Wednesday, July 25, 2007

Dari Politik Etis untuk Para Petani Pribumi

POLITIK ETIS di masa kolonialisme Belanda menempatkan pribumi tetap sebagai objek jajahan daripada partisipasi aktif. Menurut Boeke, ada dualisme ekonomi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem kebun, misalnya, dibudidayakan sebagai kebun permanen dengan tujuan meningkatkan ekspor hasil perkebunan, yang tujuan akhirnya meningkatkan penghasilan Hindia Belanda. Terlepas dari itu, bisa kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah ada upaya mengangkat kesejahteraan petani-sesuatu yang mahal di republik yang telah setengah abad merdeka ini.

Dewasa ini, kondisi pertanian Indonesia, khususnya pertanian tanaman pangan, hingga dekade ini belum mendapat perhatian optimal dari pemerintah.

Harga pupuk semakin mahal, politisasi pertanian, masuknya berbagai produk pertanian impor, semakin mempersulit petani untuk bersaing di pasar.

Padahal saat ini pertanian merupakan salah satu industri yang mungkin dikembangkan di Indonesia dalam persaingan global. Melihat kondisi alam dan iklim yang mendukung, serta banyaknya petani usaha kecil yang bisa dilibatkan, sektor ini akan mampu meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat.

Pada saat menguasai Indonesia pada abad ke-20, Pemerintah Belanda telah memfokuskan kebijakan politik dalam bidang peranian, dengan harapan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Kebijakan ini berawal dari kegagaalan sistem liberal selama dekade sebelumnya (1870). Sistem liberal ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang Agraria 1870, yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin. Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. (Mubyarto: 1992, 36-37)

Munculah gagasan etis, di kancah pertanian Pemerintah Belanda merealisasikannya dengan didirikan Afdeel;ing Landbouw di Departemen Landbouw, Nijverheid dan Handel pada tahun 1905. Kebijakan baru ini merupakan titik awal pembangunan masyarakat desa yang secara umum adalah petani.

Dibentuknya Departemen Pertanian tidak bisa lepas dari program Gubenur Jenderal Rooseboom yang terus menghawatirkan tentang penurunan produk-produk pertanian berserta implikasinya terhadap kesejahteraan penduduk.

Departemen pertanian dipusatkan di kebun botani di Buitezorg (Bogor) dengan direktr M. Treub yang diberikesempatan untuk merealisasikan rencana jangka pajangnya dalam upaya meningkatkan hasil pertanian tanaman padi di sawah, peningkatan tanaman sekunder, serta penenaman untuk lahan kering.

Treub juga menanamkan perlunya dorongan dan perkenalan industri-industri kecil pertanian. Untuk itu dilakukanlah penelitian terhadap kondisi klimatologi dan tanah di Jawa serta pemeliharaan ternak.

Usaha Treub diimbangi dengan melakukan percobaan pertanian pada lahan-lahan di Jawa sebagai eksperimen, seperti di afdeling Kulon progo, yang terletak di bagian Barat Kasultanan Yogyakarta.

Laporan Ir. A. Wulff pada tahun 1920-1926, misalnya, memperlihatkan bahwa di daerah Pengasih dan Sogan (distrik Kulon Progo) dilakukan riset penanaman padi dengan menggunakan pupuk kimiawi pada lahan sawah basah. (A. Wullf, Mededeelinge van het Algemeen Proefstation voor den Landbouw No. 25. Arsip Dinas Pertanian Yogyakarta).

Penelitian Wulff melaporkan, hasil dari percobaan ternyata kurang maksimal. Pada tahun 1929 J.J Ochse juga melakukan penelitian iklim, dan percobaan penanaman tanaman panan berupa buah-buahan seperti mangga dan nanas di Kulon progo. (J.J. Ochse, Mededdelingen voor de Dienst: …Arsip Pakualam Yogyakarta).

Politik etis sedikit-banyak telah mewarnai dinamika pertanian Indonesia. Seperti dilaporkan Ge Prince, pandangan umum yang mengakar pada waktu itu adalah kesejahteraan pribumi sangat berkaitan dengan produksi tanaman pangan. Hal ini menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda melihat sektor pertanian sebagai sektor yang penting diperdayakan dalam kebijakan etis. (Ge Prince, dalam J. Thomas Lindblad (ed): 1998, 159).

Menurut Gerry van Klinken, masyarakat Jawa telah mempunyai pegetahuan yang memadai dalam bidang pertanian bahkan sebelum kolonialisme datang ke nusantara. Berdasarkan ini, barangkali politik etis tidak banyak mengubah cara-cara pertanian yang ada. Pola pertanian, misalnya, pada tahuin 1900-1930 di Kulon Progo masih memakai cara tradisional.

Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa pengenalan cara-cara pertanian modern telah dilakukan, meski tidak massif. Sebagai sosialisasi, misalnya, lahan percontohan pemerintah menggunakan pemupukan kimiawi. Selain itu, pola pengairan menggunakan sungai, seperti Opak Progo juga telah memakai sistem manajemen yang rapi. Pengairan tersebut bahkan telah diundangkan dalam Rijksblad van Djogjakarta no. 10 tahun 1922, no. 20 tahun 1927, no. 23 dan 28 tahun 1928. Salah satu butir di dalamnya adalah kebijakan membentuk dewan yang mengurus masalah distribusi air antara petani dan perkebunan.

Dari pelbagai kebijakan itu, kita bisa melihat adanya peningkatan hasil pertanian. Namun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa peningkatan hasil pertanian tersebut membawa peningkatan kesejahteraan bagi petani. Pada kenyataannya, pemerintah Hidia Belanda menerapkan pajak yang tidak ringan. Di dalam Rijksblad van Djogjakarta dan Rijksblad van Paku Alam disebutkan bahwa besarnya pajak sawah berkisar antara 8 hingga 20% dari hasil. Di Distrik Pengasih dan Nanggulan (Afdeling Kulon Progo) pada tahun 1927 beban sawah dan lahan kering mencapai f 88.024.Kapan nasib petani bisa berubah???

::Selengkapnya::

Thursday, July 19, 2007

Panjimas: Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis

Pandjimas lahir seiring maraknya wacana reformasi Islam yang dihembuskan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasydi Ridha. Kala itu, banyak media massa berafiliasi karib atau bahkan menjadi penyuara pelbagai organ pergerakan Islam.

Di Singapura, terbit al-Iman pada 1906 di bawah Syekh Muhammad Tahir bin Jalaluddin al-Minagkabawi al-Azhari, al-Munir terbit di Padang (1911-1916) di bawah Abdullah Ahmad, Sjarekat Islam punya al-Islam (1913), Sarotama SI Solo yang kelak menjadi Sarotomo (1914 dan 1916), Sinar Djawa SI Semarang (1914), Teradjoe SI Palembang (1919), Doenia Moeslim terbitan Bukittinggi (1921), an-Noer atau Het Licht-nya Jong Islamieten Bond (1925), Pembela Islam kepunyaan Persis (1931), Panji Islam milik Zainal Abidin Ahmad, dan Pedoman Masjarakat di bawah Hamka dan M Yunan Nasution yang terbit di Medan pada akhir 1930-an, disusul Kiblat, Gema Islam, dan Pandji Masyarakat atau Pandjimas.

Tren itu terus berlanjut hingga Indonesia menerapkan demokrasi pada dekade 50-an. Namun, Pandjimas bersama al-Iman dan al-Munir menyempal dari tren itu. Pandjimas merdeka dari organ pergerakan, aliran, mazhab, atau paham keagamaan mana pun yang bertunas atau mapan di Tanah Air.

Secara eksplisit, ia mengajak pembacanya untuk tidak terikat, apalagi sampai taklid, kepada sesuatu mazhab dan aliran pemikiran Islam. Sebaliknya, Pandjimas mendorong pembacanya untuk mengembangkan ijtihad dan pemikiran independen.

Pemerintah murka dengan sikap Pandjimas. Tapi bukan oleh pandangan keagamaan yang dibawa Pandjimas, melainkan lantaran memuat secarik artikel berkepala “Demokrasi Kita” tulisan Mohammad Hatta. Pandjimas pun dibungkam pada Mei 1950.

Hatta dalam artikel itu menujum bahwa sistem kekuasaan ototarian tidak akan bertahan lama, paling-paling seumur penciptanya. Bagi Soekarno, pemuatan artikel itu kesalahan besar. Walhasil, meski tidak berafiliasi pada satu kekuatan politik dan justru memasyhurkan prinsip demokrasi, Pandjimas dipaksa tutup.

Sejak pertama terbit hingga dibredel pada Mei 1950, lalu diterbitkan kembali pada awal 1967 hingga menjelang akhir 1970-an di bawah pimpinan Moh. Faqih Usman dengan dibantu Dr. H. Abdulmalik Karim Amrullah dan Jusuf Abdullah Puar, langkah Pandjimas tertatih-tatih. Apalagi, majalah ini identik dengan sosok Hamka. Karena itu, setelah Hamka mangkat pada 23 Maret 1980, ia semakin limbung. Namun, ia masih sempat terbit sekali lagi pascareformasi. Rusdi Hamka, putra Hamka, meneruskan langkah Pandjimas.
Pandjimas secara profesional pernah menyiarkan tulisan yang tidak sependapat dengan garis redaksinya. Saat terbit lagi untuk kedua kalinya, ia syiarkan tulisan kontroversial Nurcholish Madjid atau biasanya disapa Cak Nur pada 1970-an. Penyiaran itu mengisyaratkan ruang intelektual yang mengakomodasi dialektika berpikir. Salah seorang penentang gigih gagasan-gagasan Cak Nur adalah H.M. Rasjidi, penulis buku Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (1972). Rasjidi sendiri salah seorang redaktur Pandjimas.

Penyiaran itu beresiko. Gagasan Cak Nur bertentangan dengan bukan saja garis redaksi, melainkan juga dengan para pembaca dan umat Muslim Indonesia. Para pembaca yang murka bisa saja meninggalkan Pandjimas. Namun, dengan pemuatan itu, Pandjimas justru membuka suatu corak baru intellectual discource di Indonesia. Bukan saja dalam wacana Islam tetapi juga dalam wacana demokrasi. Wacana yang mau dikembangkan Pandjimas respek terhadap pluralitas, perbedaan pendapat, dan kebebasan bersuara.
Penyiaran wacana demikian, menurut Azyumardi Azra, sejarawan sekaligus mantan wartawan Pandjimas, sebentuk komitmen terhadap nilai universal Islam, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. Pandjimas senantiasa menegakkan komitmen itu meski harus bersitegang dengan rezim kekuasaan dan umat Muslim yang tidak siap.

Demi prinsip dan komitmen itu, dan sebagai langkah menyebarkan reformasi dan modernisasi Islam, Pandjimas menerapkan pendekatan yang unik. Ia enggan menapak jalan juang organisasi dan politik dan justru memilih jalan kebudayaan. Sikap ini tentu tak lepas pengaruh Buya Hamka, ulama-sastrawan yang secara konsisten emoh mencebur ke dalam riuh politik.

Pendekatan itu tepat dan realistis. Orde Lama dan Orde Baru menghimpit ruang gerak semua organisasi politik keagamaan. Kekuatan politik aliran ditekan dan dikutungi. Agenda umat Muslim di jalur politik macet. Sekali diberi ruang, politik keagamaan malah bertiwikrama menjadi fundamentalisme yang destruktif.

Komitmen itu terwujud lantaran segmen pembaca Pandjimas kelas menengah ke atas, baik secara intelektual maupun finansial. Pan Asia Research & Communication Service (1984) menuturkan, pembaca Pandjimas umumnya berusia dewasa (adolescent) dan dewasa muda (young adolescent) dengan latar pendidikan SLTA ke atas. Segmen pembacanya pegawai pemerintah dan swasta (32%), pemimpin nonformal (22%), pedagang dan petani (20%), mahasiswa dan pelajar (13%), kaum ibu (6%), dan kalangan lain (7%).
Para pembaca yang terdidik itu umumnya punya kedudukan strategis di lingkungan masing-masing. Mereka juga lebih siap bermuka-muka dengan pluralitas dan kebebasan bersuara, lain dari penguasa tiranik yang pernah membungkam Pandjimas.

::Selengkapnya::

Pujangga Baru: Penggerak Etos Kebudayaan

Tenteram dan damai?
Tidak, tidak Toehankoe!
Tenteram dan damai waktoe tidoer di malam sepi
Tenteram dan damai berbadjoe poetih di dalam koeboer

Tetapi hidoep ialah perdjoeangan
Perdjoeangan semata laoetan segara
Perdjoeangan semata alam semesta
Hanja dalam berdjoeang berkobar
Engkau Toehankoe di dalam dada
(PB, Juli-Agustus 1940)

Sutan Takdir Alisjabana atau biasa ditulis STA adalah budayawan, sastrawan, dan cendekiawan terkemuka. Bersama Armijn Pane dan dibantu Amir Hamzah, STA menerbitkan Pudjangga Baru pada Juli 1933. Lahirnya majalah Pudjangga Baru menjadi penanda hidupnya gelombang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia modern.
Pada tahun-tahun awal terbit, Pudjangga Baru mengusung jargon “Madjalah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem” dan kesusastraan masih menjadi lokomotif. Maklum saja, para pendirinya adalah sastrawan. Amir Hamzah seorang penyair, sementara Armijn Pane dan STA adalah prosais.
Poejangga Baru pun menjadi magnet dan sekaligus gelanggang baru bagi penulis-penulis kreatif angkatan baru. Di gelanggang ini, memang cuma segelintir orang. Namun dalam sejarah sastra, justru nama-nama mereka tiada lekang. Pudjangga Baru yang menjadi medan kreatif itu pun hanya beroplah sedikit, yakni 150 eksemplar dan dicetak sebulan sekali. Jumlah oplah itu sejumlah pelanggannya yang sebagian besar berasal dari golongan intelektual. Harga langganan sekwartal 4.50 sen atau eceran sebesar 1.50 sen.

Namun ajeknya nama-nama yang berhimpun di Pudjangga Baru bukanlah ditentukan berapa ribu pengikut fanatik dan berapa oplah cetak, tapi oleh kedalaman pikiran. Tentu siapa pun pembaca sastra Indonesia tak pernah melupakan nama-nama seperti Idrus yang dikenang lewat karyanya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Amir Hamzah dengan Nyanyi Sunyi (1937), Sanusi Pane dengan Madah Kelana (1931), Rustam Effedi, J.E Tatengkeng, Muhammad Jamin, Suwandhi, Nyoman Panji Tisna, Hr. Bandaharo, Asrul Sani, Mochtar Apin, Aoh Kartahamadja, Rivai Apin, A.A. Katili, Achdiat K Mihardja, dan Dr. M. Amir. Kesemuanya adalah penulis-penulis yang lahir dan besar bersama Pudjangga Baru.

Di antara sederet kecil nama itu, nama STA tetap menjadi ikon dan nyawa bagi Pudjangga Baru. Jajaran redaksi kerap mengalami pergantian. J.E Tatengkeng, Bugroho, L.S. Sitorus adalah nama-nama yang pernah merasakan kursi redaksi. Tapi bandul pemikiran tetap dipegang STA.

Lewat Pudjangga Baru pula STA mengguncangkan sastra Indonesia dengan konsep estetika puisi modern yang diusungnya. Ia menolak sastra lama yang dianggapnya usang dan membosankan. Menurutnya, sastra lama hanya memberikan kebebasan statis. Tak pelak lagi, reaksi bermunculan. Yang menarik, justru konsep STA itu banyak diikuti oleh penyair yang kala itu memang menginginkan arah baru bagi pengucapan puisi Indonesia.

Tapi belum selesai dengan etestika puisi modernnya, STA kembali mendorong arus polemik besar dengan mengajukan konsep kebudayaan persatuan Indonesia. Kalau dua tahun pertama, Pudjangga Baru masih berkutat pada persoalan kesusastraan, tahun ketiga (Juli 1935) wacana kebudayaan diperluas. Jargonnya pun berubah: “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem”.
Artikel STA yang menggemparkan itu bertajuk: ‘Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru’: …bahwa dalam kebudayaan Indonesia jang sedang terdjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen jang dynamisch. Tetapi meski bagaimana sekalipun tidak enak bunjinja semboyan, bahwa kita harus beladjar pada Barat, meski bagaimana sekalipun sedih ahti kita memikirkan hal yang demikian, dalam hal ini rasanja kita tidak dapat memilih. (PB, Agustus-September 1935)
Artikel ini bukan hanya menyuruh melihat Barat sebagai pusat kemajuan, tapi juga menyangkal habis-habisan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki akar sejarah yang kukuh. Sastra Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada konsep sastra nasional. Kebudayaan Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada itu kebudayaan nasional. Yang kita punyai adalah kemajuan. Dan kemajuan itu adalah Barat. Maka berkiblatlah ke sana.
Artikel keras itu tak pelak lagi melahirkan polemik. Tak hanya bertarung di Pudjangga Baru, tapi polemik merembet ke koran lain, seperti Soeara Oemoem (Surabaya), Bintang Timoer (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), dan Wasita (Yogyakarta).

Tulis lawan S.T. Alisjahbana, Sanusi Pane, yang berusaha melakukan sintesis: Barat, seperti sudah kita lihat, mengutamakan djasmani, sehingga lupa akan djiwa. Akalnja dipakainja menaklukan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), jang mengorbankan djiwanja, asal menguasai djasmani.
Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan djasmani. Akalnja dipakainja mentjari djalan mempersatukan dirinja dengan alam. Ia bersifat Ardjuna jang bertapa di Indrakila.

Haluan jang sempurna adalah menjatukan Faust dengan Ardjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individualisme dengan spriritualisme, perasaan dan collectivisme. (PB, 1935)

Selain Sanusi Pane, ada Adinegoro pimpinan Pewarta Deli; Ki Hadjar Dewantara pendiri Taman Siswa di Djogja; Dr. R.M. Ngb. Pubatjaraka lulusan doktor dan filsafat Leiden; Dr. Sutomo pendiri Budi Utomo dan Indonesische Studieclub; Tjindarbumi pimpinan redaksi Soeara Oemoem; dan Dr. M. Amir yang terkenal sebagai psikiater.

Polemik pemikiran kebudayaan itu adalah akar polemik yang sehat. Polemik ini pula dikenal sebagai polemik yang mengedepankan nalar, sopan santun dalam menulis, serta penghormatan atas perbedaan, ketimbang kekuatan dan gertak-menggertak. Polemik yang kerap disebut sebagai ‘Polemik Pudjangga Baru’ itu tak hanya membenturkan wacana Barat-Timur, tapi juga menegaskan ke mana arah kebudayaan Indonesia hendak berayun.
Dan STA adalah penggerak aktif perumusan arah kebudayaan kita itu. Ia tak mesti punya pengikut yang banyak. Cukup dengan majalah beroplah 150 eksemplar, pikiran dan karya-karya yang muncul di zaman ini mampu menjadi karya-karya klasik yang abadi.

::Selengkapnya::

Si Kuntjung Milik Anak Indonesia

,,......Kuntjung" selalu mendengung di telingaku serta meresap di hatiku sejak aku ketjil. Perubahan-perubahan dalam madjalah ini telah banjak dilakukan. Tiap-tiap hari Rabu dengan setianja Si Kuntjung selalu hadir di tengah-tengah kami. Kurasa isinja makin menarik dan mengesankan. Tahun lalu betapa senangnja hatiku setelah aku mengetahui bahwa aku telah lulus udjian SD dengan memuaskan. Hal ini berkat kesetiaanku mengerdjakan soal-soal jang tertjantum dalam "Nilailah Ketjakapamu" seperti jang diandjurkan bapak guruku. Djuga karangan-karangan jang termuat dalam Si Kuntjung telah banjak membantuku untuk belajar mengarang......" (Si Kuntjung, No. 27 1970)

Itulah pengakuan S. Hartono, pembaca setia Si Kuntjung. Arswendo Atmowiloto dan Profesor Sudjarwo pun mengakui bacaan anak itu sebagai bacaan yang punya peran dalam proses menulis mereka.

Majalah bulanan anak Si Kuntjung terbit sejak 1 April 1956 dan diasuh Sudjati SA. Izin terbitnya No. 00367/U/SK/BPHM/SIT 1965 tanggal 21 September 1965, SIP. No. 020/F/S-9/5 tanggal 8 Januari 1966 dan Izin Peperda Np. Kep. 035 P/X/1965 Nomor Urut 5.

Harganya Rp 1,50, - dan berkantor di Djl. Madura 2, Djakarta III/2. Si Kuntjung dicetak PT. Kinta (Kertas Tinta), yang kelak juga mencetak Intisari dan Kompas. Sasaran pembacanya anak-anak usia sekolah rakjat (SD). Namun, kenyataannya Si Kuntjung juga menjadi bacaan anak lewat orangtua.

Pemberitaan Si Kuntjung bermutu dan menghibur, terdiri dari cerita bersambung, dongeng, seni, budaya, ilmu pengetahuan, teka-teki hingga latihan soal-soal pelajaran. Tak heran jika majalah ini kemudian menjadi majalah anak yang direstui pemerintah. Pada dekade 50-an, ia beroleh tanggapan serius Kepala Bagian Naskah dan Madjalah Kem. PP. Dalam sepucuk surat bertanggal 1 Desember 1956 No. 132/IBD/1676, Si Kuntjung dianjurkan sebagai bacaan anak-anak sekolah rakjat.

Kepercayaan pemerintah kepada Si Kuntjung rupanya awet. Pada 1969, Gubenur/Kepala Daerah khusus Ibu Kota menghadiahkan terbitan Si Kuntjung setiap edisi buat setiap SD di wilayah DKI. Hadiah itu disalurkan lewat Dinas P & P Sukudinas Wilayah. Kemudian dianjurkan pula Si Kuntjung ditempel di dinding masing-masing sekolah agar menjadi wahana bacaan anak.

Saat terbit kali pertama, sampul dan isi Si Kuntjung dicetak di kertas koran. Si Kuntjung juga punya Koran Ketjil, yang dikelola Wartjil (wartawan ketjil) dan Juwarlik (juru warta tjilik).

Majalah yang bermotto Madjalah Pendidikan dan Kebudayaan Bacaan Sekolah Dasar ini menyuguhkan informasi singkat tentang peristiwa-peristiwa aktual, seperti "Kolera di Indramaju", "Stan Vak Sumbang Borobudur", "Dr. Ir. Soekarno Wafat", "Brasil Djuara Dunia", dan berita teranyar lainnya yang dikemas dalam satu lembar halaman.

Ilustrasi Si Kuntjung terbilang nyeni untuk ukuran anak-anak masa itu, karena "realistis". Anak-anak yang belum bisa membaca pun akan tertarik kepada Si Kuntjung. Pada dekade 80-an, majalah anak ini dicetak full colour, sedangkan kertasnya bertambah luks dan tebal.

Cerita bersambung adalah rubrik yang paling ditunggu pembaca. Redaksi menyiapkan cerita itu dengan sangat matang. Sebulan sebelum cerita bersambung tamat dan diganti cerita baru, redaksi memberitahu pembaca, lengkap dengan informasi singkat tentang cerita pengganti. Rubrik bermutu lain"Tahukah Kawan", semacam ensiklopedi tentang keajaiban dunia, tempat-tempat, atau peristiwa-peristiwa penting. Misalnya:

...Sebuah Museum Etnologi di Berlin jang berisikan benda-benda kuno dari berbagai pendjuru dunia, telah menempatkan wajang Indonesia dalam ruangan bagian Asia Selatan. Museum ini resmi dibangun tahun 1873. Sekarang mempunjai sedjumlah 330.000 kumpulan benda. Sedjumlah 5000 kumpulan terdapat dalam tiga bagian: Benda Asli Amerika, Asia Selatan, dan Lautan Selatan." (Si Kuntjung, No. 27 1970)

Cerita-cerita orangtua kepada anak menjadi semakin bervariatif dengan bantuan cerita-cerita Si Kuntjung. Lain dari itu Si Kuntjung juga mengajak anak-anak ikut serta dan aktif dalam pelbagai rubriknya, seperti dalam "Kota Wasiat", rubrik yang menampung pengalaman yang ditulis anak-anak.

Seiring dengan kemunculan banyak majalah anak lain seperti Bobo, Mombi, Kawanku, Girls, dan Orbit, Si Kuntjung pelan-pelan tergeser dan akhirnya berhenti terbit.

::Selengkapnya::