Wednesday, July 25, 2007

Dari Politik Etis untuk Para Petani Pribumi

POLITIK ETIS di masa kolonialisme Belanda menempatkan pribumi tetap sebagai objek jajahan daripada partisipasi aktif. Menurut Boeke, ada dualisme ekonomi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem kebun, misalnya, dibudidayakan sebagai kebun permanen dengan tujuan meningkatkan ekspor hasil perkebunan, yang tujuan akhirnya meningkatkan penghasilan Hindia Belanda. Terlepas dari itu, bisa kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah ada upaya mengangkat kesejahteraan petani-sesuatu yang mahal di republik yang telah setengah abad merdeka ini.

Dewasa ini, kondisi pertanian Indonesia, khususnya pertanian tanaman pangan, hingga dekade ini belum mendapat perhatian optimal dari pemerintah.

Harga pupuk semakin mahal, politisasi pertanian, masuknya berbagai produk pertanian impor, semakin mempersulit petani untuk bersaing di pasar.

Padahal saat ini pertanian merupakan salah satu industri yang mungkin dikembangkan di Indonesia dalam persaingan global. Melihat kondisi alam dan iklim yang mendukung, serta banyaknya petani usaha kecil yang bisa dilibatkan, sektor ini akan mampu meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat.

Pada saat menguasai Indonesia pada abad ke-20, Pemerintah Belanda telah memfokuskan kebijakan politik dalam bidang peranian, dengan harapan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Kebijakan ini berawal dari kegagaalan sistem liberal selama dekade sebelumnya (1870). Sistem liberal ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang Agraria 1870, yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah seluas dan selama mungkin. Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan pribumi. (Mubyarto: 1992, 36-37)

Munculah gagasan etis, di kancah pertanian Pemerintah Belanda merealisasikannya dengan didirikan Afdeel;ing Landbouw di Departemen Landbouw, Nijverheid dan Handel pada tahun 1905. Kebijakan baru ini merupakan titik awal pembangunan masyarakat desa yang secara umum adalah petani.

Dibentuknya Departemen Pertanian tidak bisa lepas dari program Gubenur Jenderal Rooseboom yang terus menghawatirkan tentang penurunan produk-produk pertanian berserta implikasinya terhadap kesejahteraan penduduk.

Departemen pertanian dipusatkan di kebun botani di Buitezorg (Bogor) dengan direktr M. Treub yang diberikesempatan untuk merealisasikan rencana jangka pajangnya dalam upaya meningkatkan hasil pertanian tanaman padi di sawah, peningkatan tanaman sekunder, serta penenaman untuk lahan kering.

Treub juga menanamkan perlunya dorongan dan perkenalan industri-industri kecil pertanian. Untuk itu dilakukanlah penelitian terhadap kondisi klimatologi dan tanah di Jawa serta pemeliharaan ternak.

Usaha Treub diimbangi dengan melakukan percobaan pertanian pada lahan-lahan di Jawa sebagai eksperimen, seperti di afdeling Kulon progo, yang terletak di bagian Barat Kasultanan Yogyakarta.

Laporan Ir. A. Wulff pada tahun 1920-1926, misalnya, memperlihatkan bahwa di daerah Pengasih dan Sogan (distrik Kulon Progo) dilakukan riset penanaman padi dengan menggunakan pupuk kimiawi pada lahan sawah basah. (A. Wullf, Mededeelinge van het Algemeen Proefstation voor den Landbouw No. 25. Arsip Dinas Pertanian Yogyakarta).

Penelitian Wulff melaporkan, hasil dari percobaan ternyata kurang maksimal. Pada tahun 1929 J.J Ochse juga melakukan penelitian iklim, dan percobaan penanaman tanaman panan berupa buah-buahan seperti mangga dan nanas di Kulon progo. (J.J. Ochse, Mededdelingen voor de Dienst: …Arsip Pakualam Yogyakarta).

Politik etis sedikit-banyak telah mewarnai dinamika pertanian Indonesia. Seperti dilaporkan Ge Prince, pandangan umum yang mengakar pada waktu itu adalah kesejahteraan pribumi sangat berkaitan dengan produksi tanaman pangan. Hal ini menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda melihat sektor pertanian sebagai sektor yang penting diperdayakan dalam kebijakan etis. (Ge Prince, dalam J. Thomas Lindblad (ed): 1998, 159).

Menurut Gerry van Klinken, masyarakat Jawa telah mempunyai pegetahuan yang memadai dalam bidang pertanian bahkan sebelum kolonialisme datang ke nusantara. Berdasarkan ini, barangkali politik etis tidak banyak mengubah cara-cara pertanian yang ada. Pola pertanian, misalnya, pada tahuin 1900-1930 di Kulon Progo masih memakai cara tradisional.

Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa pengenalan cara-cara pertanian modern telah dilakukan, meski tidak massif. Sebagai sosialisasi, misalnya, lahan percontohan pemerintah menggunakan pemupukan kimiawi. Selain itu, pola pengairan menggunakan sungai, seperti Opak Progo juga telah memakai sistem manajemen yang rapi. Pengairan tersebut bahkan telah diundangkan dalam Rijksblad van Djogjakarta no. 10 tahun 1922, no. 20 tahun 1927, no. 23 dan 28 tahun 1928. Salah satu butir di dalamnya adalah kebijakan membentuk dewan yang mengurus masalah distribusi air antara petani dan perkebunan.

Dari pelbagai kebijakan itu, kita bisa melihat adanya peningkatan hasil pertanian. Namun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa peningkatan hasil pertanian tersebut membawa peningkatan kesejahteraan bagi petani. Pada kenyataannya, pemerintah Hidia Belanda menerapkan pajak yang tidak ringan. Di dalam Rijksblad van Djogjakarta dan Rijksblad van Paku Alam disebutkan bahwa besarnya pajak sawah berkisar antara 8 hingga 20% dari hasil. Di Distrik Pengasih dan Nanggulan (Afdeling Kulon Progo) pada tahun 1927 beban sawah dan lahan kering mencapai f 88.024.Kapan nasib petani bisa berubah???