tag:blogger.com,1999:blog-5919548713985841082024-03-13T05:51:52.036-07:00::SOPHIA::eureka, griot, viva historia!JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-62014996613064330382009-08-07T04:57:00.000-07:002009-08-07T05:01:47.603-07:00Agus Salim dan Mr. Moh. Roem Berenang<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SnwXoSfNFoI/AAAAAAAAAJk/o2EgCaa4MxM/s1600-h/Agus+Salim.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 139px; height: 208px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SnwXoSfNFoI/AAAAAAAAAJk/o2EgCaa4MxM/s320/Agus+Salim.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5367190836843714178" /></a><br />‘Ajo, Pak Salim, naek keatas papan lontjatan (sprinkplank)….”<br />’Ah, soedah toea sdr. Roem.......” kata Pak Salim, sambil tersenjoem dan mengeloes-eloes djenggotnja.<br />Tentoe, Pak Salim tida dapet lagi melontjat seperti Esther Williams. Tapi.....pelan-pelan dia mendekati aer, dan sampai dipinggir bak, kakinja doeloe jang dimasoekan kedalem aer. Dia mao rasakan dingin atau tidak kemoedian baroe badanja.<br />....Diharie liboer, hari Minggoe atawa hari laennja, begitoelah pekerdjaan orang terkemuka itoe. Dan dihari itoe marika loepa kepada politiek. Besoek soedah segar kembali dan politiek dapet dilanjoetkan” ( Sunday Courier, Tahoen 1 No. 3)<span class="fullpost"><br /><br />Itulah sepotong percakapan H.A. Salim dan Mr. Moh Roem yang terekam oleh Sunday Courier. Salim dan Roem bukan nama asing di jagat politik Indonesia. Salim pernah menjabat sebagai menteri luar negeri pada masa kabinet Sjahrir (1946). Akhir September 1949 juru foto Sunday Courier berhasil membidikan kameranya ke arah Salim dan Roem ketika berenang mengaso di hari minggu di permandian Kaliurang Jogjakarta (Tlogo Putri?) di mana keduanya hanya memakai celana renang.<br />Foto itu diambil pada hari kedua saat mengadakan perundingan dengan Belanda dan UNCHI di Kaliurang. Kebetulan pada hari Minggu tidak ada perundingan. Salim dan Roem menggunakan hari itu untuk rehat politik. (Rhoma, senang rasanya menemukan foto ini kembali)</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-23567328917593768812009-06-02T00:31:00.000-07:002009-06-02T00:36:52.394-07:00Perempuan Penjaga Api<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SiTWBlbDP7I/AAAAAAAAAJc/SIMFK1Bz6UE/s1600-h/Ibu+Njoto.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SiTWBlbDP7I/AAAAAAAAAJc/SIMFK1Bz6UE/s320/Ibu+Njoto.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342630380682035122" /></a><br />Dian=lampu tradisonal dari Jawa<br /><br />Hari 1: Perempuan berkebaya, terjaga sepanjang malam, menjaga nyala dian. Apinya tidak boleh padam....apinya tak boleh padam, tekadnya. Api adalah lambang kehidupan.<br /><br />Hari ke 2 : Perempuan ini tetap saja menjaga dian..njalanya tak meredup tapi tetap saja ia menjagannya. Dengan tubuh yang renta di usianya yang menjelang 50 tahun ia tetap terlihat menarik dan menawan. Guratan di wajahnya seperti lukisan alam.<br /><br />Hari ke3: Perempuan itu tetap menjaga dian. Sanggulan rambutnya masih rapi. Matanya masih saja mengarah pada dian itu. Dia pergi ..dan masuk lagi dengan sepincuk bungan mawar merah dan putih. Bunga itu ia letakan dipinggir dian.<br /><br />Hari ke 4: Perempuan itu menatap dian. Mata tak bulat, kecil dengan sepasang alis yang tebal ...mata seperti ini hanyalah milik perempuan Jawa. Ia menerawang, penuh kecemasan. Tapi ada harapan di sana, harapan sebuah kehidupan.<br /><br />Hari ke 5: Perempuan itu masih saja duduk bersimpuh menatap nyala api dian. Ketika nyala apinya meredup cepat-cepat tangan-nya menerungkup nyala api agar tidak megecil. Dia berkomat-kamit seperti mengeluarkan mantra ketika api itu mengecil. Wajahnya memerah...ia terus berkomat kamit.<span class="fullpost"><br /><br />Hari ke 6: Wajah cantiknya, ia adalah tipikal face Jawa. Perempuan Solo nan anggun, namun penuh karakter. Wajahnya menyiratkan banyak kehilangan dalam hidup..tapi nampaknya ia tetap saja nrimo seperti perempuan-perempuan Jawa lainnya. Kali ini masih saja ia menunggui dian itu.<br /><br />Hari ke 7: Dian itu masih menyala. Perempuan lain masuk membawakan apem, bunga mawar dan kantil lengkap dengan kemenyan. Ia berikan kepada perempuan yang masih duduk di dekat dian itu.<br /><br />Hari ke 8: Api dian itu memantul-mantul bandul kalung yang melingkar di leher perempuan itu. Gelang emasnya, dan cicin yang melingkar di jari-jarinya berkilau-kilau dengan pantulan api dian itu. Jelas ia bukan dari golongan rendahan. Ia bangsawan atau orang yang cukup berada.<br /><br />Hari ke 9: Perempuan penjaga dian itu adalah bekas penggurus Poetri Indonesia Opgericht Bondowoso. Keteguhannya dalam berorganisasi seteguh ia menjaga nyala dian itu.<br /><br />Hari ke 10: Ia bersimpuh di depan dian. Perempuan itu berbisik ”Tidak boleh berakhir”.<br /><br />Hari ke 11: Tahun 1927 silam ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dan dian itu adalah kehidupan sang bayi.<br /><br />Hari ke 12: Perempuan ini menyusui bayinya hingga tumbuh. Sekira 3 tahun kemudian ia kirimkan anak ilaki-lakinya ke luar kota untuk belajar banyak hal.<br /><br />Hari ke 13: Anak laki-lakinya itu adalah segala-galanya bagi perempuan itu.<br /><br />Hari ke 14: Rumah bertingkat tiga, dekat sungai dengan ruang bawah tanah tempat berkumpul orang-orang membicara perlawanan, feodalisme, tuan tanah dan kaum penjajah. Anak itu tumbuh bersama kakeknya.<br /><br />Hari 15: Pergerakan kaum merah 1926 membawa ayah anak itu diciduk kemudian, bernasip naas masuk ke gerbong maut.<br /><br />Hari 16, 17, 18, 19, 20: Perempuan itu terus ada menjaga nyala dian. Tidak ada letih dan lelah.<br /><br />Hari 21, 22, 23, 24, 25,26,27,28: Perempuan itu tetap menjaga nyala dian itu.Ia tidak menangis, tertidur dan terjaga disamping dian itu.<br /><br />Hari ke 29: Nyala api tetap terjaga....bahkan apinya kian membesar. Matanya bebinar. Karena harapannya adalah kehidupan bagi si anak.<br /><br />Hari ke 30: Apinya tak padam...bibir perempuan itu tersungging..ia tersenyum puas. Ia berkata lirih: ’Anakku Njoto tidak mati..dia hidup dan tak mati”. Perempuan itu tidak sadar, di luar sana anaknya telah hilang tak tahu rimbanya....api dalam dian itu adalah ideologinya yang tetap hidup. Perempuan itu berdiri meninggalkan api dalam dian yang terus menyala. Di akhir tahun 1965.(Rhoma, catatan sebelum tidur)</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-86772000951709181032009-01-01T02:26:00.000-08:002009-01-01T02:32:31.950-08:00Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa<a href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVybOeGOAyI/AAAAAAAAAJQ/pTOUw9Bpc5I/s1600-h/COVER+Seabad+Pers+Kebangsaan_Item+Putih.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 125px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVybOeGOAyI/AAAAAAAAAJQ/pTOUw9Bpc5I/s320/COVER+Seabad+Pers+Kebangsaan_Item+Putih.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5286270735525741346" /></a><br />Judul Buku: Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa<br />Supervisi: Taufik Rahzen<br />Koordinator Riset dan Penulisan: Muhidin M Dahlan<br />Periset: Agung Dwi Hartanto, Arahman Topan Ali, Argus Firmansah, Dian Andika Winda, Iswara N Raditya, Mahtisa Iswari, M Yuanda Zara, Petrik Matanasi, Reni Nuryanti, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Sunarno, Tunggul Tauladan<br />Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008<br />Tebal: 1184 halaman (edisi hitam putih)<br />Ukuran: 15x24 cm (hardcover)<br /><br />Karena hanya cetak terbatas, maka penerbit hanya menerima pesanan. Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)<span class="fullpost"><br /><br /><br /><br />CUPLIKAN PENGANTAR<br /><br />Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme. <br /><br />Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.<br /><br />Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express. <br /><br />Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. <br /><br />Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.<br /><br />Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru. <br /><br />Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”<br /><br />Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran. <br /><br />Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.<br /><br />Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung. <br /><br />Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.<br /><br />Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.<br /><br />Kelima alasan itulah kemudian mengukuhkan bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. <br /><br />Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.<br /><br />Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. <br /><br />Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.<br /><br /><br /><br />BUKU INI DITERBITKAN sebagai sebuah penghargaan atas kerja Tirto Adhi Soerjo yang mangkat dengan tragis pada 7 Desember 1918. Dikerjakan siang malam oleh sembilan sejarawan muda (partikelir) di bawah usia 25 tahun selama dua tahun. <br /><br />Sebagai sebuah perayaan tradisi pers Indonesia, buku ini menuliskan kembali 365 mini-biografi pers Indonesia. Bukan hanya cetak, tapi juga elektronik, bahkan tradisi pers di internet. Diriset dari pers yang terbit di hampir seluruh daerah, pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda), dan seluruh kurun (1907-2007—bahkan sampai merentang lebih jauh pada 1744).<br /><br />Sekaligus buku ini menandai sebuah maklumat bahwa 7 Desember adalah tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya. <br /><br /><br />DAFTAR PERS INDONESIA YANG DIRISET<br /><br />MEDAN PRIJAJI<br />Koran Pertama Penyuluh Kebangsaan ~ 1<br /><br />BATAVIASE NOUVELLES<br />Yang Pertama yang Dibreidel ~ 5<br /><br />SELOMPRET MELAJOE<br />Terompet Bisnis Kaoem Pedagang ~ 8<br /><br />TJAHAJA SIJANG<br />Dari Penginjil ke Sekuler Progresif ~ 11<br /><br />PEMBRITA BETAWI<br />Terbit di Ujung Abad ~ 14<br /><br />PERTJA BARAT<br />Satire untuk Padang ~ 17<br /><br />BINTANG BATAVIA<br />Koran Putih untuk Rakyat Hindia Belanda ~ 20<br /><br />RETNODHOEMILAH <br />Sepoetjoek Soerat Boeat Pembatja ~ 23<br /><br />PEWARTA BORNEO<br />Internasionalisme Borneo ~ 26<br /><br />BINTANG HINDIA<br />Bangsa Osoelan dan Piekieran ~ 29<br /><br />PERNIAGAAN <br />Berdagang Politik ~ 32<br /><br />SOENDA BERITA<br />Dari Tjianjur Mengasah Ketajaman Pena ~ 35<br /><br />SINAR ATJEH<br />Si Putih Manis dari Ujung Barat ~ 39<br /><br />SOELOEH KEADILAN<br />Adik Kandung Mas Medan ~ 43<br /><br />TJAHAJA TIMOER<br />Terbit di Antara Kaum Pembatik ~ 46<br /><br />POETRI HINDIA<br />Kekasih Cantik dan Alus Mas Medan ~ 49<br /><br />DJAWI HISWARA<br />Martodharsono dan Geger Surakarta ~ 53<br /><br />PANTJARAN WARTA<br />Anak Hindia Soedah Berapi ~ 57<br /><br />PEWARTA DELI<br />Hulu Bagi Jurnalis-Jurnalis Tangguh ~ 60<br /><br />SINPO <br />The Bodyguard from Batavia ~ 63<br /><br />AL-MOENIR<br />Saudara Mudanya al-Manar ~ 66<br /><br />MEDAN GOEROE HINDIA<br />Hak Sekolah untuk Semua ~ 70<br /><br />OETOESAN MELAJOE<br />Koran Utusan Kaum Adat ~ 73<br /><br />TJAJA HINDIA <br />Nasionalisme Bangsa (Basa) Indonesia ~ 77<br /><br />DE EXPRES<br />Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier!!! ~ 80<br /><br />OETOESAN HINDIA<br />Hidup Mati untuk Sarekat Islam ~ 83<br /><br />SAROTOMO<br />Koran Kritis Dituduh Rasis ~ 87<br /><br />SOENTING MELAJOE<br />Disini, Nama Roehana Koeddoes Terpahat ~ 91<br /><br />SAUDARA HINDIA<br />Berbagi Ilmu di Majalah ~ 94<br /><br />BINTANG TIONGHOA<br />Ada Sawo Matang di Koran Kuning ~ 97<br /><br />DOENIA BERGERAK<br />Koran Pamflet untuk Aktivis Berkepala Batu ~ 101<br /><br />POETRI MARDIKA<br />Si Gadis Intelek Boedi Oetomo ~ 104<br /><br />SELOMPRET HINDIA<br />Tereaklah! ~ 107<br /><br />BINTANG MATARAM<br />Gelitik-Menggelitik di Pojok Halaman ~ 110<br /><br />MEDAN BOEDIMAN <br />Pandai dan Terampil untuk Karaharjan Negeri ~ 114<br /><br />MEDAN MOESLIMIN<br />Hidoep Kaoem Moeslimin Sedoenia ~ 117<br /><br />SOEARA MOEHAMMADIJAH<br />Hampir Seabad Bernapas di Bawah Matahari ~ 120<br /><br />BENIH MARDEKA<br />Karena Critic itu Menghibur, Toean! ~ 124<br /><br />HINDIA MOEDA<br />Visi Perubahan di Lampung ~ 127<br /><br />IEN PO<br />Koran dengan Strategi Pemasaran Kreatif ~ 130<br /><br />NERATJA<br />Didik Nasionalisme Lewat Jalan Pendidikan ~ 134<br /><br />SINAR DJAWA<br />Antara SI, Semaoen, dan Radikalisme Pers ~ 138<br /><br />BARGA WASTRA<br />Ksatria Manggis dari Cirebon ~ 142<br /><br />JONG SUMATRA<br />Tiada Bahasa, Hilanglah Bangsa ~ 145<br /><br />PEREMPOEAN BERGERAK<br />Dari Deli untuk Kesetaraan ~ 148<br /><br />PERSATOEAN HINDIA<br />‘De Expres Jilid II ~ 152<br /><br />SINAR PASOENDAN<br />Duta Rakyat Pasundan untuk SI Semarang ~ 155<br /><br />TERADJOE<br />Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 158<br /><br />BOEDI OETOMO<br />Satrija Djawa Sedjati ~ 161<br /><br />KENG PO <br />Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 164<br /><br />JONG JAVA<br />Dari Jawa untuk Tanah Air ~ 168<br /><br />MASA BAROE <br />Ratu Adil dari Bandoeng ~ 172<br /><br />PEMIMPIN<br />Jurnalisme Berkelahi yang Berakhir di Bui ~ 175<br /><br />BENIH PENGETAHOEAN<br />Dari Kabar Pertukangan Hingga Pergerakan ~ 178<br /><br />DOENIA BAROE<br />Konang-konang dalam Benderang Kapitaal ~ 181<br /><br />MATAHARI<br />Berkobar-kobar Mendjilat ka Kiri ~ 185<br /><br />PEMBERITA INDIA<br />Pengingat yang Diabaikan ~ 188<br /><br />PERSATOEAN <br />Nasionalisme Turki untuk Penduduk Hindia ~ 191<br /><br />BANDERA ISLAM<br />Patok-patok Merukunkan Islam ~ 194<br /><br />FADJAR ASIA<br />Lebih Dekat dengan Tojkro, Salim, dan Wirjo ~ 197<br /><br />HALILINTAR<br />Pontianak Diguntjang ‘Petir’ ~ 201<br /><br />KEMADJOEAN HINDIA<br />Lahir Setelah Oetoesan Hindia Wassalam ~ 204<br /><br />OETEOSAN RA’IAT<br />Dari Dakwah Mimbar ke Dakwah Koran ~ 208<br /><br />PAHLAWAN<br />Juru Damai, Redakan Tikai ~ 211<br /><br />RA’JAT BERGERAK<br />Misbach Ditangkap dan Medja Redactie Tergontjang!!! ~215<br /><br />SARASO SAMALOE<br />Satu Rasa Minang-Pariaman ~ 218<br /><br />SIN JIT PO<br />Di Sini si Fjamboek Berduri Pernah Jadi Redacteur ~ 221<br /><br />SIPATAHOENAN<br />Nasionalisme Dari Paguyuban Sunda ~ 224<br /><br />WARTA TIMOER<br />“Spion” Pembela Kaum Lemah ~ 227<br /><br />BINTANG BORNEO<br />Manisfest Nasionalisten op Borneo ~ 230<br /><br />BOEMIPOETERA<br />Sang Penakluk Malaise ~ 233<br /><br />INDONESIA MERDEKA<br />Seruan Merdeka dari Perhimpunan Indonesia ~ 236<br /><br />KAOEM KITA<br />PKI Menipu Sarekat Islam ~ 240<br /><br />PELITA ANDALAS<br />Cahaya Terang Tionghoa-Bumiputera ~ 243<br /><br />SOEARA HINDIA<br />Dari Dagang hingga Perempuan ~ 246<br /><br />BERANI<br />Barang Siapa Jang Bentji Pada Kita ialah Moesoeh Kita! ~ 249<br /><br />CHABAR MINGGOEAN <br />Ada yang Menggigit di Feuileton ~ 252<br /><br />DJAWA TENGAH REVIEW<br />Jurnal Berita yang Tak Bias dan Biasa ~ 255<br /><br />DOENIA BAROE<br />Semesta Tionghoa untuk Indonesia ~ 258<br /><br />FIKIRAN<br />Penyambung Lidah Rakyat Minahasa ~ 261<br /><br />HINDIA BAROE<br />Iklan Menjepit Haji Agus Salim ~ 264<br /><br />NJALA<br />Ra’jat Mengadoe Didjawab dengan Kelewang ~ 267<br /><br />PENJOELOEH <br />Memojokkan Polisi Kolonial Dapat Teguran Bestuur ~ 270<br /><br />PERSATOEAN RA’JAT <br />Kaoem Miskin dari Segala Bangsa dan Agama Bersatoelah ~ 273<br /><br />SWARA PUBLIEK<br />“Doesta” yang Bilang Pers Peranakan Ta’ Nasionalist ~ 276<br /><br />TEMPO<br />Sebarisan Penganjur Dari Koran Jogja ~ 280<br /><br />TJAHJA PALEMBANG <br />Menerangi Kebusukan ~ 284<br /><br />BINTANG TIMOER<br />Yang Membujur lalu yang Melintang Patah ~ 287<br /><br />HAN PO<br />Jadikanlah Kami Indonesiamu Juga ~ 290<br /><br />PEMBERITA<br />Berayun Bersama Perlawanan Merah ‘26 ~ 294<br /><br />PERSAUDARA’AN<br />Pemantik Semangat Kemajuan Rakyat ~ 297<br /><br />PERTJA SELATAN<br />Bangoenlah Wong Palembang! ~ 300<br /><br />SINAR BORNEO<br />Jurnalisme Scolastik dari Pontianak ~ 303<br /><br />SINAR INDONESIA<br />Hakim Bagi Musuh Kaum Proletar ~ 306<br /><br />SOEARA BORNEO<br />Kabar dari Negeri Mandau ~ 309<br /><br />SOEARA MOERID<br />Penegak Surau di Padang Pandjang ~ 312<br /><br />SOEARA TAMAN SISWA<br />Pejuang Pendidikan Bangsa Indonesia ~ 315<br /><br />SOELING HINDIA<br />Mengaloen Oentoek Indonesia Raja ~ 318<br /><br />SOELOEH INDONESIA<br />Jurnal Politik Kaum Cerdik Cendekia ~ 321<br /><br />TJAHAJA DJOMBANG<br />Setitik Api dari Djombang ~ 325<br /><br />BOEMI MELAJOE<br />Dari Selatan Pulau Perca Mengeja Indonesia ~ 328<br /><br />MIMBAR CELEBES<br />Pergerakan dan Kritik Budaya ~ 331<br /><br />MATAHARI INDONESIA<br />Iwa Pun Dikurung di Belakang Matahari ~ 334<br /><br />PELITA BANGKA<br />Surat Kabar Pertama di Bangka ~ 338<br /><br />PERSATOEAN INDONESIA<br />Pekik Nasionalisme Soekarno ~ 341<br /><br />PEWARTA MADIOEN<br />Dulu Sekedar Reclame Sekarang Moweat Segala Brita ~ 344<br /><br />SOEARA KITA <br />Banggalah Berbahasa Indonesia ~ 347<br /><br />ISTERI <br />Utusan Perikatan Perempoean Indonesia ~ 351<br /><br />ISTRI MERDIKA<br />Memori Masa Lalu dan Cermin Kini ~ 354<br /><br />PEWARTA MENADO <br />Seruan dari Utara Celebes ~ 357<br /><br />SIN TIT PO<br />Persemaian Jiwa Indonesia ~ 360<br /><br />SINAR DELI<br />Dalam Arus Besar Pergerakan ~ 363<br /><br />SINAR LAOETAN<br />Jalan Belakang Menuju Kebebasan ~ 366<br /><br />SOEARA TIMOER<br />Berjuang untuk Ibu Timur ~ 369<br /><br />FADJAR INDONESIA<br />Reportase Perbudakan Kolonial di Mandar ~ 372<br /><br />PERGERAKAN <br />Pembela Peranakan di Belakang Tembok ~ 375<br /><br />SEDAR <br />Penentang Keras Poligami ~ 378<br /><br />INDONESIA MOEDA <br />Yang Muda, yang Berkarya ~ 382<br /><br />SOEARA KAOEM<br />Agoes Salim dan Persatuan Kaum Muda ~ 385<br /><br />RA’JAT <br />Si Pedagog dari Madura ~ 388<br /><br />BARISAN KITA<br />Di Mangkasar Matahari Molai Bertjahaja ~ 391<br /><br />DAULAT RA’JAT<br />Mengembalikan Pergerakan ke Jalur Pemikiran ~ 394<br /><br />LENTERA<br />Kaoem Iboe Wadjib Tempoer ~ 398<br /><br />AKSI<br />Apa Tuan Seorang Nasionalist ~ 401<br /><br />MEDAN RA’JAT<br />Koran Islam Semua Paham ~ 405<br /><br />OETOESAN INDONESIA<br />Dari Kiri ke Nasionalis ~ 408<br /><br />SOEARA MERDEKA<br />Ketika Gerakan Pemuda dan Pemudi Sama Pentingnya ~ 412<br /><br />SOEARA OEMOEM<br />Dari ‘Studie Club’ ke ‘Parindra’ ~ 416<br /><br />SOELOEH KAOEM MOEDA<br />Sajian Untuk Kaum yang Dilarang Berhutang ~ 419<br /><br />SURYA <br />Sekutu Soekarno dari Andalas ~ 422<br /><br />API RA’JAT<br />Api juang berkubar-kubar dalam Tungku ~ 425<br /><br />ASIA BAROE<br />Naga di Bumi Pasundan ~ 428<br /><br />BANTENG<br />Jago Tarung dari Partindo ~ 431<br /><br />FIKIRAN RA’JAT<br />Kaoem Marhaen, Inilah Madjalah Kamoe! ~ 434<br /><br />MENJALA<br />Organ PNI Sembunyi Tangan ~ 437<br /><br />SENDJATA RA’JAT<br />Penyokong Pergerakan yang Radikal ~ 440<br /><br />ADIL<br />Menuntun Umat, Mengawal Lahirnya Reformasi ~ 443<br /><br />PENJEBAR SEMANGAT<br />Untuk Bangsa Kita Kaum Kromo ~ 447<br /><br />PEMANDANGAN<br />Mozaik Nasionalist Indonesia ~ 450<br /><br />POEDJANGGA BAROE<br />Pandu Kebudayaan Indonesia ~ 454<br /><br />WARTA KEMADJOEAN<br />Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 457<br /><br />MINAHASSA POST<br />Bukan (Lagi) Kroni Kolonial ~ 460<br /><br />OETOESAN<br />Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 463<br /><br />SINAR SUMATRA<br />Ketika Melayu Ingin Modern ~ 466<br /><br />SOELAWESI<br />Nyemprot, tapi bukan Propaganda ~ 469<br /><br />TABOEH<br />Nasionalisme dari Negeri Asing ~ 472<br /><br />ISTERI INDONESIA<br />Kami Hanya Perkumpulan Sosial ~ 475<br /><br />PENJEDAR<br />Penyadar di Kala Tak Sadar ~ 478<br /><br />SOEARA PARINDRA<br />Gaung Bergabung Menuju Persatuan ~ 481<br /><br />TJAJA BOGOR <br />“Obat Kuat” Buat Bogor ~ 484<br /><br />NATIONALE COMMENTAREN<br />Trengginasnya Orang Manado! ~ 487<br /><br />PENOENTOEN PIKIRAN<br />Memperjuangkan Borneo ~ 490<br /><br />PEWARTA OEMOEM <br />Mengenalkan Pemimpin dan Bangsa Lewat Pidato ~ 493<br /><br />SEPAKAT<br />Penjajahan, Perang, dan Kesadaran ~ 496<br /><br />SEROEAN<br />Gorontalo Minta Diperhatikan ~ 499<br /><br />SINAR BAROE <br />Juru Bicara Saudara Tua ~ 502<br /><br />DJAWA BAROE<br />Kumpulkanlah Biji Jarak ~ 505<br /><br />PESAT <br />Santun Dalam Kata, Bijak Dalam Berita ~ 509<br /><br />REPOEBLIK<br />Suplemen Nasionalisme dalam Berita Perang ~ 512<br /><br />BERITA INDONESIA<br />Koran Propaganda Kemerdekaan ~ 515<br /><br />BINTANG MERAH<br />Dengan Jurnal Kembali ke Atas Panggung ~ 518<br /><br />DJAJABAJA<br />Mulut Jawa Prabu Karno ~ 521<br /><br />KEDAULATAN RAKJAT<br />Saksi Jatuh Bangunnya Pemerintahan Indonesia ~ 524<br /><br />MERAH POETIH<br />Pentingnya Uang Bagi Negara Merdeka ~ 528<br /><br />RRI<br />Sekali di Udara, Tetap di Udara ~ 531<br /><br />MERDEKA<br />Barisan Pembela Soekarnoisme yang Dihempas Soekarno ~ 534<br /><br />HIDUP <br />Dari Katolik untuk Indonesia ~ 537<br /><br />PANDJI RA’JAT<br />Koran Gratis untuk Indonesia ~ 541<br /><br />PEMBANGOEN <br />Njalakan Api Persaoedaraan Bangsa-Bangsa ~ 544<br /><br />SUARA MASJARAKAT <br />Penerang dari Malang ~ 547<br /><br />SOEARA MERDEKA<br />Siapa Pengkhianat, Siapa Pembela Revolusi ~ 550<br /><br />SOELOEH MERDEKA <br />Seiya Sekata, Sahabat Sejati Republiken ~ 553<br /><br />BAKTI<br />Ksatria Baret dalam Berita ~ 556<br /><br />BERNAS<br />Koran untuk Kota Pendidikan ~ 559<br /><br />GELOMBANG ZAMAN <br />Penggiring Badai Revolusi ~ 562<br /><br />GELORA RAKJAT<br />Nasionalisme dalam Lembaran Koran ~ 566<br /><br />GEMA MASSA<br />Kesetiaan yang Pahit ~ 569<br /><br />MASJARAKAT BAROE<br />Geliat Damai Staat van Beleg ~ 572<br /><br />NUSANTARA <br />“Harian Got dan Fasis” ~ 575<br /><br />PELITA RAKJAT<br />Suratkabar Berhaluan Nasionalis ~ 578<br /><br />BINTANG INDONESIA<br />Lentur Mewartakan Perekonomian ~ 581<br /><br />MIMBAR UMUM<br />Koran Medan, Berita Jakarta ~ 584<br /><br />MINGGU PAGI<br />Dua Jilid Perlawanan Seniman Malioboro ~ 587<br /><br />PEDOMAN RAKJAT<br />Penghadang Jalan Kudeta ~ 590<br /><br />PENABOER<br />Dari Jakarta Menabur Kasih ~ 593<br /><br />PENINDJAU<br />Kecak-kecak Warna Politik ~ 596<br /><br />PENOENTOEN PERDJOEANGAN<br />Dari Bukitinggi Menyusun Strategi ~ 599<br /><br />SIASAT<br />“Jalan Puisi” dalam (Berita) Politik Indonesia ~ 603<br /><br />TROMPET MASJARAKAT<br />Tiada Hari Tanpa Meja Hijau ~ 607<br /><br />WAKTOE<br />Enak Dibaca dan Penting ~ 610<br /><br />WARTA EKONOMI<br />Mencari Format Ekonomi yang Berkeindonesiaan ~ 613<br /><br />WASPADA<br />Di Bawah Bayang-Bayang ‘Sang Godfather’ ~ 616<br /><br />GEMA SUASANA<br />Eksodus Sastra Kritik ~ 619<br /><br />KESATUAN INDONESIA<br />Sadar Satu Sebangsa ~ 622<br /><br />HIKMAH<br />Karena Komunis Harus Ditendang! ~ 625<br /><br />MESTIKA<br />Media Intrik Nir Partai ~ 629<br /><br />PEDOMAN<br />Presiden Soeharto: “Pedoman...Pateni wae...” ~ 632<br /><br />PERDAMAIAN<br />‘Proces Sedjarah’ Sebagai Tonggak Ingatan ~ 635<br /><br />SIKAP<br />Diplomasi Kuat Bangsa Berdaulat ~ 639<br /><br />SUARA INDONESIA<br />Keseimbangan Informasi dan Hiburan ~ 642<br /><br />SUMBER<br />Kesatuan Indonesia Sebagai Harga Mati ~ 645<br /><br />WARTA INDONESIA <br />Keteguhan dalam Pergolakan ~ 648<br /><br />ABAD BARU<br />‘Pudjangga Baru’ van Medan ~ 652<br /><br />DUNIA EKONOMI<br />Menyapa Kaum Papa Lewat Media ~ 655<br /><br />HARIAN UMUM<br />‘Pak Pentol’ dan Benteng Kewarasan ~ 659<br /><br />INDONESIA RAYA<br />Berkali-kali Dibredel Baru Mati ~ 662<br /><br />DJAWA POST<br />Sebuah Anomali Pers Melayu Tionghoa ~ 666<br /><br />MEKAR<br />Tetap Setia pada Bu Fat ~ 670<br /><br />SUNDAY COURIER<br />Rupa-Rupa Politik di Hari Minggu ~ 673<br /><br />TANAH AIR<br />Mengabdi dengan Setia Kepada Tanah Air ~ 676<br /><br />ABADI<br />Hidupnya tak Seabadi Namanya ~ 679<br /><br />PENGHARAPAN<br />Hikayat Sepotong Kisah Korupsi ~ 683<br /><br />RAKJAT BERDJOANG<br />Daerah Berontak, Siapa Dalang? ~ 686<br /><br />SUARA MERDEKA<br />Koran Daerah Bernapas Nasional ~ 689<br /><br />UTUSAN INDONESIA<br />Tahu Menghargai Pahlawan ~ 692<br /><br />BASIS <br />Jurnalisme Seribu Mata ~ 695<br /><br />HARIAN RAKJAT<br />Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit ~ 699<br /><br />IPPHOS<br />Sejarah dalam Selembar Foto ~ 703<br /><br />KOMPAS<br />Nugroho Notosusanto Berhasrat <br /><br />Memperdalam Keinsafan ~ 706<br />MARHAEN<br /><br />Si Penyambung Lidah Karno di Makassar ~ 709<br />MINGGUAN HARAPAN<br /><br />Bedil Berpeluru Civic Mission ~ 712<br />PEMUDA<br /><br />Kenapa Mesti Mesti Menyembah Pada Angkatan Tua ~ 715<br />PUTERA SAMUDERA <br /><br />Para Penjaga Laut ~ 718<br />STAR WEEKLY<br /><br />Di Satu Putaran Jalan Hidup PK Ojong ~ 721<br />TEGAS<br /><br />Tanah Rencong Menuntut “Kemerdekaan Kolonial” ~ 724<br />MIMBAR INDONESIA<br /><br />Secangkir Kopi dan Berita Hangat di Sore Hari ~ 727<br />OLAHRAGA<br /><br />Pengabar Krida Negara ~ 730<br />INDONESIA<br /><br />Dari Idrus Hingga Armijn Pane ~ 733<br />SULUH INDONESIA<br /><br />Karena Buku Belajar Memahami Soekarnoisme ~ 736<br />SURABAYA POST<br /><br />Terbit Sore dengan Jurnalisme Putih ~ 739<br />DUTA MASJARAKAT<br /><br />Bintang Sembilan di Tengah Prahara’ 59 ~ 742<br />WARTA BANDUNG<br /><br />Bersama Belok Kiri ~ 745<br /><br />MINGGUAN SADAR<br />Media Hiburan Melek Politik ~ 748<br /><br />PROKLAMASI <br />Soekarno Kawin Lagi ~ 751<br /><br />REPUBLIK<br />Djelek-djelek Tetap Djakarta Kite ~ 754<br /><br />BUSINESS NEWS<br />Setia Memediasi Kebijakan Ekomomi ~ 757<br /><br />SI KUNTJUNG <br />Legenda Majalah Anak ~ 760<br /><br />IBU<br />Bukan “Perempuan”, Tapi “Wanita” ~ 763<br /><br />PELOPOR<br />Kabar Buruk Buat Bung Karno ~ 766<br /><br />REPUBLIK<br />Res Publica di Kota Atlas ~ 769<br /><br />SKETSMASA<br />Dengan Berita Mencerdaskan Bangsa ~ 772<br /><br />POS INDONESIA<br />Banyak Cara Berkelit dari Jeratan Delict ~ 775<br /><br />SELECTA<br />Diberangus Hanya Karena Mengatai Soeharto Bukan Anak Petani ~ 778<br /><br />WARTA<br />Ibu Maju, Bangsa Maju ~ 782<br /><br />PANDJI MASYARAKAT<br />Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis ~ 785<br /><br />DUTA PANTJASILA<br />Algojo Pengikis Separatis ~ 788<br /><br />SASTRA<br />Kiri Kanan Jadi Lawan ~ 791<br /><br />SINAR HARAPAN<br />Harga Sebuah Keberanian ~ 794<br /><br />TVRI<br />Si Pionir yang Terengah di Pasar Siar ~ 797<br /><br />BAHTERA AMPERA<br />Di Laut (Kapan) Kita Jaya ~ 800<br /><br />INDEPENDENT TJENDRAWASIH<br />Menulis Irian Barat dari Jakarta ~ 803<br /><br />INTISARI<br />Yang ‘Seksi’ yang ‘Berdisi’ ~ 806<br /><br />ANGKATAN BERSENDJATA<br />Di Bawah Lindungan Para Jendral ~ 809<br /><br />BALI POST<br />Dari “Pengemban Pancasila” hingga “Matahari dari Bali” ~ 812<br /><br />BERDIKARI<br />Di Tengah Kurun Pembersihan PKI ~ 815<br /><br />BERITA YUDHA<br />Lolos Dari Surat Keputusan ~ 818<br /><br />DWIKORA<br />Gagal Memediasi Bung Karno dan Rakyat ~ 821<br /><br />KOMPAS<br />Jurnalisme Anggun Dari Palmerah ~ 824<br /><br />NUSA PUTERA<br />Yang Selamat dari Badai ~ 828<br /><br />WARTA BERITA ANTARA<br />Lumbung Informasi, Terbit Pagi-Sore ~ 831<br /><br />API ISLAM<br />Berwajah Islam, Berotak Pancasila ~ 835<br /><br />GALA<br />Jitu Mengail Pengiklan ~ 838<br /><br />HARIAN KAMI<br />Amarah dari Sebuah Angkatan ~ 841<br /><br />HORISON<br />Di tengah Sengkarut Langit Sastra Indonesia ~ 844<br /><br />KARTIKA<br />Pasukan Pengawal Orde Baru di Jawa Tengah ~ 847<br /><br />MASA KINI<br />Di Kota Pelajar Membangun dan Mendidik ~ 850<br /><br />MERTJU SUAR<br />Matahari Pagi di Jogjakarta ~ 853<br /><br />PELOPOR BARU<br />Requiem Senja di Koran Sore ~ 856<br /><br />PIKIRAN RAKYAT<br />Raja Koran di Tatar Pasundan ~ 859<br /><br />PELOPOR JOGJA<br />Dua Era Membela Pancasila ~ 862<br /><br />NUSA TENGGARA<br />Melihat Nusa Dari Cara Pandang Tenggara ~ 865<br /><br />AKTUIL<br />Yang Kreatif yang Laris ~ 868<br /><br />OPINI INDONESIA<br />Tukang Minyak Jualan Koran ~ 871<br /><br />D&R<br />Ada Detektif di Pers ~ 874<br /><br />ELSHINTA<br />“News and Talk” 24 jam Non Stop ~ 877<br /><br />REVOLUSIONER<br />Jangan Main-main dengan Baju Loreng ~ 880<br /><br />SINGGALANG<br />‘Jurus 4 Pendekar’ ~ 883<br /><br />EKSPRES<br />Yang Kritis yang Dilindas ~ 886<br /><br />TRUBUS<br />Membangun Indonesia Berswadaya ~ 889<br /><br />MEDIA INDONESIA<br />Koran dengan Editorial yang “Galak” ~ 892<br /><br />MIMBAR MASYARAKAT<br />Saksi Bisu Matinya Pers Indonesia ~ 895<br /><br />POS KOTA<br />Bertarung dalam Isu-isu Urban ~ 898<br /><br />SINAR INDONESIA BARU<br />Ramuan Sang Tabib ~ 901<br /><br />KENDARI POS<br />Awalnya Koran Beringin ~ 905<br /><br />BANJARMASIN POST <br />Membelah Arus Kapuas ~ 908<br /><br />BERITA BUANA<br />Memulai Hari di Siang Bolong ~ 911<br /><br />NYATA <br />Lebih dari Sekadar Hiburan bagi Wanita ~ 915<br /><br />PRISMA<br />Rumah Kelahiran Cendekiawan Eksos ~ 918<br /><br />SUARA KARYA <br />Bunyi Bising dari Balik Beringin ~ 921<br /><br />TEMPO<br />Dari Berita ke Cerita ~ 924<br /><br />FEMINA<br />Ratu Majalah Wanita Indonesia ~ 929<br /><br />KARTINI <br />Pernah Seatap dengan Madonna ~ 932<br /><br />MONITOR<br />Arswendo dan Sang Nabi di Tabloid Iher ~ 935<br /><br />TOPIK <br />Kalem dalam Tutur Kata, Objektif dalam Berita ~ 938<br /><br />DIAN<br />Membangun Manusia Pembangun ~ 941<br /><br />HARIAN DUTA<br />Corong Orba di Pucuk Rencong ~ 944<br /><br />LAMPUNG POST<br />Lampung, Pers, dan Kepercayaan ~ 947<br /><br />PELITA<br />Bintang yang Berkali-kali Terbentur Dinding ~ 951<br /><br />JAKARTA JAKARTA<br />Jurnalisme Sastra Fotografi ~ 954<br /><br />FAJAR <br />Menjadi Matahari di Kota Angin Mamiri ~ 957<br /><br />JAWA POS<br />Menanam Radar di Setiap Kota ~ 960<br /><br />SARINAH<br />Pesona yang Tak Lekang ~ 963<br /><br />THE JAKARTA POS<br />Dipersembahkan untuk Pembaca (Berbahasa) Asing ~ 966<br /><br />BOLA<br />Nasionalisme di Lapangan Hijau ~ 969<br /><br />BISNIS INDONESIA<br />Dari Bekas Bengkes Hingga Wisma ~ 972<br /><br />SABILI<br />Mujahid Tahan Kritik ~ 975<br /><br />JAMBI INDEPENDENT<br />Dari Satu Kantor ke Kantor Lainnya ~ 978<br /><br />INFO KOMPUTER<br />Swalayan Maya di Musim Digital ~ 981<br /><br />PONTIANAK POST<br />Tonggak dan Tombak Rakyat Kalimantan Barat ~ 984<br /><br />PRIORITAS<br />Mati Dini Si Bayi Ajaib Dari Gondangdia ~ 987<br /><br />HARIAN SURYA<br />Kala Seniman Berebut Surat Keputusan Penguasa ~ 990<br /><br />WAWASAN<br />Koran Sore dengan Gaya Blak-blakan ~ 993<br /><br />EDITOR<br />Membangun Indonesia dengan Kritik ~ 996<br /><br />MANADO POST<br />Lahir dari “Baku Belante” ~ 1000<br /><br />SRIWIJAYA POST<br />Untuk Wong Kito di Bumi Sriwijaya ~ 1003<br /><br />RCTI<br />Televisi Pertama Swasta Indonesia ~ 1007<br /><br />SUARA PEMBARUAN <br />Sepotong Hikayat si Pemain Pengganti ~ 1010<br /><br />KALTIM POST <br />Dari Oost Borneo untuk Indonesia Timur ~ 1013<br /><br />NOVA<br />Inspirasi Wanita Indonesia ~ 1016<br /><br />SERAMBI INDONESIA<br />Bertahan dari Pelbagai Hempasan ~ 1019<br /><br />WARTA EKONOMI<br />Memikat dan Mengikat dengan Peringkat ~ 1023<br /><br />YOGYA POST <br />Yogya dan Kopi Sore Ala Emha ~ 1027<br /><br />FORUM KEADILAN<br />Membincangkan Delik dan Perkara ~ 1030<br /><br />ULUMUL QUR’AN <br />Cendekiawan Muslim Menjawab Tantangan Zaman ~ 1033<br /><br />RIAU POS<br />Mengembalikan Kejayaan Raja Ali Haji ~ 1037<br /><br />TRIJAYA<br />Mengudara Lebih Dari Sekadar Musik ~ 1040<br /><br />POS KUPANG <br />Oase di Padang Gersang ~ 1043<br /><br />ANTV <br />Lima Jam Lalu Jadi Bintang ~ 1046<br /><br />DETIK <br />Kami Akan Tetap Berpikir Merdeka ~ 1049<br /><br />CENDRAWASIH POS <br />Obor di Rimba Gelap Papua ~ 1052<br /><br />KALTENG POS<br />Di Antara Rimba dan Sungai ~ 1055<br /><br />REPUBLIKA<br />Harian Islam Generasi Ketiga ~ 1058<br /><br />GATRA<br />Lahir dari Geger Breidel ~ 1061<br /><br />KALAM<br />Menolak Keseragaman Kebudayaan ~ 1064<br /><br />SCTV<br />(Dari) Satu untuk Semua ~ 1068<br /><br />INDOSIAR<br />Awalnya Menjanjikan ~ 1072<br /><br />PERSPEKTIF <br />Masa Depan Blog Pada Isinya ~ 1075<br /><br />KONTAN<br />Menyuarakan Kemandirian ~ 1078<br /><br />JURNAL PEREMPUAN<br />Dari Jurnal ke LSM Profesional ~ 1081<br /><br />SOLOPOS<br />Koran Muda di Kuburan Pers ~ 1085<br /><br />MALANG POST<br />Ikon di Kandang “Singo Edan” ~ 1088<br /><br />DETIK.COM<br />Karena Waktu Jantung Informasi ~ 1091<br /><br />CEK & RICEK <br />Baca Gosip atau Fakta ~ 1094<br /><br />AMBON EKSPRES<br />Untuk yang Mencintai dan Menjaga Ambon ~ 1097<br /><br />FLORES POS<br />Bertahan tanpa Naungan Konglomerasi ~ 1100<br /><br />PADANG EKSPRES<br />Membangun Pers Lokal ~ 1103<br /><br />KBR 68H <br />Mengudara dari Sabang sampai Merauke ~ 1106<br /><br />PANTAU<br />Empat Format dan Sembilan Elemen Jurnalisme ~ 1110<br /><br />RAKYAT MERDEKA<br />Kembalinya “Jurnalisme Mimbar” ~ 1113<br /><br />METRO TV<br />Barometer Berita Tanpa Jeda ~ 1116<br /><br />GAUNG NTB <br />Maju Terus Berkata Benar ~ 1120<br /><br />LAMPU MERAH<br />Dari Judul Ketahuan Isi ~ 1123<br /><br />TRANS TV<br />Ini Tentang Televisi dan Bakso ~ 1126<br /><br />KORAN TEMPO<br />Pelopor Trend Baru Koran Kompak ~ 1129<br /><br />ATVLI<br />Dari Aceh Sampai Papua Berjajar Layar Kaca ~ 1132<br /><br />PULSA <br />Lembar Ragam Telepon Genggam ~ 1136<br /><br />TOPSKOR<br />Mengolah Raga Sepanjang Kala ~ 1139<br /><br />SEPUTAR INDONESIA <br />Datang Pagi Datang Sore ~ 1142<br /><br />PANYINGKUL <br />Jurnalisme Warga dari Makassar ~ 1145<br /><br />JURNAL NASIONAL<br />Mediasi Publik-Republik ~ 1148 </span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-59658566628205619022008-12-31T19:07:00.000-08:002008-12-31T19:12:25.558-08:00Seabad Pers Perempuan 1908-2008<a href="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVw0IhK2WPI/AAAAAAAAAJI/SZKy0zVHpcs/s1600-h/COVER_Seabad+Pers+Perempuan_NEW.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 200px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVw0IhK2WPI/AAAAAAAAAJI/SZKy0zVHpcs/s320/COVER_Seabad+Pers+Perempuan_NEW.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5286157383573592306" /></a>"Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.” Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah,ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubenur Jenderal, pastilah setiap hari dia akan makan enak.” <strong>(Raden Ayu Siti Soendari, jurnalis Poetri Hindia)</strong><span class="fullpost"><br /><br />Buku ini adalah dokumentasi seabad perjalanan pers perempuan di Indonesia. Tarikh ini dihitung dari lahirnya Poetri Hindia yang terbit pertama kali pada 1 Juli 1908. Suratkabar yang didirikan Tirto Adhi Soerjo ini menjadi laboratorium sosial bagi lahirnya jurnalis-jurnalis perempuan generasi awal. <br /><br />Dari biografi seratus pers perempuan inilah kita bisa menimbang kembali pelbagai anggapan lemahnya posisi tawar maupun peran strategis perempuan dalam dunia pers. <br /><br />Catatan biografi pers perempuan ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu yang demikian panjang—dari pembentukan sampai menjadi Indonesia—perempuan memainkan peran, mengambil posisi, dan bertindak di gelanggang politik, ekonomi, pendidikan, dan membangun barikade pertahanan keluarga.<br /><br />Sebagai wujud dari keterlibatan semua momentum itu, buku ini dikerjakan segelitir perempuan muda dengan cara didaktik dan kronikal, merekam biografi pers-pers perempuan Indonesia dari masa ke masa (1908-2008); dari belpagai daerah, pelbagai organisasi, dan dari pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda Melayu, Arab, dan Belanda) yang mewarnai perjalanan sejarah pers Indonesia. <br /><br /><strong>Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)</strong><br /><br /><blockquote>Judul: Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa<br />Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri, et. al.<br />Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008<br />Tebal: 406 hlm<br />Ukuran: 15x24 cm<br />Harga: Rp 300.000 (hardcover dan hanya dicetak terbatas)<br />Disc: 20%</blockquote><br /><br /></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-12979585415054390862008-12-30T23:52:00.000-08:002008-12-31T00:18:53.389-08:00Merayakan Tahun Baru Pesta Warisan Kolonial Belanda: Merayakan Bintang di Fort De Kock<a href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVsnX-A5YUI/AAAAAAAAAJA/jY6oBk1A7q4/s1600-h/Perayaan+Tahun+Baru.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 126px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVsnX-A5YUI/AAAAAAAAAJA/jY6oBk1A7q4/s200/Perayaan+Tahun+Baru.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5285861880386642242" /></a> <br />Sekali dalam satu tahun. Pergantian tahun, selalu dirayakan dengan cara yang berbeda. Banyak yang terlewati dalam satu tahun ini. Dua tahun yang lalu saya lewati pergantian tahun dengan merampungkan skripsi, satu tahun yang lalu saya lewati tahun baru dengan tidur lelap, dan tahun ini akan saya lewati dengan berkumpul bersama keluarga & makan durian buah kesukaan kami. Pergantian tahun, selalu dimaknai dan dirayakan dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang merayakan dengan hinggar binggar panggung hiburan. Pesta kembang api nan meriah, suara terompet, berkumpul di pusat-pusat kota, berkeliling kota, pergi keluar kota dll. Perayaan tahun baru adalah pesta warisan kolonial.<span class="fullpost"><br /><br />Kebiasaan merayakan pergantian ini juga menjadi kebiasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan wujud berbeda tentunya. Saya memiliki data tentang perayaan tahun baru ala pemerintah kolonial ini, tepatnya di pergantian tahun 1925 di Bukit Tinggi. Dalam wujud yang berbeda, gaya perayaan tahun baru pemerintah kolonial ini menurut saya sangat unik. Bukan hanya pesta nan meriah ditandai dengan letupan kembang api, tetapi sebuah refleksi atas kerja dan dedikasi dan karya seseorang.<br /><br />Bertepatan dengan 1 Januari 1925 pada hari Kamis, berkumpulah seluruh ambtenaar, kepala-kepala, penghulu-penghulu di kantor Assisten Resident, Fort de Kock yang akan merayakan tahun baru. Acaranya tidak jauh berbeda dengan acara pesta-pesta pada umumnya. Acara makan-makan dan perayaan puji-pujian. Sebelumnya pembesar-pembesar dalam golonganh Onderwijs dan Bineland Bestur menyerahkan bintang kepada mereka yang dianggap berjasa dan layak menerima penghargaan. Mereka adalah: <br /><br />1.<em>Engkoe Taib gelar Soetan Pamoentjak, Hoofdschoolopziener Voklsschool</em>, di anoerahi bintang emas kecil. Sebagai tanda penghargaan dari toean Assistent Resident Agam dan s.p toean Inspecteur. Perlu dijelaskan tentunya bahwa beliau dianggap berjasa sela lebih 40 tahun lamanya menebarkan bibit ilmu pengetahuan, dari pengabdian mulia sebagai guru sekolah kl. II, guru Kweekschool Fort de Kock sampai pada mengemudikan Volksschool.<br /><br />2.<em>Engkoe A. Karim gelar Soetan Sjarif</em>, Guru sekolah Osvia di Fort de Kock dianugrahi sebuah bintang perak besar. Sosok ini aktif dalam dunia pers, kelihaian pena-penanya dapat dibacai di koran-koran Melajoe.<br /><br /><br />3.<em>Engkoe Moehd.</em> Nazir Gelar Soetan Seripada, beliau adalah Jaksa Landraad di Ford de Kock dianugrahi bintang perak besar. Selain berjasa dalam bidang slidik menyelidik dan hukum, beliau juga ikut merintis sebuah sekolah HIS pertikelir, tempat ana-anak yang tidak diterima di HIS Goebernemen belajar.<br /><br />4.<em>Engkoe Chatib gelar Dt. Radja lelo</em>, Kepla Malalak distrik Bukit Tinggi, dianugrahi Bintang Tembaga. <br />5.<em>Hamzah gelar Dt. Batoeah</em>, Kepala Negeri Kapau distrik Tilantang IV Angkat, dianugrahi Bintang Tembaga.<br />6.<em>Soeit gelar Dt. Bandahara</em>, Kepala Negeri Kota Melintang district Tilatang IV Angkat, dianugrahi Bintang Tembaga.<br />Ketiganya (No. 4,5&6) bukalah pegawai pemerintah, tetapi penghulu yang diangkat menurut adat atas kesepakatan masyarakat. Anugrah Bintang Tembaga diberikan karena jasa mereka dalam memegang dan menjalankan aturan adat.<br /><br />7.<em>Saidi gelar Soetan Menteri</em>, seorang agen polisi yang sudah lama mengabdi dianugrahi bintang tembaga. (Disarikan dari berita <em>Panji Poestaka 1926</em>).<br /><br />Cukup sekian, kepada para pembaca saya haturkan Selamat Tahun Baru.</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-90840329437678571432008-12-23T15:48:00.000-08:002008-12-31T00:26:52.832-08:00Catatan Kecil: Marine Hindia<a href="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVF5ychiB3I/AAAAAAAAAI4/b1NoweL1XUc/s1600-h/mariner+sekolah.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 163px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SVF5ychiB3I/AAAAAAAAAI4/b1NoweL1XUc/s200/mariner+sekolah.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5283137745439557490" /></a><br />1 Desember 2008. Di museum Stovia niatnya sih mau rapat peringatan Haul Tirto. Yach apa mau dikata jadwalnya molor, memanfaatkan waktu luang saya berjalan berfoto sana-sini, miniatur kapal VOC menarik hati saya untuk berfoto di depannya.<br /><br />Kapal VOC ini menginggatkan saya akan sekolah mariner tempo dulu. Saya pernah membacainya di Panji Poestaka. <em>Pegawai Marine Hindia Belanda itoe ada bangsa Eropa ada poela bangsa Boemipoetra</em>. Lalu bagaimana para Bumiputra ini bisa menjadi seorang mariner? bukankah kala itu hanya segelitir orang saja yang bisa bersekolah? Lalu seperti apa sekolah mariner tempo dulu?<span class="fullpost"><br /><br /><em>Kweekschool voor inlandsche schepelinge</em>/Kweekschool buat awak Bumiputra ada tak jauh dari Makasar. Di tepi laut anak-anak yang akan menjadi awak kapal mendapat pendidikan. Marilah kita berjalan-jalan melihat-lihat sekolah ini. Jika kita masuk ke pintu gerbang, sampailah dihalaman sekolah dan tampaklah enam buah kamar yang besar, tempat tidur murid-murid. Tempat tidur itu dilengkapi kelambu untuk menahan nyamuk. Di dekat tempat tidur disediakan almari, dan papan untuk menaruh sepatu. Di antara kamar tempat tidur ada kamar yang lebar, tempat makan murid-murid. Ritual makan pagi akan dilakuakn pukul 6 pagi, pukul 8.25 para murid akan mendapatkan makan yang kedua, dan pukul 12,05 makan siang. Pukul 4.30 para murid mendapat makan lagi. Jam makan yang cukup ketat bukan.<br /><br />Disebelah kiri kamar makan kita lihat kamar gymnastiek dengan perkakasnya. Dibelakang kamar gymnastiek ada tempat buat mengeringkan pakaian. Berhadapan dengan ruang pengeringan, diseberang tanah lapang, adalah tujuh buah bilik tempat pengajaran Bahasa Belanda dan berhitung. Letak bilik-bilik pengajaran ini ditepi jalan raya. Dan para staf pengajarannya adalah para lulusan diploma.<br /><br />Kalau kita berjalan antara tempat mengeringkan pakaian dan kamar gymnastic akan kita temui rumah pertukangan, tempat murid-murid stoker dapat pengajaran.<br /><br />Di depan tempat pertukangan ada pelabuhan kecil. Disanalah perahu-perahu kepunyaan Kweekschool dapat berlabuh. Di pelabuhan itu disediakan sebuah cerocok yang menjulur ke laut. <br /><br />Mari kita berjalan lagi, dari panatai kesebelah belakang kamar tempat tidur. Kita lihat beberapa bilik buat wc dan kamar mandi. Tampak juga kolam renang yang disediakan untuk murid-murid. Setelah itu kita sampai ke dapur, yang letaknya tak jauh dari ruang tempat kesehatan, kalau sekarang UKS (unit Kesehatan Sekolah). <br /><br />Bumipoetra ini bisa menjadi awak mariner bukan lataran lahir dari keturunan bangsawan. Apabila memenuhi segala syarat seperti sehat badan, cukup usia dan memiliki kepandaian maka peluang untuk menjadi awak kapal Boemipoetra (Inlandsch Schepeling) pada Marine terbuka luas. Perekrutan para calon pelajar mariner ini dilakukan oleh Depertemen Marine di Betawai dan Marine Kerzerne Goebeng di Surabaya, atau Commandant van de Kweekschool voor Inlandsche Sehepelinge di Makassar atau lewat perantara amtenar besting Boemipoetra Assistent-Resident atau Resident kepala Afdeeling. Bagi Bumipotra yang berminat silahkan mendaftar??***</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-49454216988047707312008-10-19T22:07:00.000-07:002008-10-19T22:13:13.122-07:00TESTIMONI:LEKRA TAK MEMBAKAR BUKUDi era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang sarat gesekan itu. (Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah, cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta penerima Magsaysay Award 2008)<span class="fullpost"><br /><br />Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan;memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini merupakan salah satu buku yang sangat penting. (Dr. Anhar Gonggong,sejarawan)<br /><br />Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada<br />kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya. Buku ini berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola<br />secara seksama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi, perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat.Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk rakyat tak ada. (Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)<br /><br />Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari perspektif yang berbeda. Yaitu, dari perspektif yang lebih terbuka, lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap rakyat. Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan, rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan<br />memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah dibabat oleh segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri. Buku ini dapat menjadi pendorong untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat Indonesia. (Dr.Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)<br /><br />Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian populis yang berbasis kerakyatan itu. (Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)<br /><br />Ini adalah terbitan yang memiliki makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambarannyang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia. (Prof Dr Adrian Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and Cultures)<br /><br />Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah tentang "the true believers". (Taufik Rahzen, ziarawan, kuratorsenirupa, dan penggiat festival)<br /><br />(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat<br />Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan<br />Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta<br />Terbit: Okt 2008, 581 halaman<br />Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia softcover dan hardcover)<br />ISBN: 978-979-18475-0-6.<br />Harga (softcover): Rp 70.000; edisi hardcover dipesan ke 081-328690269</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-69045893276190663412008-10-19T22:02:00.001-07:002008-10-19T22:04:31.469-07:00Telah Terbit: LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwRVPd47AI/AAAAAAAAAGo/pkwAgMwfWoo/s1600-h/Lekra+Tak+Bakar+Buku_MP.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwRVPd47AI/AAAAAAAAAGo/pkwAgMwfWoo/s200/Lekra+Tak+Bakar+Buku_MP.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5259097521488718850" /></a><br />Telah terbit tiga buku dari riset Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tentang gerakan kiri kebudayaan yang luar biasa bergemuruhnya selama 15 tahun menahan arus besar imperialisme modal dan intervensi asing (Amerika Serikat) hingga mereka sangsai di depan sejarah. Ketiganya adalah:<br /><br />(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat<br />15 x 24 cm; ISBN 978-979-18475-0-6; 581 halaman. Cetak massal dan bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.<span class="fullpost"></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-17582665013088302642008-10-19T21:59:00.000-07:002008-10-19T22:01:56.107-07:00(2) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwQt21fd_I/AAAAAAAAAGg/zLc1KQ7XYao/s1600-h/Gugur+Merah_MP.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwQt21fd_I/AAAAAAAAAGg/zLc1KQ7XYao/s200/Gugur+Merah_MP.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5259096844861929458" /></a><br />Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965). 15 x 24 cm; ISBN: 978-979-18475-1-3; 966 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Bisa dipesan ke 081-328690269.<span class="fullpost"></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-3884050455161758652008-10-19T21:55:00.000-07:002008-10-19T21:58:26.552-07:00LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwP44p4E9I/AAAAAAAAAGY/w7G1yOaxShM/s1600-h/Cerpen+Lekra_MP.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/SPwP44p4E9I/AAAAAAAAAGY/w7G1yOaxShM/s200/Cerpen+Lekra_MP.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5259095934817014738" /></a><br />Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan”, “diadaptasi”, dan “dipraktikkan” di lapangan kesusastraan Indonesia. 15x24 cm; ISBN 978-979-18475-2-0; 585 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Silakan pesan ke 081-328690269.<span class="fullpost"></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-23264756699679990192008-05-07T08:12:00.001-07:002008-05-07T19:48:23.687-07:00Rumah LangitHei baru aku sadar bahwa sudah hampir satu bulan aku tiada menulis email untukmu. Ya terakhir aku memencet tuts keyboard komputer, merangkai huruf demi huruf menjadi kata, kalimat dan akhirnya paragraf untukmu adalah tanggal 6 bulan yang lalu. Selama itu sudah 3 kali kau memberiku email-email menyenangkan, khas dirimu. Sebenarnya bukan aku malas membalas, tapi lebih kepada, lagi-lagi kukakatakan aku tak tau harus berkata atau bercerita apa. Begitu beragam dan menarik semua ceritamu. Dan aku tertatih-tatih bahkan berlari terengah-engah untuk sekedar mengimbanginya. Yah meskipun kurang berhasil juga.<br /><br />Baiklah mungkin itu adalah pleidoiku, karena tak kunjung aku berkirim surat via yahoo mail padamu.<br /><br />Kau pasti tau kan jika kau menghubungiku lewat Indosat, salah satu tempat favoritku adalah jendela di ruang perpustakaan depan kamar para perempuan kroniek (perempuan kroniek? Sebutan yang aneh). Sebentar....belok dulu, ngomong-ngomong tentang Indosat...rasanya kita bagai dijajah oleh sebangsa penjajahan imperialisme modern, kita sebel, mangkel karna begitu sulitnya naudzubillah jika hendak menelepon murah. Yah kita sebut saja kasus 23––11. Jika PLN mencanangkan ingat 17––22, nah kita mungkin : jengkel sekaligus cinta kepada 23––11. Kembali pada jendela, (oiya kau tau novel Fira Basuki dengan judul itu – Jendela - , menurutku cukup menarik, meski tidak terlalu puitis), mbak Rhoma alias mbak Ria memberikan nama <span style="font-style:italic;">Rumah Langit</span>. Nama yang indah. Lalu kenapa ia punya ide menamakan tempat itu <span style="font-style:italic;">Rumah Langit</span>? <span class="fullpost"><br /><br />Karena disanalah kami yang terkurung dalam tembok Veteran 25 memiliki sebuah kemewahan langka... yah sebuah Jendela. Tidak istimewa jika benda yang sama aku miliki di Yogyakarta. Eh tidak bagiku jendela adalah istimewa. Kita melihat ke luar tanpa harus terlibat...di jendela kamarku aku biasa menghirup udara pagi dengan iringan...tentu saja bukan lagu Indonesia Raya, tapi lagu Sebelum Cahaya. Aku paling suka melakukannya setiap jamaah Subuh di Masjid Sulthony dekat rumahku telah kembali ke pelukan rumahnya di Bumi, setelah beberapa saat membangun rumah yang kelak diharapkan ditempati di akhirat yang kekal. Ah rumah betapa rindunya aku. Aku juga rindu pada rumahku di hatimu...kuharap kau juga begitu. <br /><br />Lalu apa istimewanya Rumah Langit kami ini?disinilah mata-mata lelah kami bisa merasakan indahnya langit Jakarta yang tidak indah, yang warna birunya telah berubah menjadi putih. Laksana blue jeans yang kau rendam dalam larutan disinfektan. Tidak megapa tiada warna biru diatas kepala kami saat kami duduk nangkring di jendela itu, bahkan jika sekadar melongok keluar. <br /><br />Taukah kamu?sebenaranya bentuk jendela ini sama sekali tidak istimewa. Hanya jendela kaca geser berbingkai alumunium selebar 2 meter yang terbagi dua. Salah satunya bisa digeser. Tingginya sekitar ¾ m lebih dari lantai (entahlah aku menyadari kelemahanku yang lain adalah tidak pandai memperkirakan jarak atau ukuran panjang atau lebar). Jadi jika kami ingin duduk di jendela kami harus memanjat rak buku di dekatnya (aduuh susah menjelaskannya). Tidak ada balkon indah diluarnya. Hanya ada pijakan dari beton selebar 10 cm. Jadi kami benar-benar duduk di jendela. Dibawahnya adalah atap asbes dari dapur kami dibawahnya. 3 meter dari jendela adalah tembok setinggi 4 meter pembatas antara deretan ruko di jalan Veteran dengan mabes AD tentu saja angkatan darat milik RI. Meskipun ada pembatas toh kami bisa melongok halaman markas tentara negeri kita ini jika berdiri lagi-lagi di jendela. Dari jendela jika kamu berpaling ke kiri berdiri dengan cueknya Monas lambang kejayaan bangsa ini di tahun 50-an. Ah lupa aku tentu saja juga terlihat bagian belakang dari rulo-ruko tetangga kami. Di depan kami selain markas TNI AD juga terlihat berbagai gedung yang aku tak tau apa namanya. Kalau menoleh ke kanan terlihatlah lagi-lagi bagian belakang ruko tetangga dan banyak gedung....oh ada yang menyala terang dengan hiasan lampu imut-imut yang membentuh atas rumah gadang. Itu adalah rumah makan padang di jalan Djuanda. Dibelakangnnya menjulang apartemen. Lalu jika melongok ke belakang, ah tentu saja ruang perpustakaan kami. Tepat dibawah kami ada 2 utas tali jemuran tempat kami manyantelkan baju-baju basah kami. Ugh beginilah kalo tempat yang ga didesain utuk rumah tinggal, ga ada areal khusus untuk menjemur pakaian, itu rutuk Tiesa.<br /><br />Dari semua pemandangan biasa itu apa yang membuat kami suka berada di jendela?<br />Yah karena langit itu tadi. Ini adalah tempat paling sunyi dimana kamu bisa samar-samar melihat matahari di siang hari. Menikmati lembayung jingga langit sebelah barat di sore hari, dan jika beruntung melihat bulan di malam hari. Aha... dan tentu saja tempat paling menyenangkan menerima telepon dari seseorang yang spesial.<br /> <br />Rumah langitlah yang menjaga kewarasan kami. Dengan sekadar melongok melihat lagit kami merasakan indahnya langit di rumah. Mata kami sekedar rehat sejenak dari pemandangan dinding putih, komputer, tumpukan buku, dan koran. Karena rasanya damai dan menyenangkan di sanalah tempat kami merenung mendendangkan lagu-lagu kesayangan atau untuk beberapa temanku tempat memancing inspirasi keluar. Ya...inspirasi laksana siput yang bersembunyi jika dipaksa dipegang. Makanya menemukan cara bagaimana membuat sipput untuk tidak malu-malu keluar adalah sebuah berkah.<br /><br />Lalu dari semua keistimewaan diatas semua ketidakindahan rumah langit apa yang membuatku menyukainya? Disanalah aku sekejap merasakan dekat denganmu. Saat pagi aku aku melihat lagit yang mulai terang, meski matahari tak tampak, aku berharap kaupun melihat lagit yang sama denganku. Saat sore mulai menyergap bumi, kuharap kaupun melihat sore yang sama denganku. Saat rembulan bermurah hati menampakkan senyumnya, aku juga berharap kau sedang menatap bulan. Jadi dalam dunia kosmik ku, aku anggap langitlah yang menyatukan kita....(tentu saja sebenarnya kita tinggal di bumi yang sama dan menghirup oksigen pula....tapi tolong jangan rusak suasana!)<br /><br />Akhirnya aku berharap hatiku dan kamu disatukan oleh Langit dan diatas segalanya Sang Penguasa langit berkenan dan meridhoi untuk menjadikannya sebuah Rumah untuk kita....tempat kita merasa istimewa dan hangat.....seperti <span style="font-style:italic;">Rumah Langit</span> kami yang sederhana tapi istimewa dan unik bagi hati kami masing-masing. (Cerita Teman sekamarku Winda Sano kepada “rumahnya hatinya” yang ku-edit ulang).</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-58239446722208609212008-04-27T23:45:00.000-07:002008-04-28T00:15:10.967-07:00UNTOLD STORYThis is deeply moving story that emerge new insight of life and very sophisticated story because it comes from marginal and vulnerable people whose presence is being denied by the society at large. We often consider them as countless one, but they are too far from our attention, our caring and our compasionite heart. However, the story tells a lot about you, me and us all - how should behave and treat other people as just the way the are. The story goes like this: “One day he is planning to retire from his job. He told his employer-Contractor of his plans to leave the house building business and live a more leisurely life with his wife enjoying his extended family. He would miss his paycheck, but he needed to retire. They could get by.<br /><br />The Contractor was sorry to see his good worker go and asked if he could build just one more house as a personal favor. The Carpenter said yes, but in time it was easy to see that his heart was not in his work. He resorted to shoddy workmanship and used inferior materials. It was an unfortunate way to end his career.<span class="fullpost"><br /><br />When the Carpenter finished his work the builder came to inspect the house, the Contractor handed the front-door key to the Carpenter. “This is your house,” he said, “my gift to you.”<br /><br />What a shock! What a shame! If he had only know he was building his own house, he would have done it all so differently. Now he had to live in the home he had built none to well.<br /><br />Reflecting on this story, I can sense that it was with us. We build our lives in a distracted way, reacting rather than acting, willing to put up less than the best. At important point we do not give the job our best effort. Then with a shock we look at the situation we have created and find that we are now living in the house we have built. If we had realized, we would have done it differently.<br /><br />Think of ourselves as the Carpenter. Think about our house. Each day we hammer a nail, place a board, or erect a wall. Build wisely. It is the only life we will ever build. Even if we live it for only one day more, that day deserves to be lived graciously and with dignity. The plague on the wall says, “Life is a do it-yourself project.”<br /><br />Who could say it more clearly? Our life today is the result of our attitudes and choices in the past. Our life tomorrow will be the result of our attitude and choices we make today.</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-90791634066243413622008-03-29T03:54:00.000-07:002008-03-29T09:38:16.545-07:00FOR THE SHAKE OF AMBON "MANISE"In January 19,1999 Ambon and Maluku no longer become the city of "Manise" due to sectarian conflict among the local groups. Law and order was crippled, society was polarized into groups. Thus the violence become landscape of everday life in the city, and its really humanitarian tragedy. In the mids of these situation, Ambon Express as one of the latest news paper in the region exist. Actually from the name itself is not considering as new newspaper, because long before that there already exist the similar name which so called "Suara Maluku". Its expanding of Java Post Group, one of big local newspaper in Java Island. In fact they (two newspaper) are same, it is under one company, Java Post Group. But it can be said also that they are very different from each other, in sense that each group has its own managerial system. As Eriyanto stated, in the article entitled “Media dan Konflik (Media and Conflict)” that "Suara Maluku newspaper is being separated into two groups, such as, "Suara Maluku" and "Ambon Express".<span class="fullpost"><br /><br />It happens that since the social conflict spread out around the area, the society break through into different sectarian groups and people divided themselves according to the religion they belong to. Those who come from Muslim may not go to Christian community, and vice versa. Each group cannot interact or communicate each other and really being isolated from other group. This kind of situation gives great impact to the local media/newspaper especially in publishing daily information. They cannot publish the newspaper because the area was being banned by its own group not to enter into other area. However it is more complicated for the journalist especially for those who come from Muslim community to do their work normally because the main office of the Newspaper is located in Kampung (village)Halong Atas, one of Christian community. Instead of being banned from each group, some of their Muslim colleagues choose to establish Ambon Ekspress, and some are decided to leave Maluku island. For the group who established "Ambon Express", they continue their work by becoming freelance in other media,such as, Forum Keadilan Magazine, Republika, Jawa Pos, ect. But it is not take so long for them to go back to their first community to form their own newspasper, which they name it "Ambon Express".<br /><br />To implement their idea, in following day, May 1999, the writer together with Machfud Waliulu (Vice General Manager/Chief of Finance Suara Maluku), Elly Sutrahitu (GM Suara Maluku) and Darmosius Sosebeko (Editorial Suara Maluku) made the meeting which was scheduled by Jawa Pos group. There were also the boss of Jawa Pos Dahlan Iskan and the director HM. Alwi Hamu. The result was agreement to establish a new newspaper, "Ambon Ekspress", so that the journalist can continuously express their idealism.<br /><br />Ambon Ekspress first publication was on 12 July 1999 with the press license (SIUPP) from Junus Yosfia ni 1574/MENPEN/SIUPP/1999, 30 July 1000. The umbrella of the company was PT. Ambon Press Intermedia. The first time, Ambon Ekspress was located in the boarding house of Jalan Baru no 6, Ambon. Dahlan Iskan was elected as the Chair leader, meanwhile main commissioner HM. Alwi Hamu and director Syamsu Nur. The director of the company was Wachmud Waliulu, S.E, editor in chief is Drs. Ahmad Ibrahim, vice of chief editorial Ongki Anakoda, S.H and Hamid Kasim, S.E as the redactor.<br /><br />Started as weekly magazine, Ambon Ekspress was printed in Makassar under collaboration with the printing company of Harian Fajar, Makasar. The oplah was 2.500 pieces.<br /><br />The articles were sent from Ambon by fax and email, edited in Makasar, and after printed to be sent via the plane or express boat PT. Pelni. During first and half year Ambon Ekspress was quickly improved. And on Tuesday, May 10, 2001, Ambon Ekspress officially became daily and printed black and white in Ambon.<br /><br />Since the beginning, Ambon Ekpress has great concern to the local issues including the previous conflict in Ambon. Some political figures stated that Ambon Ekspress is “in purpose” to provoke the society who are being trapped by the conflict. Coincidently, Ambon Ekspress who created by Muslim journalist was on the position of Suara Maluku competitor. Ambon Ekspress also signified as Islam representative newspaper.<br /><br />During its consistency, press in Maluku always become the spot of the sample of conflict. Press also often to be positioned as the black goat. Furthermore, Suara Maluku-Ambon Ekpress case also positioned as the part of conflict lengthening. Though most of them understood hat the conflict was caused of many players involved. That is why in order to find the better composition of opinion, there should be certain indicator, so that the provocation standard from the media could be seen clearly, as well as the case of Ambon Ekspress.<br /><br />In the meeting which was held at Hotel Salak, Bogor, February 2001, facilitated by Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Indonesia, under collaboration with the Asian of Foundation and BBC London, the attendance were from 42 journalist and the leaders of local mass media from Maluku and North Maluku. This meeting also attended by the Head of Press Board Atmakusumah and some other leaders, like a sociologist Dr. Imam Prasodjo, from Universitas Indonesia, Kapuspen TNI MArsekal Muda Gratio Usodo, Munir from human right activist watch, Maluku governor Dr. M. Saleh Latuconsina and Jawa Pos group boss Dahlan Iskan. That was the ‘judgment day’ of Ambon Ekspress.<br /><br />During the event, the writer explained that “too subjective if it is said that Ambon Ekspress daily is neutral or not provoked during the conflict. All people realize that the conflict can caused social damage including our social systems, like the government, private sector, army/police, and mass media. Conflict exist not because of the media since it is happened before reported.”<br /><br />In 2001 the following meeting was held in Surabaya, there the idea came up to combine this two media between Ambon Express and Suara Maluku. They decided that both have their own office but then the articles were united. The printing company (Suara Maluku has Harris mark and Ambon Ekspress has Collor Web mark), was placed on the neutral location. With this idea, the negative image of the conflict amongst media in Maluku will be eliminated. But, this idea was dropped down. Ambon had already become fragmented into sectarian groups based on the ‘religious’ issue, no neutral place. With his headache, Dahlan Iskan said, “How if we unite the machine and be called Al-Harris. Principally, machine has no religion, only human being has it?”(Rhoma Dwi Aria Yuliantri)</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-84171746897160696122008-03-12T04:22:00.000-07:002008-12-11T09:05:01.765-08:00Untuk Dunia Buku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R9e9x5hjC3I/AAAAAAAAAF0/Wnl185gKi1g/s1600-h/Mata++Baca.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://4.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R9e9x5hjC3I/AAAAAAAAAF0/Wnl185gKi1g/s200/Mata++Baca.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5176814961638443890" /></a><br />Siapakah orang paling berpengaruh dalam sejarah? Untuk menjawabnya, ada baiknya Anda buka <span style="font-style:italic;">Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah</span> terbitan Pustaka Jaya (1982). Di buku itu, bertengger pada urutan 6 dan 7, Anda akan menemukan nama Ts'ai Lun dan Johan Gutenberg. Nama pertama adalah penemu kertas, sedangkan nama selanjutnya penemu mesin cetak.<br /><br />Pada mulanya adalah kertas, ditera pada lembar-lembarnya huruf-huruf, digabungkan, diberi lem, dan di-binding, walhasil jadilah buku. Buku-buku disebar ke seluruh dunia, melewati sekat pembatas, menembus waktu. Berkat buku, kehidupan pada abad-abad yang lewat bisa hadir di hadapan kita: kini dan di sini. Dengan alur itu, tak heran bila Lun dan Gutenberg masuk dalam daftar pesohor pengubah sejarah. Bukankah sejarah lahir setelah ada tulisan, dan tulisan menjadi abadi tersebab kertas dan cetakan?<br /><br />Begitulah, setiap berhadapan dengan buku, kita selalu berjumpa dengan ketakjuban-ketakjuban. O, apakah dunia buku kita sama menakjubkannya dengan buku itu sendiri? Tentu saja, Saudara. Cobalah buka dan baca <span style="font-style:italic;">Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia</span> terbitan Yayasan Lontar bekerjasama dengan Weatherhill Inc., akan Anda temui betapa tradisi aksara di Indonesia jauh lebih awal dari yang dketahui.<span class="fullpost"><br /><br />Anda tentu tahu kalangon, seni menulis puisi dalam tradisi Jawa Kuno. Tradisi ini telah melahirkan antara lain Ramayana (abad ke-9) dan Arjunawiwaha (abad ke-11). Atau berkunjunglah ke Tanah Bugis, di sana ada puisi epik I La Galigo atau Sureq Galigo, naskah yang hingga kini merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Juga sempatkanlah mampir ke Bima, ada Bo' Sangaji Kai, buku catatan raja-raja Bima selama dua abad. Mengagumkan, bukan?<br /><br />Tentu kekaguman pada warisan silam saja tak cukup. Yang lebih penting adalah meneruskan tradisi itu, mencatat perkembangan dunia menakjubkan tersebut sepanjang zaman. Untunglah, di antara sekian banyak yang tak peduli, MataBaca tampil mengemban tugas itu. Lima tahun sudah majalah ini merekam jejak belantara buku Indonesia.<br /><br />Terbit perdana pada Agustus 2002, Mata Baca menjumpai pembacanya saban sebulan sekali. Majalah ini terbit berkat kerja mitra Bank Naskah Gramedia dan Penerbit IndonesiaTera. Bank Naskah Gramedia merupakan bagian dari industri buku terbesar negeri ini, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang berkediaman di Jakarta, mewakili pusat, sementara IndonesiaTera berkantor di sebuah desa di Magelang, representasi penerbitan kecil di wilayah tengah Jawa.<br /><br />Pada sebuah siang di tahun 2002, di Hotel Santika Yogyakarta perwakilan kedua penerbitan itu bertemu. Pihak Bank Naskah Gramedia diwakili Theodorus J. Koekerits dan penyair Joko Pinurbo. Sementara dari pihak IndonesiaTera datang Andreas Darmanto dan direkturnya yang juga penyair, Dorothea Rosa Herliany. Seturut pengakuan Joko Pinurbo dalam MataBaca vol V/No 1/September 2006, pertemuan itu berusaha "menindaklanjuti gagasan Frans M. Parera ... tentang perlunya segera menerbitkan majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan".<br /><br />Barangkali benar pengakuan itu, bahwa gagasan majalah perbukuan tersebut merupakan gagasan Frans Parera, petinggi KKG. Karena itu kemudian namanya bercokol sebagai pemimpin umum. Sementara di antara mereka yang bertemu, Dorothea Rosa Herliany menjadi wakilnya, T. Jacob Koekerits menjabat pemimpin redaksi, dan Joko Pinurbo kebagian redaktur pelaksana.<br /><br />Perihal nama MataBaca sendiri, keputusan untuk memakai nama itu, demikian Pinurbo, lebih dipukau oleh pesona puitiknya ketimbang makna leksikalnya. Pada mulanya adalah nama, setelahnya baru rasionalisasi terhadap nama itu. Kata Pinurbo, rasionalisasinya adalah "Mata perlu dididik dan dibudayakan agar semakin jernih dan tajam. Agar semakin mampu melihat dan menembus dimensi-dimensi yang lebih dalam di balik hiruk-pikuk peristiwa dan riuh-rendahnya perkembangan zaman. Agar semakin tekun dan pintar membaca. Bukan sekadar membaca buku atau deretan aksara, tapi juga membaca berbagai fenomena yang bersliweran di tengah pusaran kehidupan masyarakat."<br /><br />Kerjasama kedua pegiat penerbitan itu menghasilkan karya apik: kekhasan perwajahan ala penerbitan Yogyakarta yang nyeni, seperti dianut juga IndonesiaTera, jelas terlihat. Sementara, karena dicetak oleh Percetakan milik Gramedia yang canggih, wajahnya jadi terlihat lebih cantik. Tak hanya perwajahannya, isinya juga informatif. Di antara rubrikasinya ada "Gagas" yang berisi opini seputar perbukuan, "Raut" tentang tokoh atau wajah suatu penerbitan, "Warta" berita dunia buku, "Kupas" merupakan resensi buku-buku yang baru beredar, dan "Renung", sebuah kontemplasi dengan puisi.<br /><br />Pada edisi-edisi awal, pembaca bisa berpartisipasi mengisi semua rubrik tersebut. Walhasil, alih-alih menyodorkan satu tema tertentu dalam satu edisi, majalah ini nyaris serupa kumpulan tulisan terserak banyak orang. Belakangan, majalah ini punya beberapa kontributor yang menuangkan tulisan-tulisan bertema sama dalam satu edisi, mengurangi jatah tulisan pembaca.<br /><br />Namun demikian, majalah ini selayaknya didukung. Setidaknya alasannya adalah dia satu-satunya yang mengkaver wajah perbukuan kita. Memang selain MataBaca ada "Ruang Baca". Namun "Ruang Baca" tak lebih dari suplemen sebuah koran dan nyaris hanya berisi kumpulan resensi semata.<br /><br />Kesendirian tentu tidak bisa jadi alasan untuk tidak berbenah. Perubahan adalah hal niscaya. Seiring waktu, MataBaca pun tak bisa mengabaikan hukum alam ini. Namun perubahannya sedikit membuat kita tertegun: majalah ini menjadi lebih muda dan ngepop. Karenanya dalam rasionalisasinya Joko Pinurbo menulis, "majalah ini ingin lebih mendekat ke kalangan muda, ke mata-mata muda yang diharapkan dapat ikut menciptakan keindahan manusiawi di tengah kemelut kehidupan masyarakat yang lebih gelap mata dan membabibuta." Rasionalisasi yang jelas tidak tercetus ketika terjadi pertemuan Santika.<br /><br />Perubahan sejak edisi September 2005 itu tak hanya pada perwajahan dan isinya yang lebih gaul, tapi juga mereka yang berada pada kursi redaksional. Orang-orang IndonesiaTera tak lagi duduk di sana. Dan hasilnya pun jelas: ciri nyeni ala penerbitan Jogja dengan tampilan lukisan yang semula menghias tiap edisi, terutama pada kaver depan, menghilang, diganti dengan pose penulis atau pemilik penerbitan yang direkam oleh jepretan fotografer, dengan judul yang jelas ngepop: "Pram, Gue Banget!", "Kalau Seleb Jadi Penulis", "Nggak Zamannya Lagi Penulis Miskin", "Sains Gak Ada Matinye". Judul-judul itu juga diupayakan mengikat tulisan-tulisan di dalamnya, terutama di bawah rubrik "Gagas Utama".<br /><br />Mengapa IndonesiaTera tidak lagi berkecimpung mengelola majalah berjargon "Jendela Dunia Pustaka" (sebelumnya: "Mencermati Dunia Pustaka") ini? Tak ada penjelasan. Yang jelas, sejak merebaknya penerbitan di Yogyakarta dan sekitarnya pascareformasi 1998, musim surut menghantui semenjak tahun 2005-an. Konon, jumlah penerbitan di Yogyakarta waktu itu mencapai ratusan. Satu per satu penerbit Yogya itu jatuh. Beberapa yang namanya kadung besar, diakuisisi oleh penerbitan dari kota lain. Termasuk IndonesiaTera yang pada penghujung 2006 dibeli oleh distributor buku besar asal Jakarta.<br /><br />Bertahan di negeri dengan minat baca rendah memang bukan pekerjaan mudah, tak hanya bagi penerbitan di Yogyakarta, tetapi juga penerbitan di kota lain. Bayangkan, buku yang dicetak 1000 eksemplar saja harus melewati masa bertahun-tahun agar bisa habis dipasarkan. Buku paling laris pun, dengan tema sensasional, hanya laku puluhan ribu eksemplar. Berapa persen jumlah itu dibanding penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa?<br /><br />Kendala lain adalah pertarungan antarpenerbit yang nyaris serupa arena tarung bebas dengan hukum rimba: yang kuat memangsa yang lemah. Belum lagi harga kertas yang terus melambung, iklim pemasaran yang tak berpihak pada industri kecil, serta regulasi perbukuan yang tak jelas. Dan satu lagi: tak ada badan yang memayungi semua penerbitan itu. Alih-alih menjadi pengayom dan pembina, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) punya syarat yang tak bakal genap dipenuhi penerbitan kecil. <br /><br />Serta yang terpenting: badan ini menjadi semacam event organizer pameran buku semata. Peran lain nyaris tak ada. Misalnya, ketika penerbitan kecil punya masalah ketidaktahuan atau dalam posisi tawarnya membeli rights dari penerbitan luar, tak ada upaya IKAPI memberikan diklat atau menguruskannya. Ketika ada dua penerbitan, satu kecil dan satu besar, saling bertarung atas nama hak penerjemahan, tak ada usaha IKAPI menengahi. Juga ketiadaan regulasi yang jelas, tak ada tuntutan apa pun dari badan ini kepada pemerintah. Sampai kapan langit buku Indonesia akan tetap dikurung mendung? <br /><br />Sebagai satu-satunya media perbukuan di negeri ini, tentu tak salah bila kita berharap MataBaca membantu menghapus mendung itu. Sebagaimana ide awal pendirian majalah ini, "majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan", mestinya ia juga punya fungsi advokasi bagi insan perbukuan yang nyaris tak bisa berkutik. Bila harapan ini dipenuhi, tentulah bisa majalah ini dimasukkan dalam daftar pemengaruh sejarah, setidaknya sejarah negeri ini.<br /><br />Entahlah, Saudara, bila ia sudah menjadi penyuara penerbitan besar itu.(Rhoma Dwi Aria Yuliantri)</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-69901110709044737012008-03-06T17:19:00.000-08:002008-12-11T09:05:01.957-08:00Dari Jurnal ke LSM Profesional<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R9Cd7QfXaVI/AAAAAAAAAFc/LoAFZrhSkzY/s1600-h/Jurnal+Perempuan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R9Cd7QfXaVI/AAAAAAAAAFc/LoAFZrhSkzY/s200/Jurnal+Perempuan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5174809613213067602" /></a><br />Sepulang dari mengambil Master di Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale, Prancis pada 1994, Gadis Arivia mengajar studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswanya mengalami kesulitan lantaran bahan-bahan bacaan berbahasa Indonesia tidak banyak ditemukan. Gadis pun membuat buletin, oplah pertama berbentuk stensilan (15-20 lembar) yang dibagikan kepada para mahasiswanya yang mengikuti kuliah ”Paradigma Studi Wanita” Universitas Indonesia, dicetak sekitar 200 eksemplar dan langsung habis. <br /><br />The Ford Foundation, sebuah lembaga dana Amerika Serikat, tertarik dengan buletin berisi teori dan perkembangan feminisme itu. Lembaga itu bersedia mendanai dengan syarat harus ada legalitas secara hukum. Bersama Ida Dhani, Toeti Heranty Noerhadi, Asikin Arif, dan Gadis mendirikan badan hukum yang dinamai Yayasan Jurnal Perempuan. Modalnya hanya empat juta yang segera pula dikembalikan setelah yayasan berdiri. <span class="fullpost"><br /><br />Mereka berempat langsung bekerja. Awalnya, JP terbit pada bulan Agustus 1996, dengan ISSN: 0854-2481, beralamatkan di ruang belajar Gadis Jl. Taman Patra V/16, Jakarta 12950. JP muncul perdana dengan lebar 21 cm dan panjang 30 cm (berbentuk panjang, sekarang berbentuk seperti buku), seharga Rp. 9.200,- dengan 98 halaman. Atau harga langganan Rp. 36.000,- per tahun. Edisi tersebut menampilkan topik utama tentang kekerasan terhadap perempuan, judul artikel utama adalah ”Mengapa Perempuan Disiksa?”. <br /><br />Kelahiran JP tidak pernah direncanakans ecara matang dengan tim yang terorganisir. JP lahir dari imajinasi, keinginan untuk memiliki bacaan yang serius tentang masalah perempuan. Imajinasi Gadis adalah menerbitkan majalah perempuan seperti dalam majalah Prisma, padat dan berisi. Sejak awal tulisan di JP mengambil arah ilmiah populer, yang dapat dicerna dengan mudah tetapi tidak dangkal dan tanpa refleksi.<br /><br />Redaksi JP pada awalnya adalah orang-orang yang mau bekerja secara volunteer dan meluangkan waktu untuk mengedit atau menyumbangkan tulisan untuk JP. Redaksi JP baru mulai profesional pada awal tahun 1997/1998 dengan melakukan perekrutan, membuka lowongan redaksi. Dengan kriteria yang tidak terlalu ketat, menginggat terbatasnya pengetahuan studi gender waktu itu.<br /><br />Distribusi JP pun mengalami kesulitan. Ketika itu, tidak ada orang yang tertarik membeli apalagi berlangganan JP karena tidak dianggap penting. JP pun terkadang ditolak orang pemasaran, tanapa melihat kualitasnya lebih dulu, karena dianggap kurang laku dan tidak akan diminati. Ada pula yang berkilah ”harus ada jurnal laki-laki dong, baru itu namanya adil”. Pendek kata, pada awal-awal JP terjadi banyak penolakan.<br /><br />Ungkap Gadis: ’Kalau jurnal kami diterima di toko buku (pada waktu itu Gramedia yang terbesar) jurnal kami ditaruh di bagian belakang bersama buku-buku ”dan lain-lain”, atau masakan. Jadi, kami harus rajin mengontrol ke toko buku dan menaruhnya sendiri di rak-rak buku yang mudah dilihat orang secara diam-diam. Sering juga saya ke toko buku dam membaca JP dengan cara provokatif, lalu mengatakan kepada calon pembeli bahwa jurnal ini bagus, saya pelanggan setia, mereka tidak tahu kalau saya dari JP.”<br /><br />JP menjadi lebih terkenal sebagai organisasi pada tahun 1998 ketika beberapa anggotanya, seperti, Karlina Supelii dan Gadis Arivia ditangkap karena demonstrasi Suara Ibu Peduli.<br /><br />Pada perkembangannya, ternyata jurnal ini cukup banyak diminati khalayak, sehingga menuntut penanganan yang serius, terlebih isi dan kemasannya, oplah pun bisa ditembus hingga 5000 eksemplar. Hingga akhir Desember 2003 Jurnal Perempuan mencapai edisi ke-32 dan pada Maret 2007 mencapai 52. Jurnal berukuran sebesar buku biasa ini telah pula terdistribusikan hampir di seluruh toko buku ternama di Indonesia.<br /><br />Dibiayai oleh sekian lembaga dana serta perusahaan nasional dan internasional, yang mengangsur sekitar 60 persen kebutuhannya, YJP berkembang menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kini diawaki lebih 20 orang. Tak hanya menerbitakn jurnal, yayasan ini juga menerbitkan buku-buku tentang feminisme dan gerakan perempuan. Salah satunya adalah buku Filsafat Berperspektif Feminis, reproduksi dari disertasi Gadis Arivia di jurusan Filsafat UI.<br /><br />Selanjutnya di tahun 1998 YJP menerima tawaran dari Internews Indonesia untuk mencoba sebuah bidang yang baru dan penuh tantangan yakni memproduksi program radio bernama Program Radio Jurnal Perempuan (PRJP) yang mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan khususnya di tingkat lokal.<br /><br />Bila Jurnal Perempuan yang formatnya seperti majalah Granta dan bertiras 2.000 eksemplar, dikhususkan untuk segmen menengah-atas dan akademisi, program radio (102 stasiun radio) ditujukan untuk segmen menengah ke bawah. Radio memang lebih mudah diakses bahkan oleh masyarakat di pedesaan. Murah, mudah, dan dapat didengarkan kapan saja sembari tetap beraktivitas.<br /><br />Program Radio Jurnal Perempuan hingga kini tetap mengudara setiap minggunya dan menyapa pendengar di Indonesia bersama 162 stasiun radio mitra kerja YJP di seluruh pelosok tanah air. Hingga kini PRJP telah menghasilkan lebih dari 200 program yang menyuarakan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. <br /><br />Selanjutnya pada tahun 2000 YJP kembali menjajal bidang baru yakni pembuatan film dokumentasi. Divisi ini selanjutnya dinamai Video Jurnal Perempuan yang hingga saat ini telah berhasil memproduksi 3 film dokumentasi yakni “Kekerasan terhadap Perempuan”, “Perempuan di Wilayah Konflik” serta “Perdagangan Anak dan Perempuan”. <br /><br />Selain lima divisi utama YJP yakni penerbitan Jurnal Perempuan, penerbitan buku-buku berperspektif gender, produksi Program Radio Jurnal Perempuan, pembuatan film dokumenter dan Program Jurnal Perempuan online, YJP juga memiliki 3 divisi pendukung lainnya: toko buku Perempuan, event organizer, dan Informasi dan Dokumentasi. Toko buku Perempuan beralamat di kantor di Yayasan Jurnal Perempuan dan buka setiap hari kerja. Di samping itu tim marketing YJP juga giat melakukan penjualan di pameran, bazar dan seminar-seminar bertema perempuan sebagai bagian dari strategi menjemput bola. <br /><br />Departemen pengembangan YJP juga secara rutin menyelenggarakan event seperti diskusi rutin bulanan, kampanye, seminar, peluncuran buku, workshop dan training. YJP juga membuka kesempatan konseling bagi perempuan yang membutuhkan konsultasi, dan berbagai pihak yang membutuhkan berbagai informasi tentang isu-isu gender. Semua dalam rangka terus mensosialisasikan gagasan-gagasan gender kepada masyarakat. <br /><br />Adapun acara-acara yang pernah diselenggarakan oleh YJP antara lain adalah kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya dalam rangka memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan, workshop perempuan di parlemen, kampanye stop perdagangan anak perempuan, training hak-hak perempuan, training gender untuk laki-laki, training jurnalisme berperspektif gender yang diselenggarakan tiap tahun, dan lain sebagainya. <br /><br />Demikianlah, dari yang semula hanya menerbitkan jurnal, YJP berkembang menjadi sebuah LSM yang besar. Memang demikianlah idealnya: kerja pemikiran lewat jurnal diwujudkan dalam aksi nyata lewat gerakan. Ilmuan tidak lagi berdiri di menara gading, melainkan turun gunung membangun masyarakat.<br /><br />Namun, dari penggunaan namanya, jelas yayasan ini menitikberatkan pada jurnalnya. Setelah delapan tahun usianya, Jurnal Perempuan makin mengokohkan diri di tengah gempita intelektual Indonesia yang semarak. Dan jurnal ini mampu bertahan di tengah kepungan budaya instan yang semakin pongah. Mungkin kebertahanan itu sebab ia jurnal dengan perspektif spesifik: feminisme.<br /><br />Menu yang dihadirkan jurnal ini pun beragam. Isu kesetaraan perempuan dihembuskan tidak hanya lewat tulisan berat khas jurnal, tapi juga ada rubrik ”Sastra” yang berisi cerpen dan puisi. Di samping itu, juga ada ”Resensi” berisi info dan ulasan buku-buku bertema femisnisme terbaru.<br /><br />Nyaris tak ada iklan di lembar jurnal berbandrol Rp. 19.000,- ini. Mungkin itu disebabkan jurnal ini banyak didukung funding. Bila berlangganan, jurnal yang terbit dua bulanan ini, berarti enam edisi dalam setahun, harganya menjadi Rp. 130.000,- untuk pulau Jawa, dan Rp. 160.000,- di luar Jawa.<br /><br />Beberapa edisi telah habis di pasaran. Bagaimana bila ingin membacanya? Silakan datang ke Informasi dan Dokumentasi (Indok) YJP. Bagi Anda yang tidak mukim di Jakarta, bisa mengaksesnya di menu Indok pada situs www.yjp.or.id. Tapi akses itu tidak gratis. Anda dibebani biaya Rp. 25.000,- per tahun untuk membukanya. Biaya yang tak seberapa, dibanding ilmu yang bisa ditangguk dari dalamnya. (Rhoma Dwi Aria Yilantri/Indonesia Buku) </span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-34446694094886588012008-02-25T17:25:00.000-08:002008-02-25T17:32:58.737-08:00Chikung dan InsomniaTidur mengendalikan irama kehidupan kita sehari-hari. Masalah tidur kerap dikenal dengan istilah Insomnia. Beberapa waktu lalu gejala Insomnia mulai menjakitiku. Tanpa tidur sama sekali dan tanpa tanda-tanda mengantuk. Rasa kantuk baru akan datang ketika menjelang subuh, karena takut melampaui waktu subuh lalu kuputuskan untuk tidak tidur. Tiga hari sudah Insomnia menemaniku. Konon kabarnya cara termudah mengatasi Insomnia adalah diatasi oleh individu yang bersangkutan, diagnosis diri(self diagnosis). Lalu pagi ini kutaklukan waktuku, melalui salat Subuh lalu kulangkahkan kaki menuju Monas dan kembali bertemu klub "Chikung" Tionghoa, semacam Yoga bergerak. "Chikung dan Insomnia" entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas "Chikung" memberi ketenangan tersendiri demi kembali bertemu dengan mimpiku.<span class="fullpost"><br /><br /><br /><br /></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-60907353855274434602008-02-22T21:40:00.000-08:002008-12-11T09:05:02.052-08:00Kalau Novel Berbicara Sejarah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R-500gTD1jI/AAAAAAAAAGM/GPuOblQNJRQ/s1600-h/Anne+Frank+copy.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R-500gTD1jI/AAAAAAAAAGM/GPuOblQNJRQ/s200/Anne+Frank+copy.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5183208666521916978" /></a>“Aku berharap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya, aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku.”—Anne Frank.<br /><br />Saat menuliskan itu pada Jumat 12 Juni 1942, Anne Frank tepat berusia 13 tahun. Di hari ulang tahunnya itu, Anne mendapatkan kado sebuah buku harian sebagai hadiah, selain blus biru, mainan, sebotol jus anggur yang rasanya mirip wine, puzzle, uang 2,50 gulden, dan voucher seharga dua buah buku dari kedua orangtuanya. Dari kesemua hadiah itu, buku catatan harianlah yang paling dia suka. Anne menulis, “Pertama kali yang aku lihat adalah kamu, dan mungkin yang paling indah di antara semua yang ada.” Sejak itu Anne mulai menulis buku harian.<span class="fullpost"><br /><br />Anne Frank yang menulis catatan harian hingga usia 15 tahun menuliskan apa pun yang ia suka dan tak ia suka. Ia menulis apa adanya, tanpa paksaan. Ia menulis tentang keluarganya, ketaksukaannya pada ibunya, tentang teman-temannya, tentang perubahan dirinya yang beranjak remaja, termasuk bahkan tentang daftar belanjaan yang ia beli. Memang semula Anne menulis untuk dirinya sendiri, tanpa maksud apa pun. <br /><br />Suatu ketika pada 1944 Anne mendengar sebuah stasiun radio di London menyiarkan pidato Gerrit Balkestein, seorang pejabat pemerintah Belanda yang hidup di pengasingan. Dalam pidato itu, Gerrit berniat mengumpulkan berbagai catatan saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman. Termasuk di dalam catatan yang dimaksud Gerrit adalah surat dan catatan harian. Pidato itu mengilhami Anne untuk ikut-ikutan menerbitkan sebuah buku berdasarkan catatan hariannya. “Kelak bila perang usai,” harap Anne. Maka ia pun mulai menyortir beberapa bagian yang dianggap tidak menarik dan menambahkan beberapa hal sesuai yang dia ingat. Dan dalam waktu yang sama, ia tetap menulis di buku hariannya yang lama.<br /><br />Anne terakhir menulis catatan harian pada 1 Agustus 1944. Tiga hari kemudian, delapan orang yang bersembunyi di Secret Annex ditangkap. Miep Gies dan Bep Voskuijl, dua orang sekretaris yang bekerja di gedung itu, menemukan catatan harian Anne berserakan di lantai. Demi keamanan, mereka menyimpannya di laci meja hingga perang usai. Sayang, sebelum buku itu terbit Anne keburu meninggal.<br /><br />Otto Frank, ayah Anne, setelah meninbang-nimbang, berniat mewujudkan keinginan anaknya menerbitkan catatan harian. Dia pun melakukan seleksi, menyortir, dan membuat edisi ringkas. Edisi “suntingan” Otto inilah yang terbit pada 1947. Beberapa bagian dari catatan Anne dibuang di situ, seperti catatan tentang seksualitas. Kala itu, seks masih tabu diperbincangkan di hadapan public Jawatan Dokumentasi Perang Belanda yang bermarkas di Amsterdam, setelah memeroleh hak waris dari Otto untuk buku Anne, melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap isi buku harian Anne. Setelah melampaui proses penyelidikan yang melelahkan, buku harian Anne terbukti asli. Hasil penyelidikan inilah yang kemudian dikenal sebagai The Critical Edition of the Diary of a Young Girl.<br /><br />"The 1965 revolt in Indonesia led to the deaths of hundreds of thousands of people accused of communist associations. Tohari asks why there are so few Indonesian writers who address this tragedy?”<br />“The Moral Responsibility of Indonesian Writers in Dealing with the Human Tragedy in PKI 1965 Revolt” ( http://www.ideaandsociety.acr.edu/pdfs/tohari.pdf/ )<br /><br />Ahmad Tohari masih pemuda waktu itu. Setamat SMAN II Purwokerto, Tohari menjajal berbagai fakultas seperti ekonomi, sosial politik, dan kedokteran. Tak satu pun yang ia selesaikan. Tohari kemudian memilih menjadi wartawan di harian Merdeka Jakarta. Sebagai wartawan, Tohari dituntut untuk menjelaskan dan memberitakan fakta kepada khalayak umum.<br /><br />Namun, dari sekian hal yang ia ketahui, yang mesti dibeberkan pada khalayak, ada satu hal yang ia sembunyikan. Bukan karena tak mau menyampaikan, malah membeberkannya yang ingin ia lakukan. Namun Tohari bingung dengan cara-nya. Kala itu Orde Baru tengah kuat-kuatnya mencengkeramkan kuku kekuasaannya di republik ini. Tohari menyadari betul itu. Dia tak mau berlaku gegabah, karena gegabah berarti kehilangan kesempatan menjadi agen sejarah.<br /><br />Berbekal mesin ketik Tohari pun pulang ke kampung halamannya di kaki Gunung Slamet, meninggalkan pekerjaannya, menjaga jarak dengan hingar-bingar politik di Jakarta. Niatnya hanya satu: menuliskan apa yang harus ia tulis, yang menjadi kegelisahannya sejak lama—semacam nubuwat. Namun bukannya menulis fakta yang ia lakukan, Tohari malah menulis fiksi, sebuah cerita panjang, sebuah novel. Tohari tidak menjadi orang dengan keinginan mengumbar fakta sejarah—menjadi sejarawan, dia malah menjadi sastrawan, tukang cerita. “Ini strategi,” kata Tohari dalam sebuah perjumpaan dengan penulis.<br /><br />Maka kita pun dapat membaca dalam karangan Tohari: <br /><br />“Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui kebenaran sejarah. Maka pada suatu ketika orang dapat membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk.”<br /> <br />Tapi kuku kekuasaan ternyata masih terlampau jeli membaca strategi itu. Tohari ditangkap dan disekap selama beberapa hari. Tohari diinterogasi, dan novel yang ia tulis pun mesti dihilangkan beberapa bagiannya. Kelak, 22 tahun kemudian, setelah rezim Orde Baru jatuh, 11 halaman yang dihilangkan itu tampil kembali seperti dimaui Tohari. Novel yang pincang selama dua dekade lebih itu utuh lagi.<br /><br />Begitulah kalau novel berbicara sejarah. “Sejarah itu kan, pribadi-pribadi yang bikin. Terserah yang bikinnya saja”, kata Pram.</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-62391947424714703012008-01-08T17:52:00.000-08:002008-12-11T09:05:02.207-08:00Jurnalisme Seribu Mata<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R4Qqxjx9YlI/AAAAAAAAAFE/zVl35VYRWfc/s1600-h/cover+basis+2222.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R4Qqxjx9YlI/AAAAAAAAAFE/zVl35VYRWfc/s200/cover+basis+2222.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5153290904525431378" /></a><br />Pada 29 Maret 1951, demikian sebut sebuah notulen berbahasa Belanda, sejumlah Jesuit berkumpul di Ignatius College Jogjakarta. Para Jesuit yang mengadakan vergadering itu antara lain J. Bakker, A. Djajasepoetra, J. Dijkstra, R. Soekarta, G. Vriens, dan P. Zoetmulder. <span class="fullpost"><br /><br />Hasilnya, sesuai anjuran superior missionis R.P.C. de Quay, SJ., rapat memutuskan untuk menerbitkan sebuah majalah sosial budaya, yang berkenaan dengan “pikiran-pikiran di bidang sosiologi, ekonomi, pendidikan, keluarga, dan bidang kemasyarakatan lain”. Rapat juga memutuskan bahwa majalah yang setebal 48 halaman dengan harga Rp. 7.50 per kuartal dan Rp. 2.50 per bulan itu, dipimpin N. Driyarkara.<br /><br />Pada 14 Mei 1951 kembali diadakan rapat. Pada rapat kali ini terbentuk Badan Penerbit Basis sekaligus merundingkan anggaran dasar; yang kelak disahkan pada 2 Oktober 1952 dengan akta No. 7 notaris Tan A Sioe di Semarang. Badan Penerbit Basis diketuai A. Djajasepoetra, R. Soekarta sebagai bendahara, dan P. Zoetmulder redaktur. Begitulah, Basis kemudian dipimpin dua empu humaniora: N. Driyarkara dan P. Zoetmulder.<br /><br />Basis yang terbit perdana pada 1 Oktober 1951 mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Menurut notulen 11 Januari 1955, tiras cetak Basis mencapai 3.280. Sebaran Basis waktu itu 1.755 di Jawa dan 1.420 di luar Jawa. Selain jaringan gereja Katolik dan masyarakat umum, pelanggan Basis termasuk juga Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan.<br /><br />Sejak awal, majalah Basis menjadi saksi perkembangan demokrasi di Indonesia. Basis bahkan ikut “meramaikan” pemilihan umum pertama 1955. Ada cerita menarik terkait dengan pemilu itu.<br /><br />Pada 1954 Basis menerbitkan tulisan terjemahan berjudul “Pedoman Demokrasi untuk Rakjat”. Menjelang pemilu 1955, tulisan itu ternyata amat dibutuhkan. Basis kemudian memutuskan menerbitkannya kembali dalam bentuk brosur. Tidak tanggung-tanggung, brosur dicetak 25.000 ditambah cetak ulang 5.000. Karena harga yang dipatok untuk brosur itu terlalu kecil, yaitu 75 sen per eksemplar, ditambah lagi potongan untuk pembeli jumlah besar, Basis merugi Rp 1.500,00. <br /><br />Namun kerugian itu ternyata tidak dipermasalahkan oleh pengurus, karena tujuannya dianggap luhur, yaitu memberikan pedoman bagi rakyat. Demikianlah, Basis sejak itu terus berkembang menjadi pedoman masyarakat atas persoalan-persoalan yang dihadapi dengan pemecahan mendasar. Basis berkhidmat menjadi “wacana yang memungkinkan manusia makin manusiawi”.<br /><br />Kata “Basis” sendiri berarti “dasar” atau “fundamen”. Namun, bagi Basis, artinya tidak sekadar itu. Pada rapat 29 Maret 1951, para pendiri sepakat nama majalah nantinya “mengingatkan orang pada pengertian psyche nihae”, yaitu “jiwa”. Namun, karena waktu itu ada majalah bernama “Djiwa Baru”, mereka tak ingin membuat nama padanan. Untuk bertahan pada niatan semula, diputuskanlah nama “Basis”. Jadi, lebih dari sekadar “dasar” atau “fundamen”, Basis bermakna “kedalaman”, “kebatinan”, “prinsip kehidupan”, dan “spiritualitas”.<br />Harmonisasi unik antara dimensi “kemanusiaan” dan “spiritualitas” yang berujung pada “kedalaman” menjadi ruh dalam setiap sajian-sajian Basis. Tekanan pada “kedalaman” juga membuat nuansa filsafat mengental. Bukankah filsafat adalah inti atau sisi “kedalaman” dari semua pengetahuan?<br /><br />Namun jangan harap Anda menemukan di majalah ini hal “mengawang-awang”, sebagaimana yang lazim ditemukan dalam filsafat. Di dalam isian berlangganannya, majalah dengan motto “Jurnalisme seribu mata: Basis menembus fakta” ini “berupaya untuk tidak hanya menyajikan fakta sebagaimana dilakukan media-media lain, tetapi juga membantu pembaca memahami fakta-fakta yang ada dalam konteks kehidupan bangsa ini, dihadapkan pada nilai-nilai lokal dan universal yang mestinya diikuti”.<br /><br />Intinya, sebagaimana adagium salah seorang redakturnya sekarang, Frans Magnis-Suseno, titik berangkat Basis adalah “berfilsafat dari konteks”. Maka selain menekankan “kedalaman”, Basis juga amat mempertimbangkan kontekstualitas. Kontekstualitas ini malah terkadang harus berhadapan dengan tema ancangan yang disusun sejak awal tahun. Dikatakan, “Ancangan tema … dipegang secara fleksibel, artinya jika keadaan (sikon) bicara lain, tema dapat disesuaikan, bahkan diubah sama sekali.”<br /><br />Tema-tema yang pernah diangkat Basis antara lain: tema pendidikan yang rutin muncul pada edisi Juli-Agustus, tema Inul dan seks yang muncul sebagai respons atas fenomena Inul dan larisnya buku Jakarta Undercover, tema tokoh filsafat (Habermas, Derrida, Foucault, dll) yang disesuaikan dengan kejadian dan respons filosofis sang tokoh atau ketika tokoh itu berulang tahun, tema agama (misalnya kekerasan atas nama agama dan sufistik), maupun hukum.<br /><br />Majalah yang sekarang beroplah 5000 eksemplar ini juga dalam tiap tahun rutin mengadakan diskusi terbatas. Pesertanya adalah internal Basis, undangan, dan para intelektual yang memaparkan wacana tertentu. Tema diskusi biasanya tema yang sedang hangat dan butuh kupasan lebih jauh. Misalnya tema keluarga ketika fenomena deagamisasi keluarga menguat dan tema agama terkait pertanyaan di akhir buku Karen Armstrong Sejarah Tuhan, “apakah agama punya masa depan?” Makalah dan hasil diskusi itu yang kemudian diterbitkan dalam suatu edisi.<br />Rubrikasi Basis sendiri tidak baku. Redaksi yang berkantor di penerbit Kanisius Jogjakarta sendiri hanya menyiapkan dua rubrik, yaitu “Tanda-tanda Zaman” dan “Bayang-bayang”. “Tanda-tanda zaman” yang ditulis Sindhunata, pemimpin umum dan pemimpin redaksi sekarang, adalah prolog, untuk membantu pembaca masuk dalam konteks bahasan keseluruhan. Sementara “Bayang-bayang” yang disiapkan oleh A. Sudiarja, dimaksudkan sebagai “sisi lain” setelah pembaca mencermati seluruh tulisan. Kalau “Tanda-tanda Zaman” hadir sebagai tulisan paling depan (hlm. 3), “Bayang-bayang” di halaman paling akhir. “Tanda-tanda Zaman” rutin menjumpai pembaca di setiap edisi, namun “Bayang-bayang” kadang muncul kadang istirahat.<br /><br />Tulisan lain diserahkan kepada masyarakat umum. Rubrikasi juga disesuaikan dengan tulisan yang masuk. Namun demikian, terkadang dalam suatu edisi tak ada sama sekali tulisan dari masyarakat. Maka seluruh tulisan sudah pasti dikerjakan pemimpin redaksi Sindhunata. Meski begitu, karena bobot tulisan penulis serbabisa ini tidak diragukan lagi, dengan tema merentang dari teologi hingga sepakbola, dari cikar bobrok hingga mal, masyarakat tetap saja setia berlangganan.<br /><br />Selain sesak dengan senarai tulisan, majalah dwibulanan ini juga menyajikan foto serta gambar di sedikit lembarannya. Foto atau gambar bisa dikirimkan siapa saja. Namun yang terbanyak adalah reproduksi dari majalah berbahasa Jerman Der Spiegel. Iklan hanya menghiasi sampul belakang, serta sampul depan-dalam dan belakang-dalam. Iklan hampir tak pernah dijumpai di lembaran isi, meski itu dimungkinkan dengan membayar tidak begitu mahal dibanding majalah lain. </span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-65004544190203287492007-12-16T19:04:00.000-08:002008-12-11T09:05:02.516-08:00Untuk Ibunda Tercinta<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2XoRTx9YkI/AAAAAAAAAE8/48FXFR4yTTE/s1600-h/jangan+menangis_sampul+2.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2XoRTx9YkI/AAAAAAAAAE8/48FXFR4yTTE/s200/jangan+menangis_sampul+2.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144773533405897282" /></a><br /><br />Judul : “Jangan Menangis Ibu”<br />Penulis : Ayu Arman<br />Editor : Muhidin M Dahlan, AN Ismanto<br />Penerbit : I:Boekoe<br />Cetakan : I 2007<br />Tebal : 198+xix halaman<br /><br /><br />Pagi itu ketika kuterima telepon dari Kang Muhidin (editor dari buku ini) ia menyampaikan padaku ‘baca <span style="font-style:italic;">Jangan Menangis Ibu</span>, kisah kesepuluh dalam buku itu adalah kisahmu”. Barangkali inilah yang membuat saya cukup tertarik untuk membaca buku ini.<span class="fullpost"><br /><br />Selain ada alasan pribadi, bagi saya buku ini sangat menarik karena berkisah tentang pengalaman-pengalaman perempuan terutamanya “Ibu”. Mendengar kisah ibu saya pun kembali teringat tentang Ibu tercinta jauh di sana. Salah satu kisah dalam buku ini barangkali ada Ibu. Ibunda tercinta.<br /><br />Cerita kesepuluh itu bercerita tentang kisah kasih seorang perempuan diantara karirnya. Laki-laki itu bernama Heru, berprofesi sebagai wartawan di kota Semarang. Dan yang berbagi adalah perempuan yang bernama Meranti Ayumanik. Keduanya menikah dan sebagai pasangan ideal. Rentang waktu biduk rumah tangga yang mereka bangun mulai tergoncang. Miranti berfikir bahwa ‘perkawinan bukan menjadi penghalang perempuan untuk terus berkembang”. Prahara dalam rumah tangga berawal dari beasiswa S2 yang diterima Miranti di sebuah Universitas nomor wahid di Jakarta. Heru suaminya mulai berubah sikap, dan Miranti harus merampungkan studinya ‘tanpa dukungan” dari suami tercinta. Intesintas pertemuan mereka mulai merengang. <br /><br />Kehadiran seorang anak dalam keluarga pun tidak merubah keadaaan. Masuknya pihak ketiga dalam kehidupan Heru (suami Miranti) semakin mempeparah keadaan. Rumah tangga yang dibangun atas nama cinta tak dapat dipertahankan lagi. Keputusan untuk bercerai pun diambil. Keadaan, situasi, dan kondisi berujung terhadap psikis Miranti. Heru akhirnya menikah dengan wanita selingkuhannya setelah dua bulan bercerai, dan Miranti berupaya bangkit dari traumanya. Selama empat tahun menjada Miranti menemukan laki-laki yang mau menerima kondisinya tanpa syarat. Dan sebuah harapan besar ada di sana.<br /><br />Miranti dengan kisahnya, Atik Purwitaningrum (istri pilot Alm. A. Teguh Basuki), Ibu Tuti Komala Bintang Boru Hasibuan (istri wartawan RCTI alm Ersa Siregar) dan perempuan lainnya dengan kisah penggalan hidup yang dilalui terangkum apik dalam buku ini. Mengharu biru, menyayat hati, bahkan miris semuanya disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.<br /><br />Buku ini menghadirkan ‘beragam wajah perempuan dengan ketegarannya” yang barangkali bisa menjadi referensi para pembaca untuk merenungkan arti kehidupan. (seperti yang dituturkan Teh Nini). <br /><br />Kang Muhidin, cerita kesepuluh itu bukan cerita saya. Hanya ada kesamaan nama, tokoh, karakter, dan secuil peristiwa. Peristiwa saya adalah cerita ketujuhbelas, yang barangkali akan ditulis Ayu Arman dalam buku edisi keduanya. Kali ini Allah hanya sedang menegur saya dengan keras dan menyakitkan, tapi pasti akan diganti-Nya dengan yang lebih baik. <br /><br />Dan Ibu maaf berjuta-juta maaf atas semuanya, suatu saat nanti saya pasti akan pulang untuk berbagi penggalan kisah perjalanan hidupku. Tapi nanti Ibu, saat aku mampu menyeka air matamu dan berdiri diatas kakiku. “Jangan pernah menangis Ibu”. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri).</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-61966850219160640442007-12-15T21:37:00.000-08:002008-12-11T09:05:02.736-08:00Islam dan Kemodernan, Islam dan Kebangsaan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2S60Tx9YjI/AAAAAAAAAEs/nZyAiVD6qZ4/s1600-h/Menjadi+Indonesia-Sampul.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2S60Tx9YjI/AAAAAAAAAEs/nZyAiVD6qZ4/s200/Menjadi+Indonesia-Sampul.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144442082189730354" border="0" /></a><br /><span style="color: rgb(153, 51, 153);font-size:78%;" >Judul : "Menjadi Indonesia;13 Abad Eksistensi Islam<br /> di Bumi Nusantara"<br />Kata pengantar : Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF<br />Penerbit : Yayasan Ferstival dan Mizan Jakarta (kerjasama)<br />Cetakan : I 2006<br />Tebal : 902+xxvi halaman<br /></span><br />“Menjadi Indonesia” merangkum tentang kemunculan, pengaruh dan sebaran Islam yang memberi warna dan corak pada sejarah pembentukan menjadi bangsa dan negara.<span class="fullpost"><br /><br />Buku tebal ini dibuka oleh Azyumardi Azra (hlm.3) menandaskan historiografi sejarah Indonesia. Bagaimana penulisan sejarah Indonesia mengalami perbalgai perkembangan dari manzab-mazab yang dimasuk, hingga pada akhirnya berkembanglah sejarah sosial. Dari perkembangan historiografi Indonesia kearah “sejarah sosial” yang mendorong kearah perkembangan yang lebih luas dan kompleks dalam sejarah Indonesia.<br /><br />Melalui rute perdangangan laut dari belahan barat Asia seperti India, Arab, dan Persia. Sebagai titik awal adalah Selat Malaka pada abad ke-7 M ke jantung perdagangan pulau Jawa seperti Jepara dan Gresik, diteruskan ke Banjaramasin, Ambon, dan Ternate sebagai pusat rempah-rempah Islam tersebar.<br /><br />Munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Islam, Samudrai Pasai abad ke 13 yang dibangun Laksamana Laut mesir Nadjudin Al-Kamil di Sumatera dan disusul Demak di pulau Jawa semakin mengukuhkan keberadaan Islam dan menjadikannya penting dalam sejarah pembentukan negara.<br /><br />Islam masuk di pelbagai nusantara dengan mengikuti pola yang hampir sama, yaitu pada awalnya Islam diterima oleh masyarakat pesisir pantai. Selanjutnya, perkampungan-perkampungan muslim di daerah pelabuhan secara adaptif, dengan pendekatn kultural.<br /><br />Islam menjadi sangat penting dalam sejarah pembentukan “menjadi Indonesia” baik secara politik maupun kultural, namun sayangnya Islam dilupakan dan dianggap tak penting dalam historiografi sejarah Indonesia. Doktrin lama yang justru mengakar adalah lahirnya persatuan dan penyatuan nusantara model Gajah Mada-Majapahit. Salah kaprah. pemahaman sejarah ini dilahirkan oleh perennial sejarah, yaitu anggapan akan keabadian yang terkandung dalam peristiwa sejarah, dan juga essensialitas sejarah, yaitu anggapan terhadap peristiwa sejarah untuk sebuah keperluan adan keberadaan kita.<br /><br />Terus mewarnai pembentukan Indonesia ketika era kebangkitan nasional 1908 Sarekat Dagang Islam muncul memberikan tonggak Nasionalisme. Pergerakan Islamlah, kata Natsir, yang lebih dulu membuka jalan perjuangan kemerdekaan di Tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovisian…”<br /><br />Selama periode pergerakan Nasional 1908-1945, terdapat beberapa peristiwa yang menunjukan bahwa bangsa Indonesia dalam upaya menegakan Negara republik dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model yang dilakukan Kerajaan Majapahit dengan Majapahit Gadjah Mada-nya (hlm. 62)<br /><br />Proses dan berkembangnya Islam di setiap kepulauan nusantara, dari wilayah Jawa, Sumatera, Maluku, Ternate, Tidore, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi dirangkum apik dalam tulisan Anhar Gonggong (h. 30) dan Azhar Asyad (hlm. 73).<br /><br />Gelombang Islam yang lain di Tanah Air datang dengan memadang Islam dengan cara baru. Melalui pendekatan keilmuan, gelombang orientalisme dan studi-studi Islam kontemporer berorientasi kepada Islam dan budaya-budaya Timur. Corak pendekatan studi pun mengalami perkembangan dengan munculnya Islamic Studie.<br /><br />Tak dapat ditepis dalam perkembangannya Islam harus bersentuhan dengan adat-istiadat budaya lokal di Indonesia dengan beratus-ratus tersebar di kepulauan nusantara. Salah satu diantara budaya bangsa yang terkenal kuat hubungannya dengan Islam adalah suku Minangkabau dan Melayu. Pada awal kontak kebudayaan tentulah terjadi benturan dan pertentangan, baik secara religion maupun politik. Namun, kini perjalanan antara budaya dan adat dengan Islam yang terdapat dalam masyarakat dapat saling mengukuhkan dan dapat berkembang.<br /><br />Keterlibatan ormas Islam dalam konteks politik ketika dalam proses menjadi Indonesia penting di catatat. NU yang berdiri 31 Januari 1926, misalnya telah menyatukan dan merapikan barisan dalam rangka pembebasan Indonesia dari penjajah dengan mengeluarkan fatwa Jihat melawan tentara Jepang pada 10 November 1945. Perhatian NU dalam ranah politik pun tak diragukan lagi, menjadi unsur penting dalam lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara dan Bangsa.<br /><br />Pada era 1990-an terjadi politik akomodasi Islam oleh Negara. ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Sedunia) dibentuk. Belakangan hari diketahui Soeharto ingin memanfaatkan ICMI sebagai payung perlindungan dan legitimasi. Kala itu Habbie sebagai ketua ICMI sekaligus orang terdekat dengan Soeharto menjadi dilematis.<br /><br />Dari ICMI pula lahir tokoh-tokoh yang menjadi oposan Soeharto yang dimotori oleh Amin Rais. Di era reformasi naiklah organisasi-organisasi Islam di gelanggang politik. Tapi toh partai-partai politik Islam tidak meraih dukungan memuaskan. Pemilu 1999, partai Islam seluruhnya keok, begitu pula pemilu 2004.<br /><br />Dalam ruang dan waktu yang lain Islam terus bergerak, dalam kurun yang berbeda dengan apresiasi nan unik pula, mengawinkan antara keislaman dan kemodernan, keislaman dan kebangsaan. Di era millinium tantangan Islam semakin besar, eksistensi Islam diuji hingga kini.</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-37270288858379784342007-12-13T04:06:00.000-08:002008-12-11T09:05:03.128-08:00PSSI, Tendangan Bola, dan Politik Kebangsaan<div style="TEXT-ALIGN: center"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2PuCDx9YhI/AAAAAAAAAEc/_wMaT6froxQ/s1600-h/BOLA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144216918529237522" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: pointer; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/R2PuCDx9YhI/AAAAAAAAAEc/_wMaT6froxQ/s400/BOLA.jpg" border="0" /></a> <span style="COLOR: rgb(102,0,0);font-family:arial;font-size:85%;" >Club Bola Prinses Juliana usai bertanding di Singaraja tahun 1927</span><br /></div><br />SEPAKBOLA merupakan olahraga yang cukup akrab dan digemari masyarakat. Sesungguhnya permainan sejenis sudah dikenal oleh masyarakat nusantara jauh sebelum sepakbola dikenalkan oleh bangsa Eropa. Istilah “Sepak Raga” dalam penyebutan sepak bola adalah pangkal dalam merunutnya. Sepak raga adalah permainan yang menggunakan bola yang terbuat dari rotan, permainan itu mengusahakan agar supaya raga itu jangan jatuh ke tanah ( permainan sepak raga kini dikenal dengan istilah Sepak Takraw). Maka, tak mengherankan permainan sepak bola ini menjadi akrab dan banyak digemari oleh masyarakat kala itu dan kini.<span class="fullpost"><br /><br />Berbicaraa sepak bola di Indonesia tentulah tak lepas dari organisasi yang bernama PSSI. PSSI (Persatoean Sepak Raga Seloroeh Indonesia) adalah organisasi sepakbola buatan pribumi, keluar dari bond-bond sepakbola bikinan Belanda—resistensi terhadap kolonial. Organisasi ini dirintis jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.<br /><br />PSSI berdiri atas tiga asas kebangsaan Indonesia. Sebelum didirikan telah ada Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB) yang dibeberapa kota memiliki anggota. Dalam keanggotaan NIVB banyak masuk bangsa bumiputra, meskipun segala pimpinan berasal dari negeri Belanda.<br /><br />Fase berikutnya dengan masuknya bangsa bumiputra ke dalam Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia, Voetbalbond jang dimasoeki bangsa Indonesia menjadi doea: PSSI (bagi bangsa Indonesia) dan NIVB (melingkupi segala bangsa dan diantaranya ada pula speller bangsa bumiputra dan persatuan bumiputra).<br /><br />Di Penghujung tahun 1929 PSSI (Perstoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia) berdiri tujuannya jelas mempersatukan voetbalbond Boemipoetra di seluruh Hindia. Persatuan yang berharap besar akan naiknya <span style="FONT-STYLE: italic">peil</span>, derajat pemainan sepak bola bangsa Indonesia. Dan berharap kelak mampu terjun dalam <span style="FONT-STYLE: italic">Far Eastern championship Games</span>.<br /><br />Dalam catatan kanon sejarah berdirinya organisasi ini tak semudah yang terbayangakan. Era sebelumnya tepatnya tahun 1923 di Surabaya sudah diadakan pertemuan untuk mendirikan perserikatan perkumpulan voetbal. Maksud itu gagal. Usaha ini di ulang pula pada tahun 1928, tapi tak berhasil juga. Dipenghabisan tahun 1929 cita-cita pembentukan perkumpulan voetbal terujud, atas dukungan dari Bandung, Jogja, dan Surabaya. Bahkan di tahun yang sama ada niatan hendak mendatangkan elftal (kesebelasan) dari dari luar negeri baik dari Tiongkok maupun tempat lain.<br /><br />Babak berikutnya dipertengahan April 1930 tujuh bond (kumpulan klub amatir) sepakbola hadir di Yogyakarta untuk bertanding dalam sebuah kejuaraan di Alun-alun utara Yogyakarta. Bukan pertandingan di lapangan berpagar gedheg (anyaman bambu) tersebut yang kemudian dikenang oleh sejarah, namun pertemuan ketujuh pengurus klublah yang kemudian dicatat telah mengukuhkan lahirkan PSSI.<br /><br />Sekira delapan belas bulan kemudian tepatnya Minggu tanggal 4 Oktober 1931 diadakan rapat umum di bawah pimpinan Ir. Soerati. Pertemuan itu dihadiri PSSI Voetbalbond Semarang, Bandung, Magelang, Jakarta, Mataram, Solo, dan Surabaya, dan dihadiri 6 buah bond.<br /><br />Kala itu lewat persatuan bola disadari betul faedahnya dalam menajalin persatuan kebangsaan. Dalam Konggres di Semarang misalnya dalam sambutan dari ketua sidang Soerati dikatakan:<br /><br />“Permaianan bola mendidik persaan kemerdekaan. Sebab pada main bola itu tiap-tiap permainan sesungguhnya bebas. Oleh permainan bola itu terutama sama rata dan lenyap keangkoehan lain-lain. Pada waktu itu tak dibedakan orang bangsawan dengan orang kebanjakan, orang kaya dengan orang miskin. Satu fasal yang penting pula ialah karena main spak raga itu memaksa orang tahu akan kewajiban masing-masing.<br />…Dan akhirnya tidak boleh dilupakan bawah permainan bola itu mendidik manusia berani, tidak takut-takut serta tiada pustus asa meski bagaimana sekalipun hebat mungsuh menendang”.(<span style="FONT-STYLE: italic">Pandji Poestaka</span>, 1930)<br /><br />Sepakbola lewat persatuan PSSI disadari betul sebagai jalan yang baik untuk melenyapkan perasaan provincialisme yang sempit. Karena dalam perkumpulan ini tidak bukan hanya di tanah Jawa saja yang besar minatnya pada sepak bola ini, tapi dari Makasar, Banjarmasin dan Palembang pun menyatukan diri.<br /><br />Akhirnya siding PSSI di Semarang itu mengambil keputusan:<br /><br />1. Stedenwedstrijd dan kongres PSSI akan diadakan pada tahun 1932 di Betawi. Bond-bond akan di bagi dalam tiga bagian: pertama Djakarta dengan Malang, kedua Bandung dengan Mataram, dan ketiga Solo, Semarang, dan Surabaya. Stedenwedsrijd itu akan diatur memakai voorwedstrijd. Yang akan mengurus pertandingan-pertandingan ialah competitieleider, terdiri di Yogya.<br />2. PSSI akan mendatangkan Malay Team dari Singapura. Surabaya diusuruh mencari perhubungan dengan tim luar Indonesia.<br />3. PSSI akan mendirikan satu koperasi. Hal ini akan diputuskan pada kongres yang akan datang.<br />4. Pakaian bond yang opisil hanya boleh dipaka dalam pertandingan PSSI.<br />5. Jumlah bond baru yang diterima sebagai anggota ialah lima.<br />(<span style="FONT-STYLE: italic">Pandji Poestaka</span>, 1930)<br /><br />Dari sepakbola persatuan kebangsaan disemaikan, bahkan dunia bola angannya pun sempat terujud “elftal Indonesia sempat mengores dalam kejuaraan dunia di era 50-an, walaupun hanya terjadi sekali. Lalu kapan lagi???</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-1658292906479303472007-07-25T20:47:00.000-07:002008-12-11T09:05:03.288-08:00Dari Politik Etis untuk Para Petani Pribumi<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/RqgbJWPNYmI/AAAAAAAAAA4/UTV9nJypHkU/s1600-h/kecilpeta.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="http://1.bp.blogspot.com/_ManEp4WUAIg/RqgbJWPNYmI/AAAAAAAAAA4/UTV9nJypHkU/s200/kecilpeta.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5091349226144490082" border="0" /></a>POLITIK ETIS di masa kolonialisme Belanda menempatkan pribumi tetap sebagai objek jajahan daripada partisipasi aktif. Menurut Boeke, ada dualisme ekonomi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem kebun, misalnya, dibudidayakan sebagai kebun permanen dengan tujuan meningkatkan ekspor hasil perkebunan, yang tujuan akhirnya meningkatkan penghasilan Hindia Belanda. Terlepas dari itu, bisa kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah ada upaya mengangkat kesejahteraan petani-sesuatu yang mahal di republik yang telah setengah abad merdeka ini.<span class="fullpost"><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Dewasa ini, kondisi pertanian Indonesia, khususnya pertanian tanaman pangan, hingga dekade ini belum mendapat perhatian optimal dari pemerintah. </span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Harga pupuk semakin mahal, politisasi pertanian, masuknya berbagai produk pertanian impor, semakin mempersulit petani untuk bersaing di pasar.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Padahal saat ini pertanian merupakan salah satu industri yang mungkin dikembangkan di Indonesia dalam persaingan global. Melihat kondisi alam dan iklim yang mendukung, serta banyaknya petani usaha kecil yang bisa dilibatkan, sektor ini akan mampu meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Pada saat menguasai Indonesia pada abad ke-20, Pemerintah Belanda telah memfokuskan kebijakan politik dalam bidang peranian, dengan harapan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Kebijakan ini berawal dari kegagaalan sistem liberal selama dekade sebelumnya (1870). Sistem liberal ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang Agraria 1870, yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin. Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. (Mubyarto: 1992, 36-37)</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Munculah gagasan etis, di kancah pertanian Pemerintah Belanda merealisasikannya dengan didirikan Afdeel;ing Landbouw di Departemen Landbouw, Nijverheid dan Handel pada tahun 1905. Kebijakan baru ini merupakan titik awal pembangunan masyarakat desa yang secara umum adalah petani.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Dibentuknya Departemen Pertanian tidak bisa lepas dari program Gubenur Jenderal Rooseboom yang terus menghawatirkan tentang penurunan produk-produk pertanian berserta implikasinya terhadap kesejahteraan penduduk.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Departemen pertanian dipusatkan di kebun botani di Buitezorg (Bogor) dengan direktr M. Treub yang diberikesempatan untuk merealisasikan rencana jangka pajangnya dalam upaya meningkatkan hasil pertanian tanaman padi di sawah, peningkatan tanaman sekunder, serta penenaman untuk lahan kering.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Treub juga menanamkan perlunya dorongan dan perkenalan industri-industri kecil pertanian. Untuk itu dilakukanlah penelitian terhadap kondisi klimatologi dan tanah di Jawa serta pemeliharaan ternak.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Usaha Treub diimbangi dengan melakukan percobaan pertanian pada lahan-lahan di Jawa sebagai eksperimen, seperti di afdeling Kulon progo, yang terletak di bagian Barat Kasultanan Yogyakarta.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Laporan Ir. A. Wulff pada tahun 1920-1926, misalnya, memperlihatkan bahwa di daerah Pengasih dan Sogan (distrik Kulon Progo) dilakukan riset penanaman padi dengan menggunakan pupuk kimiawi pada lahan sawah basah. (A. Wullf, Mededeelinge van het Algemeen Proefstation voor den Landbouw No. 25. Arsip Dinas Pertanian Yogyakarta).</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Penelitian Wulff melaporkan, hasil dari percobaan ternyata kurang maksimal. Pada tahun 1929 J.J Ochse juga melakukan penelitian iklim, dan percobaan penanaman tanaman panan berupa buah-buahan seperti mangga dan nanas di Kulon progo. (J.J. Ochse, Mededdelingen voor de Dienst: …Arsip Pakualam Yogyakarta).</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Politik etis sedikit-banyak telah mewarnai dinamika pertanian Indonesia. Seperti dilaporkan <span style="font-style: italic;">Ge Prince</span>, pandangan umum yang mengakar pada waktu itu adalah kesejahteraan pribumi sangat berkaitan dengan produksi tanaman pangan. Hal ini menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda melihat sektor pertanian sebagai sektor yang penting diperdayakan dalam kebijakan etis. (Ge Prince, dalam J. Thomas Lindblad (ed): 1998, 159).</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Menurut Gerry van Klinken, masyarakat Jawa telah mempunyai pegetahuan yang memadai dalam bidang pertanian bahkan sebelum kolonialisme datang ke nusantara. Berdasarkan ini, barangkali politik etis tidak banyak mengubah cara-cara pertanian yang ada. Pola pertanian, misalnya, pada tahuin 1900-1930 di Kulon Progo masih memakai cara tradisional.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa pengenalan cara-cara pertanian modern telah dilakukan, meski tidak massif. Sebagai sosialisasi, misalnya, lahan percontohan pemerintah menggunakan pemupukan kimiawi. Selain itu, pola pengairan menggunakan sungai, seperti Opak Progo juga telah memakai sistem manajemen yang rapi. Pengairan tersebut bahkan telah diundangkan dalam Rijksblad van Djogjakarta no. 10 tahun 1922, no. 20 tahun 1927, no. 23 dan 28 tahun 1928. Salah satu butir di dalamnya adalah kebijakan membentuk dewan yang mengurus masalah distribusi air antara petani dan perkebunan.</span></span><br /><br /><span class="fullpost"><span class="fullpost">Dari pelbagai kebijakan itu, kita bisa melihat adanya peningkatan hasil pertanian. Namun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa peningkatan hasil pertanian tersebut membawa peningkatan kesejahteraan bagi petani. Pada kenyataannya, pemerintah Hidia Belanda menerapkan pajak yang tidak ringan. Di dalam Rijksblad van Djogjakarta dan Rijksblad van Paku Alam disebutkan bahwa besarnya pajak sawah berkisar antara 8 hingga 20% dari hasil. Di Distrik Pengasih dan Nanggulan (Afdeling Kulon Progo) pada tahun 1927 beban sawah dan lahan kering mencapai f 88.024.Kapan nasib petani bisa berubah???</span></span><br /><br /></span></div>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-43800495323027123242007-07-19T23:49:00.000-07:002007-07-25T19:47:41.985-07:00Panjimas: Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis<span style="font-style:italic;">Pandjimas</span> lahir seiring maraknya wacana reformasi Islam yang dihembuskan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasydi Ridha. Kala itu, banyak media massa berafiliasi karib atau bahkan menjadi penyuara pelbagai organ pergerakan Islam.<span class="fullpost"><br /><br />Di Singapura, terbit al-Iman pada 1906 di bawah Syekh Muhammad Tahir bin Jalaluddin al-Minagkabawi al-Azhari, al-Munir terbit di Padang (1911-1916) di bawah Abdullah Ahmad, Sjarekat Islam punya al-Islam (1913), Sarotama SI Solo yang kelak menjadi Sarotomo (1914 dan 1916), Sinar Djawa SI Semarang (1914), Teradjoe SI Palembang (1919), Doenia Moeslim terbitan Bukittinggi (1921), an-Noer atau Het Licht-nya Jong Islamieten Bond (1925), Pembela Islam kepunyaan Persis (1931), Panji Islam milik Zainal Abidin Ahmad, dan Pedoman Masjarakat di bawah Hamka dan M Yunan Nasution yang terbit di Medan pada akhir 1930-an, disusul Kiblat, Gema Islam, dan <span style="font-style:italic;">Pandji Masyaraka</span>t atau <span style="font-style:italic;">Pandjimas</span>.<br /><br />Tren itu terus berlanjut hingga Indonesia menerapkan demokrasi pada dekade 50-an. Namun, Pandjimas bersama al-Iman dan al-Munir menyempal dari tren itu. Pandjimas merdeka dari organ pergerakan, aliran, mazhab, atau paham keagamaan mana pun yang bertunas atau mapan di Tanah Air. <br /><br />Secara eksplisit, ia mengajak pembacanya untuk tidak terikat, apalagi sampai taklid, kepada sesuatu mazhab dan aliran pemikiran Islam. Sebaliknya, Pandjimas mendorong pembacanya untuk mengembangkan ijtihad dan pemikiran independen.<br /><br />Pemerintah murka dengan sikap Pandjimas. Tapi bukan oleh pandangan keagamaan yang dibawa <span style="font-style:italic;">Pandjimas</span>, melainkan lantaran memuat secarik artikel berkepala “Demokrasi Kita” tulisan Mohammad Hatta. Pandjimas pun dibungkam pada Mei 1950. <br /><br />Hatta dalam artikel itu menujum bahwa sistem kekuasaan ototarian tidak akan bertahan lama, paling-paling seumur penciptanya. Bagi Soekarno, pemuatan artikel itu kesalahan besar. Walhasil, meski tidak berafiliasi pada satu kekuatan politik dan justru memasyhurkan prinsip demokrasi, Pandjimas dipaksa tutup.<br /><br />Sejak pertama terbit hingga dibredel pada Mei 1950, lalu diterbitkan kembali pada awal 1967 hingga menjelang akhir 1970-an di bawah pimpinan Moh. Faqih Usman dengan dibantu Dr. H. Abdulmalik Karim Amrullah dan Jusuf Abdullah Puar, langkah Pandjimas tertatih-tatih. Apalagi, majalah ini identik dengan sosok Hamka. Karena itu, setelah Hamka mangkat pada 23 Maret 1980, ia semakin limbung. Namun, ia masih sempat terbit sekali lagi pascareformasi. Rusdi Hamka, putra Hamka, meneruskan langkah Pandjimas.<br />Pandjimas secara profesional pernah menyiarkan tulisan yang tidak sependapat dengan garis redaksinya. Saat terbit lagi untuk kedua kalinya, ia syiarkan tulisan kontroversial Nurcholish Madjid atau biasanya disapa Cak Nur pada 1970-an. Penyiaran itu mengisyaratkan ruang intelektual yang mengakomodasi dialektika berpikir. Salah seorang penentang gigih gagasan-gagasan Cak Nur adalah H.M. Rasjidi, penulis buku Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (1972). Rasjidi sendiri salah seorang redaktur <span style="font-style:italic;">Pandjimas</span>.<br /><br />Penyiaran itu beresiko. Gagasan Cak Nur bertentangan dengan bukan saja garis redaksi, melainkan juga dengan para pembaca dan umat Muslim Indonesia. Para pembaca yang murka bisa saja meninggalkan Pandjimas. Namun, dengan pemuatan itu, Pandjimas justru membuka suatu corak baru intellectual discource di Indonesia. Bukan saja dalam wacana Islam tetapi juga dalam wacana demokrasi. Wacana yang mau dikembangkan Pandjimas respek terhadap pluralitas, perbedaan pendapat, dan kebebasan bersuara.<br />Penyiaran wacana demikian, menurut Azyumardi Azra, sejarawan sekaligus mantan wartawan <span style="font-style:italic;">Pandjimas</span>, sebentuk komitmen terhadap nilai universal Islam, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. Pandjimas senantiasa menegakkan komitmen itu meski harus bersitegang dengan rezim kekuasaan dan umat Muslim yang tidak siap.<br /><br />Demi prinsip dan komitmen itu, dan sebagai langkah menyebarkan reformasi dan modernisasi Islam, Pandjimas menerapkan pendekatan yang unik. Ia enggan menapak jalan juang organisasi dan politik dan justru memilih jalan kebudayaan. Sikap ini tentu tak lepas pengaruh Buya Hamka, ulama-sastrawan yang secara konsisten emoh mencebur ke dalam riuh politik.<br /><br />Pendekatan itu tepat dan realistis. Orde Lama dan Orde Baru menghimpit ruang gerak semua organisasi politik keagamaan. Kekuatan politik aliran ditekan dan dikutungi. Agenda umat Muslim di jalur politik macet. Sekali diberi ruang, politik keagamaan malah bertiwikrama menjadi fundamentalisme yang destruktif.<br /><br />Komitmen itu terwujud lantaran segmen pembaca Pandjimas kelas menengah ke atas, baik secara intelektual maupun finansial. Pan Asia Research & Communication Service (1984) menuturkan, pembaca <span style="font-style:italic;">Pandjimas</span> umumnya berusia dewasa (adolescent) dan dewasa muda (young adolescent) dengan latar pendidikan SLTA ke atas. Segmen pembacanya pegawai pemerintah dan swasta (32%), pemimpin nonformal (22%), pedagang dan petani (20%), mahasiswa dan pelajar (13%), kaum ibu (6%), dan kalangan lain (7%).<br />Para pembaca yang terdidik itu umumnya punya kedudukan strategis di lingkungan masing-masing. Mereka juga lebih siap bermuka-muka dengan pluralitas dan kebebasan bersuara, lain dari penguasa tiranik yang pernah membungkam Pandjimas. </span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-30253306669968067312007-07-19T23:39:00.000-07:002007-07-25T19:47:10.678-07:00Pujangga Baru: Penggerak Etos KebudayaanTenteram dan damai?<br />Tidak, tidak Toehankoe!<br />Tenteram dan damai waktoe tidoer di malam sepi<br />Tenteram dan damai berbadjoe poetih di dalam koeboer<br /><br />Tetapi hidoep ialah perdjoeangan<br />Perdjoeangan semata laoetan segara<br />Perdjoeangan semata alam semesta<br />Hanja dalam berdjoeang berkobar<br />Engkau Toehankoe di dalam dada<br />(PB, Juli-Agustus 1940)<span class="fullpost"><br /><br />Sutan Takdir Alisjabana atau biasa ditulis STA adalah budayawan, sastrawan, dan cendekiawan terkemuka. Bersama Armijn Pane dan dibantu Amir Hamzah, STA menerbitkan Pudjangga Baru pada Juli 1933. Lahirnya majalah Pudjangga Baru menjadi penanda hidupnya gelombang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia modern.<br />Pada tahun-tahun awal terbit, <span style="font-style: italic;">Pudjangga Baru </span>mengusung jargon “Madjalah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem” dan kesusastraan masih menjadi lokomotif. Maklum saja, para pendirinya adalah sastrawan. Amir Hamzah seorang penyair, sementara Armijn Pane dan STA adalah prosais.<br /><span style="font-style: italic;">Poejangga Baru</span> pun menjadi magnet dan sekaligus gelanggang baru bagi penulis-penulis kreatif angkatan baru. Di gelanggang ini, memang cuma segelintir orang. Namun dalam sejarah sastra, justru nama-nama mereka tiada lekang. <span style="font-style: italic;">Pudjangga Baru</span> yang menjadi medan kreatif itu pun hanya beroplah sedikit, yakni 150 eksemplar dan dicetak sebulan sekali. Jumlah oplah itu sejumlah pelanggannya yang sebagian besar berasal dari golongan intelektual. Harga langganan sekwartal 4.50 sen atau eceran sebesar 1.50 sen.<br /><br />Namun ajeknya nama-nama yang berhimpun di <span style="font-style: italic;">Pudjangga Baru</span> bukanlah ditentukan berapa ribu pengikut fanatik dan berapa oplah cetak, tapi oleh kedalaman pikiran. Tentu siapa pun pembaca sastra Indonesia tak pernah melupakan nama-nama seperti Idrus yang dikenang lewat karyanya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Amir Hamzah dengan Nyanyi Sunyi (1937), Sanusi Pane dengan Madah Kelana (1931), Rustam Effedi, J.E Tatengkeng, Muhammad Jamin, Suwandhi, Nyoman Panji Tisna, Hr. Bandaharo, Asrul Sani, Mochtar Apin, Aoh Kartahamadja, Rivai Apin, A.A. Katili, Achdiat K Mihardja, dan Dr. M. Amir. Kesemuanya adalah penulis-penulis yang lahir dan besar bersama Pudjangga Baru.<br /><br />Di antara sederet kecil nama itu, nama STA tetap menjadi ikon dan nyawa bagi Pudjangga Baru. Jajaran redaksi kerap mengalami pergantian. J.E Tatengkeng, Bugroho, L.S. Sitorus adalah nama-nama yang pernah merasakan kursi redaksi. Tapi bandul pemikiran tetap dipegang STA.<br /><br />Lewat <span style="font-style: italic;">Pudjangga Baru</span> pula STA mengguncangkan sastra Indonesia dengan konsep estetika puisi modern yang diusungnya. Ia menolak sastra lama yang dianggapnya usang dan membosankan. Menurutnya, sastra lama hanya memberikan kebebasan statis. Tak pelak lagi, reaksi bermunculan. Yang menarik, justru konsep STA itu banyak diikuti oleh penyair yang kala itu memang menginginkan arah baru bagi pengucapan puisi Indonesia.<br /><br />Tapi belum selesai dengan etestika puisi modernnya, STA kembali mendorong arus polemik besar dengan mengajukan konsep kebudayaan persatuan Indonesia. Kalau dua tahun pertama, Pudjangga Baru masih berkutat pada persoalan kesusastraan, tahun ketiga (Juli 1935) wacana kebudayaan diperluas. Jargonnya pun berubah: “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem”.<br />Artikel STA yang menggemparkan itu bertajuk: ‘Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru’: …bahwa dalam kebudayaan Indonesia jang sedang terdjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen jang dynamisch. Tetapi meski bagaimana sekalipun tidak enak bunjinja semboyan, bahwa kita harus beladjar pada Barat, meski bagaimana sekalipun sedih ahti kita memikirkan hal yang demikian, dalam hal ini rasanja kita tidak dapat memilih. (PB, Agustus-September 1935)<br />Artikel ini bukan hanya menyuruh melihat Barat sebagai pusat kemajuan, tapi juga menyangkal habis-habisan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki akar sejarah yang kukuh. Sastra Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada konsep sastra nasional. Kebudayaan Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada itu kebudayaan nasional. Yang kita punyai adalah kemajuan. Dan kemajuan itu adalah Barat. Maka berkiblatlah ke sana.<br />Artikel keras itu tak pelak lagi melahirkan polemik. Tak hanya bertarung di Pudjangga Baru, tapi polemik merembet ke koran lain, seperti Soeara Oemoem (Surabaya), Bintang Timoer (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), dan Wasita (Yogyakarta).<br /><br />Tulis lawan S.T. Alisjahbana, Sanusi Pane, yang berusaha melakukan sintesis: Barat, seperti sudah kita lihat, mengutamakan djasmani, sehingga lupa akan djiwa. Akalnja dipakainja menaklukan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), jang mengorbankan djiwanja, asal menguasai djasmani.<br />Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan djasmani. Akalnja dipakainja mentjari djalan mempersatukan dirinja dengan alam. Ia bersifat Ardjuna jang bertapa di Indrakila.<br /><br />Haluan jang sempurna adalah menjatukan Faust dengan Ardjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individualisme dengan spriritualisme, perasaan dan collectivisme. (PB, 1935)<br /><br />Selain Sanusi Pane, ada Adinegoro pimpinan Pewarta Deli; Ki Hadjar Dewantara pendiri Taman Siswa di Djogja; Dr. R.M. Ngb. Pubatjaraka lulusan doktor dan filsafat Leiden; Dr. Sutomo pendiri Budi Utomo dan Indonesische Studieclub; Tjindarbumi pimpinan redaksi Soeara Oemoem; dan Dr. M. Amir yang terkenal sebagai psikiater.<br /><br />Polemik pemikiran kebudayaan itu adalah akar polemik yang sehat. Polemik ini pula dikenal sebagai polemik yang mengedepankan nalar, sopan santun dalam menulis, serta penghormatan atas perbedaan, ketimbang kekuatan dan gertak-menggertak. Polemik yang kerap disebut sebagai ‘Polemik Pudjangga Baru’ itu tak hanya membenturkan wacana Barat-Timur, tapi juga menegaskan ke mana arah kebudayaan Indonesia hendak berayun.<br />Dan STA adalah penggerak aktif perumusan arah kebudayaan kita itu. Ia tak mesti punya pengikut yang banyak. Cukup dengan majalah beroplah 150 eksemplar, pikiran dan karya-karya yang muncul di zaman ini mampu menjadi karya-karya klasik yang abadi.</span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-591954871398584108.post-23209969856658404742007-07-19T22:00:00.000-07:002007-07-25T19:45:45.629-07:00Si Kuntjung Milik Anak Indonesia,,......<span style="font-style:italic;">Kuntjun</span>g" selalu mendengung di telingaku serta meresap di hatiku sejak aku ketjil. Perubahan-perubahan dalam madjalah ini telah banjak dilakukan. Tiap-tiap hari Rabu dengan setianja Si Kuntjung selalu hadir di tengah-tengah kami. Kurasa isinja makin menarik dan mengesankan. Tahun lalu betapa senangnja hatiku setelah aku mengetahui bahwa aku telah lulus udjian SD dengan memuaskan. Hal ini berkat kesetiaanku mengerdjakan soal-soal jang tertjantum dalam "Nilailah Ketjakapamu" seperti jang diandjurkan bapak guruku. Djuga karangan-karangan jang termuat dalam Si Kuntjung telah banjak membantuku untuk belajar mengarang......" (Si Kuntjung, No. 27 1970) <span class="fullpost"><br /><br />Itulah pengakuan S. Hartono, pembaca setia <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span>. Arswendo Atmowiloto dan Profesor Sudjarwo pun mengakui bacaan anak itu sebagai bacaan yang punya peran dalam proses menulis mereka.<br /><br />Majalah bulanan anak <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> terbit sejak 1 April 1956 dan diasuh Sudjati SA. Izin terbitnya No. 00367/U/SK/BPHM/SIT 1965 tanggal 21 September 1965, SIP. No. 020/F/S-9/5 tanggal 8 Januari 1966 dan Izin Peperda Np. Kep. 035 P/X/1965 Nomor Urut 5.<br /><br />Harganya Rp 1,50, - dan berkantor di Djl. Madura 2, Djakarta III/2. <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> dicetak PT. Kinta (Kertas Tinta), yang kelak juga mencetak Intisari dan Kompas. Sasaran pembacanya anak-anak usia sekolah rakjat (SD). Namun, kenyataannya Si Kuntjung juga menjadi bacaan anak lewat orangtua.<br /><br />Pemberitaan <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> bermutu dan menghibur, terdiri dari cerita bersambung, dongeng, seni, budaya, ilmu pengetahuan, teka-teki hingga latihan soal-soal pelajaran. Tak heran jika majalah ini kemudian menjadi majalah anak yang direstui pemerintah. Pada dekade 50-an, ia beroleh tanggapan serius Kepala Bagian Naskah dan Madjalah Kem. PP. Dalam sepucuk surat bertanggal 1 Desember 1956 No. 132/IBD/1676, <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> dianjurkan sebagai bacaan anak-anak sekolah rakjat.<br /><br />Kepercayaan pemerintah kepada <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung </span>rupanya awet. Pada 1969, Gubenur/Kepala Daerah khusus Ibu Kota menghadiahkan terbitan <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> setiap edisi buat setiap SD di wilayah DKI. Hadiah itu disalurkan lewat Dinas P & P Sukudinas Wilayah. Kemudian dianjurkan pula <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> ditempel di dinding masing-masing sekolah agar menjadi wahana bacaan anak.<br /><br />Saat terbit kali pertama, sampul dan isi <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung<span style="font-style:italic;"></span></span> dicetak di kertas koran. Si Kuntjung juga punya Koran Ketjil, yang dikelola Wartjil (wartawan ketjil) dan Juwarlik (juru warta tjilik).<br /><br />Majalah yang bermotto Madjalah Pendidikan dan Kebudayaan Bacaan Sekolah Dasar ini menyuguhkan informasi singkat tentang peristiwa-peristiwa aktual, seperti "Kolera di Indramaju", "Stan Vak Sumbang Borobudur", "Dr. Ir. Soekarno Wafat", "Brasil Djuara Dunia", dan berita teranyar lainnya yang dikemas dalam satu lembar halaman.<br /><br />Ilustrasi <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung<span style="font-style:italic;"></span></span> terbilang nyeni untuk ukuran anak-anak masa itu, karena "realistis". Anak-anak yang belum bisa membaca pun akan tertarik kepada <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span>. Pada dekade 80-an, majalah anak ini dicetak full colour, sedangkan kertasnya bertambah luks dan tebal.<br /><br />Cerita bersambung adalah rubrik yang paling ditunggu pembaca. Redaksi menyiapkan cerita itu dengan sangat matang. Sebulan sebelum cerita bersambung tamat dan diganti cerita baru, redaksi memberitahu pembaca, lengkap dengan informasi singkat tentang cerita pengganti. Rubrik bermutu lain"Tahukah Kawan", semacam ensiklopedi tentang keajaiban dunia, tempat-tempat, atau peristiwa-peristiwa penting. Misalnya:<br /><br />...Sebuah Museum Etnologi di Berlin jang berisikan benda-benda kuno dari berbagai pendjuru dunia, telah menempatkan wajang Indonesia dalam ruangan bagian Asia Selatan. Museum ini resmi dibangun tahun 1873. Sekarang mempunjai sedjumlah 330.000 kumpulan benda. Sedjumlah 5000 kumpulan terdapat dalam tiga bagian: Benda Asli Amerika, Asia Selatan, dan Lautan Selatan." (Si Kuntjung, No. 27 1970)<br /><br />Cerita-cerita orangtua kepada anak menjadi semakin bervariatif dengan bantuan cerita-cerita Si Kuntjung. Lain dari itu <span style="font-style:italic;">Si Kuntjung</span> juga mengajak anak-anak ikut serta dan aktif dalam pelbagai rubriknya, seperti dalam "Kota Wasiat", rubrik yang menampung pengalaman yang ditulis anak-anak.<br /><br />Seiring dengan kemunculan banyak majalah anak lain seperti Bobo, Mombi, Kawanku, Girls, dan Orbit, Si Kuntjung pelan-pelan tergeser dan akhirnya berhenti terbit.<br /><br /></span>JOGJA-JAKARTAhttp://www.blogger.com/profile/01452152496781213553noreply@blogger.com1