Sunday, December 16, 2007

Untuk Ibunda Tercinta



Judul : “Jangan Menangis Ibu”
Penulis : Ayu Arman
Editor : Muhidin M Dahlan, AN Ismanto
Penerbit : I:Boekoe
Cetakan : I 2007
Tebal : 198+xix halaman


Pagi itu ketika kuterima telepon dari Kang Muhidin (editor dari buku ini) ia menyampaikan padaku ‘baca Jangan Menangis Ibu, kisah kesepuluh dalam buku itu adalah kisahmu”. Barangkali inilah yang membuat saya cukup tertarik untuk membaca buku ini.

Selain ada alasan pribadi, bagi saya buku ini sangat menarik karena berkisah tentang pengalaman-pengalaman perempuan terutamanya “Ibu”. Mendengar kisah ibu saya pun kembali teringat tentang Ibu tercinta jauh di sana. Salah satu kisah dalam buku ini barangkali ada Ibu. Ibunda tercinta.

Cerita kesepuluh itu bercerita tentang kisah kasih seorang perempuan diantara karirnya. Laki-laki itu bernama Heru, berprofesi sebagai wartawan di kota Semarang. Dan yang berbagi adalah perempuan yang bernama Meranti Ayumanik. Keduanya menikah dan sebagai pasangan ideal. Rentang waktu biduk rumah tangga yang mereka bangun mulai tergoncang. Miranti berfikir bahwa ‘perkawinan bukan menjadi penghalang perempuan untuk terus berkembang”. Prahara dalam rumah tangga berawal dari beasiswa S2 yang diterima Miranti di sebuah Universitas nomor wahid di Jakarta. Heru suaminya mulai berubah sikap, dan Miranti harus merampungkan studinya ‘tanpa dukungan” dari suami tercinta. Intesintas pertemuan mereka mulai merengang.

Kehadiran seorang anak dalam keluarga pun tidak merubah keadaaan. Masuknya pihak ketiga dalam kehidupan Heru (suami Miranti) semakin mempeparah keadaan. Rumah tangga yang dibangun atas nama cinta tak dapat dipertahankan lagi. Keputusan untuk bercerai pun diambil. Keadaan, situasi, dan kondisi berujung terhadap psikis Miranti. Heru akhirnya menikah dengan wanita selingkuhannya setelah dua bulan bercerai, dan Miranti berupaya bangkit dari traumanya. Selama empat tahun menjada Miranti menemukan laki-laki yang mau menerima kondisinya tanpa syarat. Dan sebuah harapan besar ada di sana.

Miranti dengan kisahnya, Atik Purwitaningrum (istri pilot Alm. A. Teguh Basuki), Ibu Tuti Komala Bintang Boru Hasibuan (istri wartawan RCTI alm Ersa Siregar) dan perempuan lainnya dengan kisah penggalan hidup yang dilalui terangkum apik dalam buku ini. Mengharu biru, menyayat hati, bahkan miris semuanya disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.

Buku ini menghadirkan ‘beragam wajah perempuan dengan ketegarannya” yang barangkali bisa menjadi referensi para pembaca untuk merenungkan arti kehidupan. (seperti yang dituturkan Teh Nini).

Kang Muhidin, cerita kesepuluh itu bukan cerita saya. Hanya ada kesamaan nama, tokoh, karakter, dan secuil peristiwa. Peristiwa saya adalah cerita ketujuhbelas, yang barangkali akan ditulis Ayu Arman dalam buku edisi keduanya. Kali ini Allah hanya sedang menegur saya dengan keras dan menyakitkan, tapi pasti akan diganti-Nya dengan yang lebih baik.

Dan Ibu maaf berjuta-juta maaf atas semuanya, suatu saat nanti saya pasti akan pulang untuk berbagi penggalan kisah perjalanan hidupku. Tapi nanti Ibu, saat aku mampu menyeka air matamu dan berdiri diatas kakiku. “Jangan pernah menangis Ibu”. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri).

::Selengkapnya::

Saturday, December 15, 2007

Islam dan Kemodernan, Islam dan Kebangsaan


Judul : "Menjadi Indonesia;13 Abad Eksistensi Islam
di Bumi Nusantara"
Kata pengantar : Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF
Penerbit : Yayasan Ferstival dan Mizan Jakarta (kerjasama)
Cetakan : I 2006
Tebal : 902+xxvi halaman

“Menjadi Indonesia” merangkum tentang kemunculan, pengaruh dan sebaran Islam yang memberi warna dan corak pada sejarah pembentukan menjadi bangsa dan negara.

Buku tebal ini dibuka oleh Azyumardi Azra (hlm.3) menandaskan historiografi sejarah Indonesia. Bagaimana penulisan sejarah Indonesia mengalami perbalgai perkembangan dari manzab-mazab yang dimasuk, hingga pada akhirnya berkembanglah sejarah sosial. Dari perkembangan historiografi Indonesia kearah “sejarah sosial” yang mendorong kearah perkembangan yang lebih luas dan kompleks dalam sejarah Indonesia.

Melalui rute perdangangan laut dari belahan barat Asia seperti India, Arab, dan Persia. Sebagai titik awal adalah Selat Malaka pada abad ke-7 M ke jantung perdagangan pulau Jawa seperti Jepara dan Gresik, diteruskan ke Banjaramasin, Ambon, dan Ternate sebagai pusat rempah-rempah Islam tersebar.

Munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Islam, Samudrai Pasai abad ke 13 yang dibangun Laksamana Laut mesir Nadjudin Al-Kamil di Sumatera dan disusul Demak di pulau Jawa semakin mengukuhkan keberadaan Islam dan menjadikannya penting dalam sejarah pembentukan negara.

Islam masuk di pelbagai nusantara dengan mengikuti pola yang hampir sama, yaitu pada awalnya Islam diterima oleh masyarakat pesisir pantai. Selanjutnya, perkampungan-perkampungan muslim di daerah pelabuhan secara adaptif, dengan pendekatn kultural.

Islam menjadi sangat penting dalam sejarah pembentukan “menjadi Indonesia” baik secara politik maupun kultural, namun sayangnya Islam dilupakan dan dianggap tak penting dalam historiografi sejarah Indonesia. Doktrin lama yang justru mengakar adalah lahirnya persatuan dan penyatuan nusantara model Gajah Mada-Majapahit. Salah kaprah. pemahaman sejarah ini dilahirkan oleh perennial sejarah, yaitu anggapan akan keabadian yang terkandung dalam peristiwa sejarah, dan juga essensialitas sejarah, yaitu anggapan terhadap peristiwa sejarah untuk sebuah keperluan adan keberadaan kita.

Terus mewarnai pembentukan Indonesia ketika era kebangkitan nasional 1908 Sarekat Dagang Islam muncul memberikan tonggak Nasionalisme. Pergerakan Islamlah, kata Natsir, yang lebih dulu membuka jalan perjuangan kemerdekaan di Tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovisian…”

Selama periode pergerakan Nasional 1908-1945, terdapat beberapa peristiwa yang menunjukan bahwa bangsa Indonesia dalam upaya menegakan Negara republik dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model yang dilakukan Kerajaan Majapahit dengan Majapahit Gadjah Mada-nya (hlm. 62)

Proses dan berkembangnya Islam di setiap kepulauan nusantara, dari wilayah Jawa, Sumatera, Maluku, Ternate, Tidore, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi dirangkum apik dalam tulisan Anhar Gonggong (h. 30) dan Azhar Asyad (hlm. 73).

Gelombang Islam yang lain di Tanah Air datang dengan memadang Islam dengan cara baru. Melalui pendekatan keilmuan, gelombang orientalisme dan studi-studi Islam kontemporer berorientasi kepada Islam dan budaya-budaya Timur. Corak pendekatan studi pun mengalami perkembangan dengan munculnya Islamic Studie.

Tak dapat ditepis dalam perkembangannya Islam harus bersentuhan dengan adat-istiadat budaya lokal di Indonesia dengan beratus-ratus tersebar di kepulauan nusantara. Salah satu diantara budaya bangsa yang terkenal kuat hubungannya dengan Islam adalah suku Minangkabau dan Melayu. Pada awal kontak kebudayaan tentulah terjadi benturan dan pertentangan, baik secara religion maupun politik. Namun, kini perjalanan antara budaya dan adat dengan Islam yang terdapat dalam masyarakat dapat saling mengukuhkan dan dapat berkembang.

Keterlibatan ormas Islam dalam konteks politik ketika dalam proses menjadi Indonesia penting di catatat. NU yang berdiri 31 Januari 1926, misalnya telah menyatukan dan merapikan barisan dalam rangka pembebasan Indonesia dari penjajah dengan mengeluarkan fatwa Jihat melawan tentara Jepang pada 10 November 1945. Perhatian NU dalam ranah politik pun tak diragukan lagi, menjadi unsur penting dalam lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara dan Bangsa.

Pada era 1990-an terjadi politik akomodasi Islam oleh Negara. ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Sedunia) dibentuk. Belakangan hari diketahui Soeharto ingin memanfaatkan ICMI sebagai payung perlindungan dan legitimasi. Kala itu Habbie sebagai ketua ICMI sekaligus orang terdekat dengan Soeharto menjadi dilematis.

Dari ICMI pula lahir tokoh-tokoh yang menjadi oposan Soeharto yang dimotori oleh Amin Rais. Di era reformasi naiklah organisasi-organisasi Islam di gelanggang politik. Tapi toh partai-partai politik Islam tidak meraih dukungan memuaskan. Pemilu 1999, partai Islam seluruhnya keok, begitu pula pemilu 2004.

Dalam ruang dan waktu yang lain Islam terus bergerak, dalam kurun yang berbeda dengan apresiasi nan unik pula, mengawinkan antara keislaman dan kemodernan, keislaman dan kebangsaan. Di era millinium tantangan Islam semakin besar, eksistensi Islam diuji hingga kini.

::Selengkapnya::

Thursday, December 13, 2007

PSSI, Tendangan Bola, dan Politik Kebangsaan

Club Bola Prinses Juliana usai bertanding di Singaraja tahun 1927

SEPAKBOLA merupakan olahraga yang cukup akrab dan digemari masyarakat. Sesungguhnya permainan sejenis sudah dikenal oleh masyarakat nusantara jauh sebelum sepakbola dikenalkan oleh bangsa Eropa. Istilah “Sepak Raga” dalam penyebutan sepak bola adalah pangkal dalam merunutnya. Sepak raga adalah permainan yang menggunakan bola yang terbuat dari rotan, permainan itu mengusahakan agar supaya raga itu jangan jatuh ke tanah ( permainan sepak raga kini dikenal dengan istilah Sepak Takraw). Maka, tak mengherankan permainan sepak bola ini menjadi akrab dan banyak digemari oleh masyarakat kala itu dan kini.

Berbicaraa sepak bola di Indonesia tentulah tak lepas dari organisasi yang bernama PSSI. PSSI (Persatoean Sepak Raga Seloroeh Indonesia) adalah organisasi sepakbola buatan pribumi, keluar dari bond-bond sepakbola bikinan Belanda—resistensi terhadap kolonial. Organisasi ini dirintis jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.

PSSI berdiri atas tiga asas kebangsaan Indonesia. Sebelum didirikan telah ada Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB) yang dibeberapa kota memiliki anggota. Dalam keanggotaan NIVB banyak masuk bangsa bumiputra, meskipun segala pimpinan berasal dari negeri Belanda.

Fase berikutnya dengan masuknya bangsa bumiputra ke dalam Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia, Voetbalbond jang dimasoeki bangsa Indonesia menjadi doea: PSSI (bagi bangsa Indonesia) dan NIVB (melingkupi segala bangsa dan diantaranya ada pula speller bangsa bumiputra dan persatuan bumiputra).

Di Penghujung tahun 1929 PSSI (Perstoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia) berdiri tujuannya jelas mempersatukan voetbalbond Boemipoetra di seluruh Hindia. Persatuan yang berharap besar akan naiknya peil, derajat pemainan sepak bola bangsa Indonesia. Dan berharap kelak mampu terjun dalam Far Eastern championship Games.

Dalam catatan kanon sejarah berdirinya organisasi ini tak semudah yang terbayangakan. Era sebelumnya tepatnya tahun 1923 di Surabaya sudah diadakan pertemuan untuk mendirikan perserikatan perkumpulan voetbal. Maksud itu gagal. Usaha ini di ulang pula pada tahun 1928, tapi tak berhasil juga. Dipenghabisan tahun 1929 cita-cita pembentukan perkumpulan voetbal terujud, atas dukungan dari Bandung, Jogja, dan Surabaya. Bahkan di tahun yang sama ada niatan hendak mendatangkan elftal (kesebelasan) dari dari luar negeri baik dari Tiongkok maupun tempat lain.

Babak berikutnya dipertengahan April 1930 tujuh bond (kumpulan klub amatir) sepakbola hadir di Yogyakarta untuk bertanding dalam sebuah kejuaraan di Alun-alun utara Yogyakarta. Bukan pertandingan di lapangan berpagar gedheg (anyaman bambu) tersebut yang kemudian dikenang oleh sejarah, namun pertemuan ketujuh pengurus klublah yang kemudian dicatat telah mengukuhkan lahirkan PSSI.

Sekira delapan belas bulan kemudian tepatnya Minggu tanggal 4 Oktober 1931 diadakan rapat umum di bawah pimpinan Ir. Soerati. Pertemuan itu dihadiri PSSI Voetbalbond Semarang, Bandung, Magelang, Jakarta, Mataram, Solo, dan Surabaya, dan dihadiri 6 buah bond.

Kala itu lewat persatuan bola disadari betul faedahnya dalam menajalin persatuan kebangsaan. Dalam Konggres di Semarang misalnya dalam sambutan dari ketua sidang Soerati dikatakan:

“Permaianan bola mendidik persaan kemerdekaan. Sebab pada main bola itu tiap-tiap permainan sesungguhnya bebas. Oleh permainan bola itu terutama sama rata dan lenyap keangkoehan lain-lain. Pada waktu itu tak dibedakan orang bangsawan dengan orang kebanjakan, orang kaya dengan orang miskin. Satu fasal yang penting pula ialah karena main spak raga itu memaksa orang tahu akan kewajiban masing-masing.
…Dan akhirnya tidak boleh dilupakan bawah permainan bola itu mendidik manusia berani, tidak takut-takut serta tiada pustus asa meski bagaimana sekalipun hebat mungsuh menendang”.(Pandji Poestaka, 1930)

Sepakbola lewat persatuan PSSI disadari betul sebagai jalan yang baik untuk melenyapkan perasaan provincialisme yang sempit. Karena dalam perkumpulan ini tidak bukan hanya di tanah Jawa saja yang besar minatnya pada sepak bola ini, tapi dari Makasar, Banjarmasin dan Palembang pun menyatukan diri.

Akhirnya siding PSSI di Semarang itu mengambil keputusan:

1. Stedenwedstrijd dan kongres PSSI akan diadakan pada tahun 1932 di Betawi. Bond-bond akan di bagi dalam tiga bagian: pertama Djakarta dengan Malang, kedua Bandung dengan Mataram, dan ketiga Solo, Semarang, dan Surabaya. Stedenwedsrijd itu akan diatur memakai voorwedstrijd. Yang akan mengurus pertandingan-pertandingan ialah competitieleider, terdiri di Yogya.
2. PSSI akan mendatangkan Malay Team dari Singapura. Surabaya diusuruh mencari perhubungan dengan tim luar Indonesia.
3. PSSI akan mendirikan satu koperasi. Hal ini akan diputuskan pada kongres yang akan datang.
4. Pakaian bond yang opisil hanya boleh dipaka dalam pertandingan PSSI.
5. Jumlah bond baru yang diterima sebagai anggota ialah lima.
(Pandji Poestaka, 1930)

Dari sepakbola persatuan kebangsaan disemaikan, bahkan dunia bola angannya pun sempat terujud “elftal Indonesia sempat mengores dalam kejuaraan dunia di era 50-an, walaupun hanya terjadi sekali. Lalu kapan lagi???

::Selengkapnya::