. Toko buku Perempuan beralamat di kantor di Yayasan Jurnal Perempuan dan buka setiap hari kerja. Di samping itu tim marketing YJP juga giat melakukan penjualan di pameran, bazar dan seminar-seminar bertema perempuan sebagai bagian dari strategi menjemput bola.

Departemen pengembangan YJP juga secara rutin menyelenggarakan event seperti diskusi rutin bulanan, kampanye, seminar, peluncuran buku, workshop dan training. YJP juga membuka kesempatan konseling bagi perempuan yang membutuhkan konsultasi, dan berbagai pihak yang membutuhkan berbagai informasi tentang isu-isu gender. Semua dalam rangka terus mensosialisasikan gagasan-gagasan gender kepada masyarakat.

Adapun acara-acara yang pernah diselenggarakan oleh YJP antara lain adalah kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya dalam rangka memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan, workshop perempuan di parlemen, kampanye stop perdagangan anak perempuan, training hak-hak perempuan, training gender untuk laki-laki, training jurnalisme berperspektif gender yang diselenggarakan tiap tahun, dan lain sebagainya.

Demikianlah, dari yang semula hanya menerbitkan jurnal, YJP berkembang menjadi sebuah LSM yang besar. Memang demikianlah idealnya: kerja pemikiran lewat jurnal diwujudkan dalam aksi nyata lewat gerakan. Ilmuan tidak lagi berdiri di menara gading, melainkan turun gunung membangun masyarakat.

Namun, dari penggunaan namanya, jelas yayasan ini menitikberatkan pada jurnalnya. Setelah delapan tahun usianya, Jurnal Perempuan makin mengokohkan diri di tengah gempita intelektual Indonesia yang semarak. Dan jurnal ini mampu bertahan di tengah kepungan budaya instan yang semakin pongah. Mungkin kebertahanan itu sebab ia jurnal dengan perspektif spesifik: feminisme.

Menu yang dihadirkan jurnal ini pun beragam. Isu kesetaraan perempuan dihembuskan tidak hanya lewat tulisan berat khas jurnal, tapi juga ada rubrik ”Sastra” yang berisi cerpen dan puisi. Di samping itu, juga ada ”Resensi” berisi info dan ulasan buku-buku bertema femisnisme terbaru.

Nyaris tak ada iklan di lembar jurnal berbandrol Rp. 19.000,- ini. Mungkin itu disebabkan jurnal ini banyak didukung funding. Bila berlangganan, jurnal yang terbit dua bulanan ini, berarti enam edisi dalam setahun, harganya menjadi Rp. 130.000,- untuk pulau Jawa, dan Rp. 160.000,- di luar Jawa.

Beberapa edisi telah habis di pasaran. Bagaimana bila ingin membacanya? Silakan datang ke Informasi dan Dokumentasi (Indok) YJP. Bagi Anda yang tidak mukim di Jakarta, bisa mengaksesnya di menu Indok pada situs www.yjp.or.id. Tapi akses itu tidak gratis. Anda dibebani biaya Rp. 25.000,- per tahun untuk membukanya. Biaya yang tak seberapa, dibanding ilmu yang bisa ditangguk dari dalamnya. (Rhoma Dwi Aria Yilantri/Indonesia Buku)

::Selengkapnya::