Thursday, March 6, 2008

Dari Jurnal ke LSM Profesional


Sepulang dari mengambil Master di Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale, Prancis pada 1994, Gadis Arivia mengajar studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswanya mengalami kesulitan lantaran bahan-bahan bacaan berbahasa Indonesia tidak banyak ditemukan. Gadis pun membuat buletin, oplah pertama berbentuk stensilan (15-20 lembar) yang dibagikan kepada para mahasiswanya yang mengikuti kuliah ”Paradigma Studi Wanita” Universitas Indonesia, dicetak sekitar 200 eksemplar dan langsung habis.

The Ford Foundation, sebuah lembaga dana Amerika Serikat, tertarik dengan buletin berisi teori dan perkembangan feminisme itu. Lembaga itu bersedia mendanai dengan syarat harus ada legalitas secara hukum. Bersama Ida Dhani, Toeti Heranty Noerhadi, Asikin Arif, dan Gadis mendirikan badan hukum yang dinamai Yayasan Jurnal Perempuan. Modalnya hanya empat juta yang segera pula dikembalikan setelah yayasan berdiri.

Mereka berempat langsung bekerja. Awalnya, JP terbit pada bulan Agustus 1996, dengan ISSN: 0854-2481, beralamatkan di ruang belajar Gadis Jl. Taman Patra V/16, Jakarta 12950. JP muncul perdana dengan lebar 21 cm dan panjang 30 cm (berbentuk panjang, sekarang berbentuk seperti buku), seharga Rp. 9.200,- dengan 98 halaman. Atau harga langganan Rp. 36.000,- per tahun. Edisi tersebut menampilkan topik utama tentang kekerasan terhadap perempuan, judul artikel utama adalah ”Mengapa Perempuan Disiksa?”.

Kelahiran JP tidak pernah direncanakans ecara matang dengan tim yang terorganisir. JP lahir dari imajinasi, keinginan untuk memiliki bacaan yang serius tentang masalah perempuan. Imajinasi Gadis adalah menerbitkan majalah perempuan seperti dalam majalah Prisma, padat dan berisi. Sejak awal tulisan di JP mengambil arah ilmiah populer, yang dapat dicerna dengan mudah tetapi tidak dangkal dan tanpa refleksi.

Redaksi JP pada awalnya adalah orang-orang yang mau bekerja secara volunteer dan meluangkan waktu untuk mengedit atau menyumbangkan tulisan untuk JP. Redaksi JP baru mulai profesional pada awal tahun 1997/1998 dengan melakukan perekrutan, membuka lowongan redaksi. Dengan kriteria yang tidak terlalu ketat, menginggat terbatasnya pengetahuan studi gender waktu itu.

Distribusi JP pun mengalami kesulitan. Ketika itu, tidak ada orang yang tertarik membeli apalagi berlangganan JP karena tidak dianggap penting. JP pun terkadang ditolak orang pemasaran, tanapa melihat kualitasnya lebih dulu, karena dianggap kurang laku dan tidak akan diminati. Ada pula yang berkilah ”harus ada jurnal laki-laki dong, baru itu namanya adil”. Pendek kata, pada awal-awal JP terjadi banyak penolakan.

Ungkap Gadis: ’Kalau jurnal kami diterima di toko buku (pada waktu itu Gramedia yang terbesar) jurnal kami ditaruh di bagian belakang bersama buku-buku ”dan lain-lain”, atau masakan. Jadi, kami harus rajin mengontrol ke toko buku dan menaruhnya sendiri di rak-rak buku yang mudah dilihat orang secara diam-diam. Sering juga saya ke toko buku dam membaca JP dengan cara provokatif, lalu mengatakan kepada calon pembeli bahwa jurnal ini bagus, saya pelanggan setia, mereka tidak tahu kalau saya dari JP.”

JP menjadi lebih terkenal sebagai organisasi pada tahun 1998 ketika beberapa anggotanya, seperti, Karlina Supelii dan Gadis Arivia ditangkap karena demonstrasi Suara Ibu Peduli.

Pada perkembangannya, ternyata jurnal ini cukup banyak diminati khalayak, sehingga menuntut penanganan yang serius, terlebih isi dan kemasannya, oplah pun bisa ditembus hingga 5000 eksemplar. Hingga akhir Desember 2003 Jurnal Perempuan mencapai edisi ke-32 dan pada Maret 2007 mencapai 52. Jurnal berukuran sebesar buku biasa ini telah pula terdistribusikan hampir di seluruh toko buku ternama di Indonesia.

Dibiayai oleh sekian lembaga dana serta perusahaan nasional dan internasional, yang mengangsur sekitar 60 persen kebutuhannya, YJP berkembang menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kini diawaki lebih 20 orang. Tak hanya menerbitakn jurnal, yayasan ini juga menerbitkan buku-buku tentang feminisme dan gerakan perempuan. Salah satunya adalah buku Filsafat Berperspektif Feminis, reproduksi dari disertasi Gadis Arivia di jurusan Filsafat UI.

Selanjutnya di tahun 1998 YJP menerima tawaran dari Internews Indonesia untuk mencoba sebuah bidang yang baru dan penuh tantangan yakni memproduksi program radio bernama Program Radio Jurnal Perempuan (PRJP) yang mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan khususnya di tingkat lokal.

Bila Jurnal Perempuan yang formatnya seperti majalah Granta dan bertiras 2.000 eksemplar, dikhususkan untuk segmen menengah-atas dan akademisi, program radio (102 stasiun radio) ditujukan untuk segmen menengah ke bawah. Radio memang lebih mudah diakses bahkan oleh masyarakat di pedesaan. Murah, mudah, dan dapat didengarkan kapan saja sembari tetap beraktivitas.

Program Radio Jurnal Perempuan hingga kini tetap mengudara setiap minggunya dan menyapa pendengar di Indonesia bersama 162 stasiun radio mitra kerja YJP di seluruh pelosok tanah air. Hingga kini PRJP telah menghasilkan lebih dari 200 program yang menyuarakan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

Selanjutnya pada tahun 2000 YJP kembali menjajal bidang baru yakni pembuatan film dokumentasi. Divisi ini selanjutnya dinamai Video Jurnal Perempuan yang hingga saat ini telah berhasil memproduksi 3 film dokumentasi yakni “Kekerasan terhadap Perempuan”, “Perempuan di Wilayah Konflik” serta “Perdagangan Anak dan Perempuan”.

Selain lima divisi utama YJP yakni penerbitan Jurnal Perempuan, penerbitan buku-buku berperspektif gender, produksi Program Radio Jurnal Perempuan, pembuatan film dokumenter dan Program Jurnal Perempuan online, YJP juga memiliki 3 divisi pendukung lainnya: toko buku Perempuan, event organizer, dan Informasi dan Dokumentasi. Toko buku Perempuan beralamat di kantor di Yayasan Jurnal Perempuan dan buka setiap hari kerja. Di samping itu tim marketing YJP juga giat melakukan penjualan di pameran, bazar dan seminar-seminar bertema perempuan sebagai bagian dari strategi menjemput bola.

Departemen pengembangan YJP juga secara rutin menyelenggarakan event seperti diskusi rutin bulanan, kampanye, seminar, peluncuran buku, workshop dan training. YJP juga membuka kesempatan konseling bagi perempuan yang membutuhkan konsultasi, dan berbagai pihak yang membutuhkan berbagai informasi tentang isu-isu gender. Semua dalam rangka terus mensosialisasikan gagasan-gagasan gender kepada masyarakat.

Adapun acara-acara yang pernah diselenggarakan oleh YJP antara lain adalah kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya dalam rangka memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan, workshop perempuan di parlemen, kampanye stop perdagangan anak perempuan, training hak-hak perempuan, training gender untuk laki-laki, training jurnalisme berperspektif gender yang diselenggarakan tiap tahun, dan lain sebagainya.

Demikianlah, dari yang semula hanya menerbitkan jurnal, YJP berkembang menjadi sebuah LSM yang besar. Memang demikianlah idealnya: kerja pemikiran lewat jurnal diwujudkan dalam aksi nyata lewat gerakan. Ilmuan tidak lagi berdiri di menara gading, melainkan turun gunung membangun masyarakat.

Namun, dari penggunaan namanya, jelas yayasan ini menitikberatkan pada jurnalnya. Setelah delapan tahun usianya, Jurnal Perempuan makin mengokohkan diri di tengah gempita intelektual Indonesia yang semarak. Dan jurnal ini mampu bertahan di tengah kepungan budaya instan yang semakin pongah. Mungkin kebertahanan itu sebab ia jurnal dengan perspektif spesifik: feminisme.

Menu yang dihadirkan jurnal ini pun beragam. Isu kesetaraan perempuan dihembuskan tidak hanya lewat tulisan berat khas jurnal, tapi juga ada rubrik ”Sastra” yang berisi cerpen dan puisi. Di samping itu, juga ada ”Resensi” berisi info dan ulasan buku-buku bertema femisnisme terbaru.

Nyaris tak ada iklan di lembar jurnal berbandrol Rp. 19.000,- ini. Mungkin itu disebabkan jurnal ini banyak didukung funding. Bila berlangganan, jurnal yang terbit dua bulanan ini, berarti enam edisi dalam setahun, harganya menjadi Rp. 130.000,- untuk pulau Jawa, dan Rp. 160.000,- di luar Jawa.

Beberapa edisi telah habis di pasaran. Bagaimana bila ingin membacanya? Silakan datang ke Informasi dan Dokumentasi (Indok) YJP. Bagi Anda yang tidak mukim di Jakarta, bisa mengaksesnya di menu Indok pada situs www.yjp.or.id. Tapi akses itu tidak gratis. Anda dibebani biaya Rp. 25.000,- per tahun untuk membukanya. Biaya yang tak seberapa, dibanding ilmu yang bisa ditangguk dari dalamnya. (Rhoma Dwi Aria Yilantri/Indonesia Buku)

1 comment:

Nasrullah said...

Assalamu alaikum wr.wb.
Terima kasih kamu mengunjung fs ku di http://www.friendster.com/lantingbarito.
Aku undang anda datang di rumah mayaku http://bakumpai-dayak.blogspot.com atau http://danummurik.wordpress.com