Thursday, July 19, 2007

Pujangga Baru: Penggerak Etos Kebudayaan

Tenteram dan damai?
Tidak, tidak Toehankoe!
Tenteram dan damai waktoe tidoer di malam sepi
Tenteram dan damai berbadjoe poetih di dalam koeboer

Tetapi hidoep ialah perdjoeangan
Perdjoeangan semata laoetan segara
Perdjoeangan semata alam semesta
Hanja dalam berdjoeang berkobar
Engkau Toehankoe di dalam dada
(PB, Juli-Agustus 1940)

Sutan Takdir Alisjabana atau biasa ditulis STA adalah budayawan, sastrawan, dan cendekiawan terkemuka. Bersama Armijn Pane dan dibantu Amir Hamzah, STA menerbitkan Pudjangga Baru pada Juli 1933. Lahirnya majalah Pudjangga Baru menjadi penanda hidupnya gelombang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia modern.
Pada tahun-tahun awal terbit, Pudjangga Baru mengusung jargon “Madjalah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem” dan kesusastraan masih menjadi lokomotif. Maklum saja, para pendirinya adalah sastrawan. Amir Hamzah seorang penyair, sementara Armijn Pane dan STA adalah prosais.
Poejangga Baru pun menjadi magnet dan sekaligus gelanggang baru bagi penulis-penulis kreatif angkatan baru. Di gelanggang ini, memang cuma segelintir orang. Namun dalam sejarah sastra, justru nama-nama mereka tiada lekang. Pudjangga Baru yang menjadi medan kreatif itu pun hanya beroplah sedikit, yakni 150 eksemplar dan dicetak sebulan sekali. Jumlah oplah itu sejumlah pelanggannya yang sebagian besar berasal dari golongan intelektual. Harga langganan sekwartal 4.50 sen atau eceran sebesar 1.50 sen.

Namun ajeknya nama-nama yang berhimpun di Pudjangga Baru bukanlah ditentukan berapa ribu pengikut fanatik dan berapa oplah cetak, tapi oleh kedalaman pikiran. Tentu siapa pun pembaca sastra Indonesia tak pernah melupakan nama-nama seperti Idrus yang dikenang lewat karyanya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Amir Hamzah dengan Nyanyi Sunyi (1937), Sanusi Pane dengan Madah Kelana (1931), Rustam Effedi, J.E Tatengkeng, Muhammad Jamin, Suwandhi, Nyoman Panji Tisna, Hr. Bandaharo, Asrul Sani, Mochtar Apin, Aoh Kartahamadja, Rivai Apin, A.A. Katili, Achdiat K Mihardja, dan Dr. M. Amir. Kesemuanya adalah penulis-penulis yang lahir dan besar bersama Pudjangga Baru.

Di antara sederet kecil nama itu, nama STA tetap menjadi ikon dan nyawa bagi Pudjangga Baru. Jajaran redaksi kerap mengalami pergantian. J.E Tatengkeng, Bugroho, L.S. Sitorus adalah nama-nama yang pernah merasakan kursi redaksi. Tapi bandul pemikiran tetap dipegang STA.

Lewat Pudjangga Baru pula STA mengguncangkan sastra Indonesia dengan konsep estetika puisi modern yang diusungnya. Ia menolak sastra lama yang dianggapnya usang dan membosankan. Menurutnya, sastra lama hanya memberikan kebebasan statis. Tak pelak lagi, reaksi bermunculan. Yang menarik, justru konsep STA itu banyak diikuti oleh penyair yang kala itu memang menginginkan arah baru bagi pengucapan puisi Indonesia.

Tapi belum selesai dengan etestika puisi modernnya, STA kembali mendorong arus polemik besar dengan mengajukan konsep kebudayaan persatuan Indonesia. Kalau dua tahun pertama, Pudjangga Baru masih berkutat pada persoalan kesusastraan, tahun ketiga (Juli 1935) wacana kebudayaan diperluas. Jargonnya pun berubah: “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem”.
Artikel STA yang menggemparkan itu bertajuk: ‘Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru’: …bahwa dalam kebudayaan Indonesia jang sedang terdjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen jang dynamisch. Tetapi meski bagaimana sekalipun tidak enak bunjinja semboyan, bahwa kita harus beladjar pada Barat, meski bagaimana sekalipun sedih ahti kita memikirkan hal yang demikian, dalam hal ini rasanja kita tidak dapat memilih. (PB, Agustus-September 1935)
Artikel ini bukan hanya menyuruh melihat Barat sebagai pusat kemajuan, tapi juga menyangkal habis-habisan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki akar sejarah yang kukuh. Sastra Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada konsep sastra nasional. Kebudayaan Indonesia tak punya sejarah, maka tak ada itu kebudayaan nasional. Yang kita punyai adalah kemajuan. Dan kemajuan itu adalah Barat. Maka berkiblatlah ke sana.
Artikel keras itu tak pelak lagi melahirkan polemik. Tak hanya bertarung di Pudjangga Baru, tapi polemik merembet ke koran lain, seperti Soeara Oemoem (Surabaya), Bintang Timoer (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), dan Wasita (Yogyakarta).

Tulis lawan S.T. Alisjahbana, Sanusi Pane, yang berusaha melakukan sintesis: Barat, seperti sudah kita lihat, mengutamakan djasmani, sehingga lupa akan djiwa. Akalnja dipakainja menaklukan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), jang mengorbankan djiwanja, asal menguasai djasmani.
Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan djasmani. Akalnja dipakainja mentjari djalan mempersatukan dirinja dengan alam. Ia bersifat Ardjuna jang bertapa di Indrakila.

Haluan jang sempurna adalah menjatukan Faust dengan Ardjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individualisme dengan spriritualisme, perasaan dan collectivisme. (PB, 1935)

Selain Sanusi Pane, ada Adinegoro pimpinan Pewarta Deli; Ki Hadjar Dewantara pendiri Taman Siswa di Djogja; Dr. R.M. Ngb. Pubatjaraka lulusan doktor dan filsafat Leiden; Dr. Sutomo pendiri Budi Utomo dan Indonesische Studieclub; Tjindarbumi pimpinan redaksi Soeara Oemoem; dan Dr. M. Amir yang terkenal sebagai psikiater.

Polemik pemikiran kebudayaan itu adalah akar polemik yang sehat. Polemik ini pula dikenal sebagai polemik yang mengedepankan nalar, sopan santun dalam menulis, serta penghormatan atas perbedaan, ketimbang kekuatan dan gertak-menggertak. Polemik yang kerap disebut sebagai ‘Polemik Pudjangga Baru’ itu tak hanya membenturkan wacana Barat-Timur, tapi juga menegaskan ke mana arah kebudayaan Indonesia hendak berayun.
Dan STA adalah penggerak aktif perumusan arah kebudayaan kita itu. Ia tak mesti punya pengikut yang banyak. Cukup dengan majalah beroplah 150 eksemplar, pikiran dan karya-karya yang muncul di zaman ini mampu menjadi karya-karya klasik yang abadi.

No comments: