Wednesday, March 12, 2008

Untuk Dunia Buku


Siapakah orang paling berpengaruh dalam sejarah? Untuk menjawabnya, ada baiknya Anda buka Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah terbitan Pustaka Jaya (1982). Di buku itu, bertengger pada urutan 6 dan 7, Anda akan menemukan nama Ts'ai Lun dan Johan Gutenberg. Nama pertama adalah penemu kertas, sedangkan nama selanjutnya penemu mesin cetak.

Pada mulanya adalah kertas, ditera pada lembar-lembarnya huruf-huruf, digabungkan, diberi lem, dan di-binding, walhasil jadilah buku. Buku-buku disebar ke seluruh dunia, melewati sekat pembatas, menembus waktu. Berkat buku, kehidupan pada abad-abad yang lewat bisa hadir di hadapan kita: kini dan di sini. Dengan alur itu, tak heran bila Lun dan Gutenberg masuk dalam daftar pesohor pengubah sejarah. Bukankah sejarah lahir setelah ada tulisan, dan tulisan menjadi abadi tersebab kertas dan cetakan?

Begitulah, setiap berhadapan dengan buku, kita selalu berjumpa dengan ketakjuban-ketakjuban. O, apakah dunia buku kita sama menakjubkannya dengan buku itu sendiri? Tentu saja, Saudara. Cobalah buka dan baca Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia terbitan Yayasan Lontar bekerjasama dengan Weatherhill Inc., akan Anda temui betapa tradisi aksara di Indonesia jauh lebih awal dari yang dketahui.

Anda tentu tahu kalangon, seni menulis puisi dalam tradisi Jawa Kuno. Tradisi ini telah melahirkan antara lain Ramayana (abad ke-9) dan Arjunawiwaha (abad ke-11). Atau berkunjunglah ke Tanah Bugis, di sana ada puisi epik I La Galigo atau Sureq Galigo, naskah yang hingga kini merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Juga sempatkanlah mampir ke Bima, ada Bo' Sangaji Kai, buku catatan raja-raja Bima selama dua abad. Mengagumkan, bukan?

Tentu kekaguman pada warisan silam saja tak cukup. Yang lebih penting adalah meneruskan tradisi itu, mencatat perkembangan dunia menakjubkan tersebut sepanjang zaman. Untunglah, di antara sekian banyak yang tak peduli, MataBaca tampil mengemban tugas itu. Lima tahun sudah majalah ini merekam jejak belantara buku Indonesia.

Terbit perdana pada Agustus 2002, Mata Baca menjumpai pembacanya saban sebulan sekali. Majalah ini terbit berkat kerja mitra Bank Naskah Gramedia dan Penerbit IndonesiaTera. Bank Naskah Gramedia merupakan bagian dari industri buku terbesar negeri ini, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang berkediaman di Jakarta, mewakili pusat, sementara IndonesiaTera berkantor di sebuah desa di Magelang, representasi penerbitan kecil di wilayah tengah Jawa.

Pada sebuah siang di tahun 2002, di Hotel Santika Yogyakarta perwakilan kedua penerbitan itu bertemu. Pihak Bank Naskah Gramedia diwakili Theodorus J. Koekerits dan penyair Joko Pinurbo. Sementara dari pihak IndonesiaTera datang Andreas Darmanto dan direkturnya yang juga penyair, Dorothea Rosa Herliany. Seturut pengakuan Joko Pinurbo dalam MataBaca vol V/No 1/September 2006, pertemuan itu berusaha "menindaklanjuti gagasan Frans M. Parera ... tentang perlunya segera menerbitkan majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan".

Barangkali benar pengakuan itu, bahwa gagasan majalah perbukuan tersebut merupakan gagasan Frans Parera, petinggi KKG. Karena itu kemudian namanya bercokol sebagai pemimpin umum. Sementara di antara mereka yang bertemu, Dorothea Rosa Herliany menjadi wakilnya, T. Jacob Koekerits menjabat pemimpin redaksi, dan Joko Pinurbo kebagian redaktur pelaksana.

Perihal nama MataBaca sendiri, keputusan untuk memakai nama itu, demikian Pinurbo, lebih dipukau oleh pesona puitiknya ketimbang makna leksikalnya. Pada mulanya adalah nama, setelahnya baru rasionalisasi terhadap nama itu. Kata Pinurbo, rasionalisasinya adalah "Mata perlu dididik dan dibudayakan agar semakin jernih dan tajam. Agar semakin mampu melihat dan menembus dimensi-dimensi yang lebih dalam di balik hiruk-pikuk peristiwa dan riuh-rendahnya perkembangan zaman. Agar semakin tekun dan pintar membaca. Bukan sekadar membaca buku atau deretan aksara, tapi juga membaca berbagai fenomena yang bersliweran di tengah pusaran kehidupan masyarakat."

Kerjasama kedua pegiat penerbitan itu menghasilkan karya apik: kekhasan perwajahan ala penerbitan Yogyakarta yang nyeni, seperti dianut juga IndonesiaTera, jelas terlihat. Sementara, karena dicetak oleh Percetakan milik Gramedia yang canggih, wajahnya jadi terlihat lebih cantik. Tak hanya perwajahannya, isinya juga informatif. Di antara rubrikasinya ada "Gagas" yang berisi opini seputar perbukuan, "Raut" tentang tokoh atau wajah suatu penerbitan, "Warta" berita dunia buku, "Kupas" merupakan resensi buku-buku yang baru beredar, dan "Renung", sebuah kontemplasi dengan puisi.

Pada edisi-edisi awal, pembaca bisa berpartisipasi mengisi semua rubrik tersebut. Walhasil, alih-alih menyodorkan satu tema tertentu dalam satu edisi, majalah ini nyaris serupa kumpulan tulisan terserak banyak orang. Belakangan, majalah ini punya beberapa kontributor yang menuangkan tulisan-tulisan bertema sama dalam satu edisi, mengurangi jatah tulisan pembaca.

Namun demikian, majalah ini selayaknya didukung. Setidaknya alasannya adalah dia satu-satunya yang mengkaver wajah perbukuan kita. Memang selain MataBaca ada "Ruang Baca". Namun "Ruang Baca" tak lebih dari suplemen sebuah koran dan nyaris hanya berisi kumpulan resensi semata.

Kesendirian tentu tidak bisa jadi alasan untuk tidak berbenah. Perubahan adalah hal niscaya. Seiring waktu, MataBaca pun tak bisa mengabaikan hukum alam ini. Namun perubahannya sedikit membuat kita tertegun: majalah ini menjadi lebih muda dan ngepop. Karenanya dalam rasionalisasinya Joko Pinurbo menulis, "majalah ini ingin lebih mendekat ke kalangan muda, ke mata-mata muda yang diharapkan dapat ikut menciptakan keindahan manusiawi di tengah kemelut kehidupan masyarakat yang lebih gelap mata dan membabibuta." Rasionalisasi yang jelas tidak tercetus ketika terjadi pertemuan Santika.

Perubahan sejak edisi September 2005 itu tak hanya pada perwajahan dan isinya yang lebih gaul, tapi juga mereka yang berada pada kursi redaksional. Orang-orang IndonesiaTera tak lagi duduk di sana. Dan hasilnya pun jelas: ciri nyeni ala penerbitan Jogja dengan tampilan lukisan yang semula menghias tiap edisi, terutama pada kaver depan, menghilang, diganti dengan pose penulis atau pemilik penerbitan yang direkam oleh jepretan fotografer, dengan judul yang jelas ngepop: "Pram, Gue Banget!", "Kalau Seleb Jadi Penulis", "Nggak Zamannya Lagi Penulis Miskin", "Sains Gak Ada Matinye". Judul-judul itu juga diupayakan mengikat tulisan-tulisan di dalamnya, terutama di bawah rubrik "Gagas Utama".

Mengapa IndonesiaTera tidak lagi berkecimpung mengelola majalah berjargon "Jendela Dunia Pustaka" (sebelumnya: "Mencermati Dunia Pustaka") ini? Tak ada penjelasan. Yang jelas, sejak merebaknya penerbitan di Yogyakarta dan sekitarnya pascareformasi 1998, musim surut menghantui semenjak tahun 2005-an. Konon, jumlah penerbitan di Yogyakarta waktu itu mencapai ratusan. Satu per satu penerbit Yogya itu jatuh. Beberapa yang namanya kadung besar, diakuisisi oleh penerbitan dari kota lain. Termasuk IndonesiaTera yang pada penghujung 2006 dibeli oleh distributor buku besar asal Jakarta.

Bertahan di negeri dengan minat baca rendah memang bukan pekerjaan mudah, tak hanya bagi penerbitan di Yogyakarta, tetapi juga penerbitan di kota lain. Bayangkan, buku yang dicetak 1000 eksemplar saja harus melewati masa bertahun-tahun agar bisa habis dipasarkan. Buku paling laris pun, dengan tema sensasional, hanya laku puluhan ribu eksemplar. Berapa persen jumlah itu dibanding penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa?

Kendala lain adalah pertarungan antarpenerbit yang nyaris serupa arena tarung bebas dengan hukum rimba: yang kuat memangsa yang lemah. Belum lagi harga kertas yang terus melambung, iklim pemasaran yang tak berpihak pada industri kecil, serta regulasi perbukuan yang tak jelas. Dan satu lagi: tak ada badan yang memayungi semua penerbitan itu. Alih-alih menjadi pengayom dan pembina, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) punya syarat yang tak bakal genap dipenuhi penerbitan kecil.

Serta yang terpenting: badan ini menjadi semacam event organizer pameran buku semata. Peran lain nyaris tak ada. Misalnya, ketika penerbitan kecil punya masalah ketidaktahuan atau dalam posisi tawarnya membeli rights dari penerbitan luar, tak ada upaya IKAPI memberikan diklat atau menguruskannya. Ketika ada dua penerbitan, satu kecil dan satu besar, saling bertarung atas nama hak penerjemahan, tak ada usaha IKAPI menengahi. Juga ketiadaan regulasi yang jelas, tak ada tuntutan apa pun dari badan ini kepada pemerintah. Sampai kapan langit buku Indonesia akan tetap dikurung mendung?

Sebagai satu-satunya media perbukuan di negeri ini, tentu tak salah bila kita berharap MataBaca membantu menghapus mendung itu. Sebagaimana ide awal pendirian majalah ini, "majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan", mestinya ia juga punya fungsi advokasi bagi insan perbukuan yang nyaris tak bisa berkutik. Bila harapan ini dipenuhi, tentulah bisa majalah ini dimasukkan dalam daftar pemengaruh sejarah, setidaknya sejarah negeri ini.

Entahlah, Saudara, bila ia sudah menjadi penyuara penerbitan besar itu.(Rhoma Dwi Aria Yuliantri)

5 comments:

MHA said...

Hmmm, aku mau koment apa ya. Susah ngomonginnya. Aq nyaris netesin airmata baca tulisan ini. Ada hubungan yang erat antara aq dengan tulisan ini (kamu pasti tahu alasannya, tak perlu kuperpanjang lagi).
Ah, duniaku yang hilang...
Salam,

Ab

JOGJA-JAKARTA said...

Dunia itu tak akan pernah hilang karena kita yang menciptakan dunia kita sendiri...karena kita yang memilih dunia kita sendiri....dan bagaimna kita ada di situ

Nasrullah said...

Saya senang dan suka baca MATABACA.
Salam

http://bakumpai-dayak.blogspot.com

JOGJA-JAKARTA said...

O'ya...begitulah matabaca. :)

Musafir Muda said...

dan MataBaca sudah menutup mata. Kenapa? -- sejarah pun dimulai ---