Wednesday, May 7, 2008

Rumah Langit

Hei baru aku sadar bahwa sudah hampir satu bulan aku tiada menulis email untukmu. Ya terakhir aku memencet tuts keyboard komputer, merangkai huruf demi huruf menjadi kata, kalimat dan akhirnya paragraf untukmu adalah tanggal 6 bulan yang lalu. Selama itu sudah 3 kali kau memberiku email-email menyenangkan, khas dirimu. Sebenarnya bukan aku malas membalas, tapi lebih kepada, lagi-lagi kukakatakan aku tak tau harus berkata atau bercerita apa. Begitu beragam dan menarik semua ceritamu. Dan aku tertatih-tatih bahkan berlari terengah-engah untuk sekedar mengimbanginya. Yah meskipun kurang berhasil juga.

Baiklah mungkin itu adalah pleidoiku, karena tak kunjung aku berkirim surat via yahoo mail padamu.

Kau pasti tau kan jika kau menghubungiku lewat Indosat, salah satu tempat favoritku adalah jendela di ruang perpustakaan depan kamar para perempuan kroniek (perempuan kroniek? Sebutan yang aneh). Sebentar....belok dulu, ngomong-ngomong tentang Indosat...rasanya kita bagai dijajah oleh sebangsa penjajahan imperialisme modern, kita sebel, mangkel karna begitu sulitnya naudzubillah jika hendak menelepon murah. Yah kita sebut saja kasus 23––11. Jika PLN mencanangkan ingat 17––22, nah kita mungkin : jengkel sekaligus cinta kepada 23––11. Kembali pada jendela, (oiya kau tau novel Fira Basuki dengan judul itu – Jendela - , menurutku cukup menarik, meski tidak terlalu puitis), mbak Rhoma alias mbak Ria memberikan nama Rumah Langit. Nama yang indah. Lalu kenapa ia punya ide menamakan tempat itu Rumah Langit?

Karena disanalah kami yang terkurung dalam tembok Veteran 25 memiliki sebuah kemewahan langka... yah sebuah Jendela. Tidak istimewa jika benda yang sama aku miliki di Yogyakarta. Eh tidak bagiku jendela adalah istimewa. Kita melihat ke luar tanpa harus terlibat...di jendela kamarku aku biasa menghirup udara pagi dengan iringan...tentu saja bukan lagu Indonesia Raya, tapi lagu Sebelum Cahaya. Aku paling suka melakukannya setiap jamaah Subuh di Masjid Sulthony dekat rumahku telah kembali ke pelukan rumahnya di Bumi, setelah beberapa saat membangun rumah yang kelak diharapkan ditempati di akhirat yang kekal. Ah rumah betapa rindunya aku. Aku juga rindu pada rumahku di hatimu...kuharap kau juga begitu.

Lalu apa istimewanya Rumah Langit kami ini?disinilah mata-mata lelah kami bisa merasakan indahnya langit Jakarta yang tidak indah, yang warna birunya telah berubah menjadi putih. Laksana blue jeans yang kau rendam dalam larutan disinfektan. Tidak megapa tiada warna biru diatas kepala kami saat kami duduk nangkring di jendela itu, bahkan jika sekadar melongok keluar.

Taukah kamu?sebenaranya bentuk jendela ini sama sekali tidak istimewa. Hanya jendela kaca geser berbingkai alumunium selebar 2 meter yang terbagi dua. Salah satunya bisa digeser. Tingginya sekitar ¾ m lebih dari lantai (entahlah aku menyadari kelemahanku yang lain adalah tidak pandai memperkirakan jarak atau ukuran panjang atau lebar). Jadi jika kami ingin duduk di jendela kami harus memanjat rak buku di dekatnya (aduuh susah menjelaskannya). Tidak ada balkon indah diluarnya. Hanya ada pijakan dari beton selebar 10 cm. Jadi kami benar-benar duduk di jendela. Dibawahnya adalah atap asbes dari dapur kami dibawahnya. 3 meter dari jendela adalah tembok setinggi 4 meter pembatas antara deretan ruko di jalan Veteran dengan mabes AD tentu saja angkatan darat milik RI. Meskipun ada pembatas toh kami bisa melongok halaman markas tentara negeri kita ini jika berdiri lagi-lagi di jendela. Dari jendela jika kamu berpaling ke kiri berdiri dengan cueknya Monas lambang kejayaan bangsa ini di tahun 50-an. Ah lupa aku tentu saja juga terlihat bagian belakang dari rulo-ruko tetangga kami. Di depan kami selain markas TNI AD juga terlihat berbagai gedung yang aku tak tau apa namanya. Kalau menoleh ke kanan terlihatlah lagi-lagi bagian belakang ruko tetangga dan banyak gedung....oh ada yang menyala terang dengan hiasan lampu imut-imut yang membentuh atas rumah gadang. Itu adalah rumah makan padang di jalan Djuanda. Dibelakangnnya menjulang apartemen. Lalu jika melongok ke belakang, ah tentu saja ruang perpustakaan kami. Tepat dibawah kami ada 2 utas tali jemuran tempat kami manyantelkan baju-baju basah kami. Ugh beginilah kalo tempat yang ga didesain utuk rumah tinggal, ga ada areal khusus untuk menjemur pakaian, itu rutuk Tiesa.

Dari semua pemandangan biasa itu apa yang membuat kami suka berada di jendela?
Yah karena langit itu tadi. Ini adalah tempat paling sunyi dimana kamu bisa samar-samar melihat matahari di siang hari. Menikmati lembayung jingga langit sebelah barat di sore hari, dan jika beruntung melihat bulan di malam hari. Aha... dan tentu saja tempat paling menyenangkan menerima telepon dari seseorang yang spesial.

Rumah langitlah yang menjaga kewarasan kami. Dengan sekadar melongok melihat lagit kami merasakan indahnya langit di rumah. Mata kami sekedar rehat sejenak dari pemandangan dinding putih, komputer, tumpukan buku, dan koran. Karena rasanya damai dan menyenangkan di sanalah tempat kami merenung mendendangkan lagu-lagu kesayangan atau untuk beberapa temanku tempat memancing inspirasi keluar. Ya...inspirasi laksana siput yang bersembunyi jika dipaksa dipegang. Makanya menemukan cara bagaimana membuat sipput untuk tidak malu-malu keluar adalah sebuah berkah.

Lalu dari semua keistimewaan diatas semua ketidakindahan rumah langit apa yang membuatku menyukainya? Disanalah aku sekejap merasakan dekat denganmu. Saat pagi aku aku melihat lagit yang mulai terang, meski matahari tak tampak, aku berharap kaupun melihat lagit yang sama denganku. Saat sore mulai menyergap bumi, kuharap kaupun melihat sore yang sama denganku. Saat rembulan bermurah hati menampakkan senyumnya, aku juga berharap kau sedang menatap bulan. Jadi dalam dunia kosmik ku, aku anggap langitlah yang menyatukan kita....(tentu saja sebenarnya kita tinggal di bumi yang sama dan menghirup oksigen pula....tapi tolong jangan rusak suasana!)

Akhirnya aku berharap hatiku dan kamu disatukan oleh Langit dan diatas segalanya Sang Penguasa langit berkenan dan meridhoi untuk menjadikannya sebuah Rumah untuk kita....tempat kita merasa istimewa dan hangat.....seperti Rumah Langit kami yang sederhana tapi istimewa dan unik bagi hati kami masing-masing. (Cerita Teman sekamarku Winda Sano kepada “rumahnya hatinya” yang ku-edit ulang).

::Selengkapnya::