Thursday, March 29, 2007

Sinar Djawa: Antara SI, Semaoen, dan Radikalisme Pers


“Sama Rata Sama Rasa”. Menyebut kalimat itu, asosiasi langsung ke alamat gerakan bernasib paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni PKI. Padahal, kalimat yang merupakan judul artikel itu merupakan respons atas kekuatan-kekuatan internasional yang bermain di Nusantara. Penulisnya adalah Mas Marco dan pertama kali disiarkan Sinar Djawa sebagai headline pada 16 April 1918.
“Selama kita masih mempoenjai kesabaran, tentoe hal jang koerang menjenangkan itoe tida akan kedjadian, tetapi kalau kesabaran itoe sudah lenjap, barang kali tida djarang kalau semoea anak Hindia mempoenjai tekat dan berkata: HILANGE TANAH DJOWO BARENG KARO PATIKOE!! (tanah Hindia hilang dari tangannja anak Hindia, dia orang mati).

Di sitoe barang kalai waktoenja anak Hindia mati semoea dan Belanda jang ada di tanah kita tida hidoep lagi! Siapakah jang oentoeng? Jaitoe orang Djepang jang soedah lama kepingin gandengan dengan poeteri jang amat molek parasnja si tanah Djowo. Kalau betoel kedjadian begitoe, tentoe kita sekalian dikatakan orang sama gilanja, karena tida soeka hidoep roekoen, tetapi lebih baik mati bersama-sama!” tulis Marco.

Sinar Djawa memang dikenal sebagai suratkabar kaum progresif yang berisi kritik dan kecaman terhadap pemerintah dan sekaligus corong Sarekat Islam (SI) dalam upaya mempropagandakan kekuatan massa.

SI membeli koran ini dari perusahaan Tionghoa Hoang Thaif dan Co. Untuk menjamin kelangsungan hidup ekonomi harian ini, Raden Mohammad Joesoef, pemimpin redaksi dan wakil ketua SI cabang Semarang menjual saham NV Handel Maatschappijen Drukkerij Sinar Djawa pada anggota SI seharga 5 f per lembar pada Januari 1914 untuk membentuk perusahaan dagang yang akan menjalankan koran tersebut.

Awalnya koran progresif ini menyapa pembaca setiap bulan sekali dan banyak yang dibagikan secara gratis kepada anggota di pelbagai cabang. Sebagai suratkabar yang progresif, Sinar Djawa diperuntukkan sebagai medan pendidikan kader yang direalisasikan dalam formasi susunan redaksi. Pada 1917, tampak kekuasaan pemimpin redaksi Sinar Djawa berpindah tangan dari Mohammad Joesoef kepada Semaoen, salah seorang murid dan kader yang sudah lama tinggal bersama dengan Tjokroaminoto. Semaoen adalah satu dari tiga yang lahir dari didikan Tjokro, yakni Soekarno dan SM. Kartosuwiryo. Dan kita tahu ketiga orang yang pernah tinggal seatap saling hantam di kemudian hari dalam sejarah besar Republik.

Pada masa Semaoen ini Sinar Djawa terbit 4 halaman setiap hari (kecuali hari Ahad, Djoemaat, dan hari besar). Distribusi Sinar Djawa pun tak hanya mencakup wilayah Nusantara, tapi merambah hingga benua Amerika dan Eropa. Biaya berlangganan setahun untuk wilayah Hindia Belanda sebesar f 16, setiap tiga bulan f 4. Sedangkan tarif berlanggan untuk luar Hindia Belanda setahun sebesar f 20, dan setiap 3 bulan f 5. Atas distribusi yang luas maka tak heran bila harga iklan Sinar Djawa tergolong mahal, yaitu 75 cent untuk setiap baris, dan satu kolom 30 cent. Satu kali memasang iklan, setidaknya akan dimuat dua kali.

Yang mesti dicatat, di tangan Semaoen inilah—kala itu masih sangat belia, berusia 18 tahun—bandul Sinar Djawa bergerak kuat ke kutub progresif dan radikal. Selain Semaoen, pemuda legendaris semacam Mas Marco Kartodikromo juga turut memompa bara di sana. Kedua manusia yang telah putus urat takutnya inilah yang mengemudikan Sinar Djawa dengan gaya berteriak, menjambak, dan memukul.

Awas! awas! Soedara-soedara, roekoen, roekoen, ngisor galeng doewoer galeng “djangan seperti anak ketjil, Engatlah: Doerdjono hoera-hoera, wong tani ditaleni. Djaman heda.” Koem Boeroeh Roekoenlah! Roekoen membikin koet dan koet menambah selamat, Boenoeh...
Kaoem Boeroh, koempollah djadi satoe.... (Sinar Djawa, Senen 22 April 1918)
Keberadaan Semaoen yang dinilai terlalu progresif dalam mengemudikan Sinar Djawa kerap beroleh kritik dan cercaan dari pelbagai pihak, walaupun tidak sedikit pujian yang menghampiri. Rinkes misalnya, seorang pegawai pangrehpraja, dalam acara kunjungan penilaian jurnal pergerakan di tahun 1917, mencatat adanya perbaikan mutu Sinar Djawa setelah dipegang Semaoen. Adanya kecenderungan pola pikir yang progresif dan radikal juga dinilai Tjokroaminoto sebagai pengaruh psikologis jiwa muda pengasuhnya dan bukan karena pengaruh ideologinya semata.

Pemikiran lain justru muncul dari pemimpin redaksi lama, Mohammad Joesoef. Ia melihat pola pikir Semaoen terlalu dipengaruhi Snevleet, terutama ide kebebasan Pers yang dikemukakannya saat sidang. Mohammad Joesoef melihat Soemaoen terlalu gegabah mengemudikan Sinar Djawa. Akibat perdebatan yang panjang, lama kelamaan, Sinar Djawa menjadi wadah seteru “Anak dan Bapak”.

Menanggapi kritikan yang dilontarkan Mohammad Joesoef, Semaoen tidak tinggal diam. Ia mengatakan dalam bahasa yang tajam bahwa selama ini Sinar Djawa dinilai terlalu lembek jika berhadapan dengan pemerintah. Jika sikap ini terus dipertahankan, usaha untuk merebut suatu kemerdekaan dan angan-angan untuk lepas dari pemerintah Belanda hanya akan menjadi bunga tidur. Semaoen tetap teguh dalam pendirian untuk membawa Sinar Djawa pada gayanya yang keras dan lugas. Meski saat itu Tjokroaminoto sudah mulai menanggapi dingin, Semaoen terus saja jalan ke kiri.

Tindakan radikal yang dilakukan Semoen pada akhirnya membuat Tjokro, si bapak, naik pitam bukan main. Ia melihat ada persekongkolan antara Semaoen dengan Snevleet dalam Sinar Djawa. Karena terus-terusan dipisuhi, akhirnya Semaoen—bersama sahabatnya Snevleet—hengkang dari Sinar Djawa pada 1922 dan membentuk Sinar Hindia.

Setahun kemudian, tepatnya 29 September 1923, Sarekat Islam Semarang mengambil alih penerbitan Sinar Hindia dan penerbitannya diserahkan kepada Drukkerij VSTP Semarang. Pada 28 Juni 1924, kepemilikan koran ini berpindah tangan lagi dari Sarekat Islam Semarang ke Sarekat Rakjat Semarang. Persalinan milik itu mengikuti pergantian nama Sarekat Islam Merah menjadi Sarekat Rakjat.

::Selengkapnya::

Berani: Barang Siapa Jang Bentji Pada Kita, ialah Moesoeh Kita!

Judul itu diambil dari sebaris jargon suratkabar Berani. Slogan itu sangat lugas, keras, dan sekaligus menunjuk karakter yang akan diusung koran ini dalam kurun semasa.
Berani terbit di Pontianak dan menyapa pembacanya sejak 4 Juli 1925 sebagai suratkabar mingguan. Dengan lantang Berani mengenalkan siapa dirinya sesungguhnya:

Apa sebab Berani memberanikan dirinja lahir dimana doenia jang begini penoeh disarangi oleh imperialisten dan kapitalisten? Sebabnya Berani tak tahan lagi melihat dan membiarkan keadaan doenia kapitalisme co, imperialisme yang begitoe heibat mengadakan perang.. .peratoeran jang semata-mata memberatkan bebannja proletaar sedonie ini. Djadi tegasnja, Berani keloear kemoeka boemi ini semata-mata hendak bertanding, bertanding pada moesoeh-moesoehnja jang senantiasa soeka menghisap titik peloehnja sekalian kaoem boeroeh dan tani, dan djoega kan melawan pada segenap manoesia jang soeka memboeat pekerdjaan sewenang-wenang terhadap pada sesamanja manoesia.

Boekan itoe sadja jang akan dilawan oleh Berani tetapi orang jang bermerk “lintah darat” alias orang jang soeka mengaboei matanja raiat poen akan ditangan olehnja. Djika diperhatikan tentang perdjanjian Berani jang itoe sadja, maka njatalah, pada kita, bahwa tak boleh tidak nanti kami jang mengemoedikan Berani ini nistjaja akan mengalamkan soeatoe hal jang boekannja ringan, tetapi itoe semoeanja tak kami ambil moemet kendatipoen kami akan djadi korbannja......sebagaimana mestinja, walaupoen apa jang akan terjadi atas diri kami, tetapi dalam hal terseboet kami tak akan mengoendorkan diri. Perhatikanlah apa jang kami katakan itoe.....
Ingatlah! Apabila raib Berani ini dari pandangan kita, berarti sebagai hilang djoega oetoesan soeranja rai’at Indonesia, teroetama Borneo Barat. (Berani, 4 Juli1925)

Di awal terbit, pada lembar perkenalan dari redaksi Berani, sudah terlihat bahwa suratkabar ini nantinya memilih haluan non-kooperatif. Berani sendiri ditafsirkan sebagai B: boemi berpoetar angin meda, boekisannja perobahan sangat moedjara, boeahnja oesaha kata berdjawa, berani terlahir sodara jang ikra. E: engkoe redactoeuren betoelkah itoe, enggan djangan kita bersekoetoe, edjahan jang ringkas koekarangkan tentoe, entjamkan isinja hai sodarakoe. R: ratap tangisnja segala rai’at....rintangan banjak tjegahan ta’ dapat, rajoe hati, mendengar djeritanja oemat. A: adalah oempamanja sikoeda sad akan membawa barang-barang ditolak, antjaman poekoel rotan dan gotj, achir njawanja diambil algodjo. N: Njatalah sekarang ajoe hai sodarakoe, Djawa dan badanmoe sedang diadoe, njahkan kapitalisten, si djahaman itoe, anti sihinja dapat kemerdekaanmoe. I: Inilah masalahnja djanganlah aja, hajatlah dirimoe jang sedang sia, imbangannja penjakit, koedis jang gati, ichtiarkan obatnja, djangan menjel. (Berani, 4 Juli 1925)

Di bawah redaktur Boullie, Berani menyajikan berita dengan bahasa yang keras dan pedas. Merasa sebagai corong rakyat kecil, Berani menyajikan kritik-kritik lugas terhadap pemerintah dengan bahasa agitatif.

Di Pontianak soedah sering kedjadian ketjoerian-ketjoerian besar; tapi beloem pernah kita dengar kabar politie dapat tangkap. (Ada djoega jang kena tangkap. Red) Djoega semoea pendoedoek Pontianak tahoe itoe orang-orang seck jang ada di Pontianak djaga goedang-goedang, tapi mempoenjai oeang satoe-satoenja berpoeloeh-poeloeh riboe. Di manakah itu oeang didapatnja? Apakah ta’ pantas ditjoerigai, jang dia orang pentjoeri? Dan kalau boekan pentjoeri tentoe merentenkan oeang (lintah darat) atau penghisap darah ra’iat. Dan kalau begitoe, kapakah pemerintah membiarkan itoe sjek-sjek merentekan oeang? Apakah itoe sjek-sjek diberi izin merentekan oeang? Minta djawab. (Berani, 8 Agustus 1925)

Siapa yang tidak merah mendengar berita seperti ini? Berita-berita dan kritik-kritik agitatif seperti ini bisa kita lihat di kolom “Pemandangan Hari Sabtoe”. Bahkan di beberapa artikel di Berani, nama pribadi-pribadi disebut terang sebagai penanggung jawab atas tulisan dan artikel yang dimuat.

Dukungan-dukungan Berani kepada pimpinan atau pergerakan yang kala itu dianggap “musuh” pemerintah dinyatakan secara terbuka. Tokoh-tokoh yang diskong penuh itu antara lain H.M. Misbach dan Tjipto Mangunkusumo ketika dipenjara dan diasingkan di Manokwari oleh pemerintah. Berani bahkan berusaha mengakomodir para pembacanya untuk membantu Misbach dan keluargannya (Berani 7 November 1925). Sebuah upaya yang penuh risiko.

Dan Berani kian terbuka menyatakan diri sebagai media advokasi bagi masyarakat kecil: Barangsiapa ada merasa jang dirinja ada teraniaja, tertipoe, tertindas, dan disewenang-wenangkan oleh siapa poen djoega, datanglah adoekan hal itoe pada redactie dan soerat kabar ini! Kami berjanji, nanti kami bela hal pengadoean toean-toean dan sodara-sodara sebagaimana jang sepantasnja. (Berani, 11 Juli 1925)
Namun buru-buru Berani ingatkan supaya pengaduan itu bukan sekadar omong kosong. Kata Berani, “Tetapi saudarakoe ra’jat ingat, djanganlah hendaknja membawa perchabaran jang bohong dan hanya oentoek melepaskan hati sadja. Itoelah pesan kami jang haroes saudara perhatikan.”

Keberpihakan Berani sebagai penyuara rakyat cukup kental dalam setiap edisi beritanya, termasuk dalam rubrik syair, seperti Syair Merah milik S.R.N. Bezem dan Syair Tangisan Larat:
Adoeh melarat adoeh melarat
Kehidoepan Ra’jat di sini-sana,
Beban Ra’jat bertambah berat
Itoelah jang menjebabkan djadi merana....
(Berani, 18 Juli 1925)

Tak heran kalau berita-berita Berani cenderung kekiri-kirian karena sejak awal suratkabar ini telah menandaskan sikapnya yang anti terhadap imperialisten dan kapitalisten. Pemahaman tentang komunisme yang dianggap Berani sebagai penyelamat rakyat menjadi wacana bersambung di setiap terbitan Berani.
Untuk berlangganan Berani selama 3 bulan, pembaca hanya perlu mengeluarkan f 3. Namun sayang pembaca hanya dapat berlangganan kurang lebih selama 1 tahun saja sejak terbit pertama kali, karena pada 1926 Berani harus tutup. Pemerintah menganggapnya sebagai suratkabar yang terlalu ekstrimis, kelewat garang dan brutal mengayun mandau.

Namun itulah pilihan Berani sejak awal berdiri. Dan kini, sejak Berani dibredel, tidak ada lagi media tempat menampung pengaduan rakyat. Tak ada media seberani Berani.

::Selengkapnya::

Sunday, March 18, 2007

Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak


Judul: The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak
Penulis: Ignatius Haryanto
Kata Pengantar: Aristides Katoppo
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta
Cetakan: I 2006
Tebal: xxvi + 120 halaman


Tak pelak lagi, The New York Times adalah sebuah koran yang besar. Setidaknya, para wartawan koran ini telah diganjar 94 penghargaan Pulitzer semenjak 1918 hingga 2006 atas berbagai prestasinya di bidang jurnalistik. Penghargaan ini terbanyak dari yang diterima koran mana pun. Pulitzer, kita tahu, adalah penghargaan tertinggi yang diberikan bagi insan jurnalisme di Amerika Serikat. Mengagumkan!

Kagum atas prestasi The Times, nama populer The New York Times, membuat Ignatius Haryanto, mantan wartawan majalah Tempo, menyarikan tiga buku penting: The Trust: The Private and Powerful Family Behind The New York Times karya Susan E. Thift dan Alex S. Jones; The Times of My Life and My Life with The Times yang merupakan biografi Max Frankel, pemimpin redaksi The Times; dan The Kingdom and The Power tulisan Gay Talese, mantan wartawan The Times. Hasilnya: buku tipis The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak ini.

Pada awalnya, The Times bukanlah koran dalam kategori sukses. Tersandung masalah keuangan, pemilik asal koran ini, R. Miller, berniat menjualnya. Mendengar rencana penjualan itu, Adolph Ochs, yang kemudian memiliki koran terbesar di Amerika Serikat dan dunia ini, mendatangi sejumlah pebisnis agar mau berinvestasi. Pada 1896 The Times resmi berpindah tangan kepada Ochs.

Begitu memegang The Times, Ochs merombak segi pemberitaan dan pemasaran koran ini. Berita yang disajikan The Times awalnya berita ekonomi, dan kemudian berita hukum dan pemerintahan. Ochs memegang prinsip kerja jurnalistik “menulis berita tanpa takut atau memihak” (hlm. 50) dan menekankan objektifitas pemberitaan (objective news reporting)—sesuatu yang tidak populer saat itu, dimana suratkabar sangat partisan. Karena berita yang diangkatnya, kepercayaan publik terhadap berita-berita The Times meningkat.

The Times tidak banyak menyajikan berita populer dan sensasional, karena Ochs sendiri anti dengan berita-berita seperti itu.

Setelah pemberitaan, Ochs berganti membenahi pemasaran. Pernah Ochs memasarkan The Times hanya dengan 1 sen saja. Imej koran murah pun melekat, dan oplah The Times langsung naik tajam. Kalau saat membeli The Times hanya beroplah 9000 eksemplar saja, tiga tahun kemudian mencapai 75 ribu eksemplar. Angka itu terus meningkat. Pada 1920-an tirasnya mencapai 780 ribu eksemplar.

Adolph Ochs lahir di Cincinnati, Ohio pada 1858 sebagai keturunan Yahudi Jerman. Dunia tinta bukanlah baru bagi Ochs. Pada usia 11 tahun Ochs meninggalkan sekolah dasar dan bekerja sebagai asisten cetak di Knoxville Chronicle. Ochs juga pernah membuat liputan untuk koran Lousivile Courir-Jornal. Bermodal pinjaman sebanyak 250 dolar, usia 19 tahun Ochs mencoba membangun bisnis persuratkabaran dengan mendirikan Chattanooga Daily yang kemudian menjadi Chattanooga Times. Koran ini kurang sukses. Tapi dari sinilah Ochs banyak belajar—sesuatu yang teramat berguna saat dia memimpin The Times nantinya.

Tentu nama di balik sukses The Times tidak hanya Adolph Ochs. Nama lain yang sangat berjasa adalah Arthur Hays Sulzberger, suami Iphigene Bertha Ochs, anak satu-satunya Adolph Ochs. Arthur memimpin The Times sepeninggal Ochs pada 1935. Arthur meneruskan prinsip mertuanya tentang pemberitaan. Bagi Arthur, jurnalis tak lain seorang penerang, yang menghadirkan bintang-gemintang (hlm. 50). Setelah Arthur, The Times dipimpin putra Arthur bernama Arthur Ochs “Punch” Sulzberger (1963-1992), dan kemudian Arthur Ochs Sulzberger Jr. (1992-sekarang).

Sukses The Times adalah juga sukses keluarga Ochs Sulzberger. Dinasti Ochs Sulzberger sukses memperoleh kepercayaan publik. Keberhasilan bisnis media yang dijalankan mereka menjadi bukti keluarga ini mampu mewariskan kepada penerusnya tidak hanya perusahaan, tapi juga sebuah idealisme atau semangat “menulis berita tanpa takut atau memihak”. Tidak berlebihan Susan E. Thift dan Alex S. Jones menyebut keluarga ini sebagai “keluarga sangat kuat” (powerful family).

Buku karya Ignatius Haryanto ini tidak hanya menghimpun kisah sukses The Times. Haryanto juga memaparkan sederetan batu rintangan, bahkan sandungan menghadang di tengah nama besar The Times. Salah satu kasus terheboh barangkali adalah berita palsu atau jiplakan yang dibuat Jayson Blair, wartawan muda The Times tentang kisah Jessica D. Lynch, tentara wanita Amerika Serikat yang tertawan dalam invasi Amerika ke Irak pada Maret 2003. Berita tersebut terbukti jiplakan dari berita yang ditulis wartawan sebuah surat kabar di Texas.

Atas kasus itu, The Times gempar. Namun dengan prinsip “menulis berita tanpa takut atau memihak” warisan Adolph Ochs, mereka bergerak cepat membuat tim investigasi, memecat Blair, meminta maaf kepada publik, serta mengoreksi kode etik pemberitaan mereka.

Buku ini bisa menjadi pembelajaran penting bagi insan pers di negeri ini. Satu catatan yang bisa diberikan adalah bahwa sukses The Times tidak hanya karena faktor internal The Times. Yang tak penting adalah faktor eksternal berupa undang-undang dan iklim kebebasan pers yang memadai di Amerika Serikat. Dalam konteks Indonesia, “menulis berita tanpa takut atau memihak” sering harus berbenturan dengan rezim kuasa yang acap mengancam kelangsungan sebuah surat kabar atau wartawannya. Namun demikian, prinsip itu sejatinya tetap diperjuangkan.

::Selengkapnya::