Thursday, July 19, 2007

Panjimas: Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis

Pandjimas lahir seiring maraknya wacana reformasi Islam yang dihembuskan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasydi Ridha. Kala itu, banyak media massa berafiliasi karib atau bahkan menjadi penyuara pelbagai organ pergerakan Islam.

Di Singapura, terbit al-Iman pada 1906 di bawah Syekh Muhammad Tahir bin Jalaluddin al-Minagkabawi al-Azhari, al-Munir terbit di Padang (1911-1916) di bawah Abdullah Ahmad, Sjarekat Islam punya al-Islam (1913), Sarotama SI Solo yang kelak menjadi Sarotomo (1914 dan 1916), Sinar Djawa SI Semarang (1914), Teradjoe SI Palembang (1919), Doenia Moeslim terbitan Bukittinggi (1921), an-Noer atau Het Licht-nya Jong Islamieten Bond (1925), Pembela Islam kepunyaan Persis (1931), Panji Islam milik Zainal Abidin Ahmad, dan Pedoman Masjarakat di bawah Hamka dan M Yunan Nasution yang terbit di Medan pada akhir 1930-an, disusul Kiblat, Gema Islam, dan Pandji Masyarakat atau Pandjimas.

Tren itu terus berlanjut hingga Indonesia menerapkan demokrasi pada dekade 50-an. Namun, Pandjimas bersama al-Iman dan al-Munir menyempal dari tren itu. Pandjimas merdeka dari organ pergerakan, aliran, mazhab, atau paham keagamaan mana pun yang bertunas atau mapan di Tanah Air.

Secara eksplisit, ia mengajak pembacanya untuk tidak terikat, apalagi sampai taklid, kepada sesuatu mazhab dan aliran pemikiran Islam. Sebaliknya, Pandjimas mendorong pembacanya untuk mengembangkan ijtihad dan pemikiran independen.

Pemerintah murka dengan sikap Pandjimas. Tapi bukan oleh pandangan keagamaan yang dibawa Pandjimas, melainkan lantaran memuat secarik artikel berkepala “Demokrasi Kita” tulisan Mohammad Hatta. Pandjimas pun dibungkam pada Mei 1950.

Hatta dalam artikel itu menujum bahwa sistem kekuasaan ototarian tidak akan bertahan lama, paling-paling seumur penciptanya. Bagi Soekarno, pemuatan artikel itu kesalahan besar. Walhasil, meski tidak berafiliasi pada satu kekuatan politik dan justru memasyhurkan prinsip demokrasi, Pandjimas dipaksa tutup.

Sejak pertama terbit hingga dibredel pada Mei 1950, lalu diterbitkan kembali pada awal 1967 hingga menjelang akhir 1970-an di bawah pimpinan Moh. Faqih Usman dengan dibantu Dr. H. Abdulmalik Karim Amrullah dan Jusuf Abdullah Puar, langkah Pandjimas tertatih-tatih. Apalagi, majalah ini identik dengan sosok Hamka. Karena itu, setelah Hamka mangkat pada 23 Maret 1980, ia semakin limbung. Namun, ia masih sempat terbit sekali lagi pascareformasi. Rusdi Hamka, putra Hamka, meneruskan langkah Pandjimas.
Pandjimas secara profesional pernah menyiarkan tulisan yang tidak sependapat dengan garis redaksinya. Saat terbit lagi untuk kedua kalinya, ia syiarkan tulisan kontroversial Nurcholish Madjid atau biasanya disapa Cak Nur pada 1970-an. Penyiaran itu mengisyaratkan ruang intelektual yang mengakomodasi dialektika berpikir. Salah seorang penentang gigih gagasan-gagasan Cak Nur adalah H.M. Rasjidi, penulis buku Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (1972). Rasjidi sendiri salah seorang redaktur Pandjimas.

Penyiaran itu beresiko. Gagasan Cak Nur bertentangan dengan bukan saja garis redaksi, melainkan juga dengan para pembaca dan umat Muslim Indonesia. Para pembaca yang murka bisa saja meninggalkan Pandjimas. Namun, dengan pemuatan itu, Pandjimas justru membuka suatu corak baru intellectual discource di Indonesia. Bukan saja dalam wacana Islam tetapi juga dalam wacana demokrasi. Wacana yang mau dikembangkan Pandjimas respek terhadap pluralitas, perbedaan pendapat, dan kebebasan bersuara.
Penyiaran wacana demikian, menurut Azyumardi Azra, sejarawan sekaligus mantan wartawan Pandjimas, sebentuk komitmen terhadap nilai universal Islam, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. Pandjimas senantiasa menegakkan komitmen itu meski harus bersitegang dengan rezim kekuasaan dan umat Muslim yang tidak siap.

Demi prinsip dan komitmen itu, dan sebagai langkah menyebarkan reformasi dan modernisasi Islam, Pandjimas menerapkan pendekatan yang unik. Ia enggan menapak jalan juang organisasi dan politik dan justru memilih jalan kebudayaan. Sikap ini tentu tak lepas pengaruh Buya Hamka, ulama-sastrawan yang secara konsisten emoh mencebur ke dalam riuh politik.

Pendekatan itu tepat dan realistis. Orde Lama dan Orde Baru menghimpit ruang gerak semua organisasi politik keagamaan. Kekuatan politik aliran ditekan dan dikutungi. Agenda umat Muslim di jalur politik macet. Sekali diberi ruang, politik keagamaan malah bertiwikrama menjadi fundamentalisme yang destruktif.

Komitmen itu terwujud lantaran segmen pembaca Pandjimas kelas menengah ke atas, baik secara intelektual maupun finansial. Pan Asia Research & Communication Service (1984) menuturkan, pembaca Pandjimas umumnya berusia dewasa (adolescent) dan dewasa muda (young adolescent) dengan latar pendidikan SLTA ke atas. Segmen pembacanya pegawai pemerintah dan swasta (32%), pemimpin nonformal (22%), pedagang dan petani (20%), mahasiswa dan pelajar (13%), kaum ibu (6%), dan kalangan lain (7%).
Para pembaca yang terdidik itu umumnya punya kedudukan strategis di lingkungan masing-masing. Mereka juga lebih siap bermuka-muka dengan pluralitas dan kebebasan bersuara, lain dari penguasa tiranik yang pernah membungkam Pandjimas.

No comments: