Sunday, October 19, 2008

TESTIMONI:LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU

Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang sarat gesekan itu. (Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah, cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta penerima Magsaysay Award 2008)

Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan;memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini merupakan salah satu buku yang sangat penting. (Dr. Anhar Gonggong,sejarawan)

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada
kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya. Buku ini berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola
secara seksama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi, perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat.Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk rakyat tak ada. (Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)

Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari perspektif yang berbeda. Yaitu, dari perspektif yang lebih terbuka, lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap rakyat. Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan, rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan
memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah dibabat oleh segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri. Buku ini dapat menjadi pendorong untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat Indonesia. (Dr.Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian populis yang berbasis kerakyatan itu. (Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)

Ini adalah terbitan yang memiliki makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambarannyang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia. (Prof Dr Adrian Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and Cultures)

Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah tentang "the true believers". (Taufik Rahzen, ziarawan, kuratorsenirupa, dan penggiat festival)

(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 581 halaman
Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia softcover dan hardcover)
ISBN: 978-979-18475-0-6.
Harga (softcover): Rp 70.000; edisi hardcover dipesan ke 081-328690269

6 comments:

BADRI AL-AMIEN said...

selamat buat Embak Ria yang telah menyelamatkan sejarah Lekra yang selama ini di Gembok dan kerangkeng olek Rezim.
ternyata Lekra tidak senajis apa yang selama ini saya anggap.
begitulah kalau pengetahuan yang ahistoris.
semoga Lekra Hidup kembali.

Anonymous said...

mba, ni harry... sms ku kok gak di bales... gimana neeh gue ditunjuk jadi moderator bedah buku lekra di jogja... kasih masukan donk tentang hal-hal yang perlu diangkat dan ditekankan... makasih

Unknown said...

Terus siapa yang membakar buku ? Bukankah kita dlm era orba mindset kita menjadi paranoid, atau lebih dari itu kita sebagai psychopat yang perfect. Sampai sekarangpun kita merasakan ttg itu. Memang ini proses kehidupan, memakan waktu yang lama untuk mengusik hati manusia kemabali kepada naluri yang sehat.Dlm salah satu pernyataan pimpinan lekra mengatakan : kalau engkau diperlakukan secara biadab, jangan engkau balas dng kebiadapan, tapi dng keadilan.

arismu said...

Mba Rhoma,
saya bangga dengan Anda,selamat atas penerbitan buku tersebut,yang justru membuat saya kecewa adalah mengapa buku ini dibreidel,bukankah bangsa ini membebaskan setiap orang berpendapat,setiap warga berhak mendapatkan ilmu pengetahuan ,kita harus bisa menelaah ajaran mana yang boleh atau tidak diterapkan di negeri ini,kita harus pintar menganalisa pada iklim demokrasi ini.makasih

Setyo arie kusmawan said...

Rakyat kita tidak boleh pintar atas pembredelan...Selamat buat mbak ria..!! sukses selalu anda orang pintar & pemberani di negeri Ini..kalo mau pesan buku gimana caranya!!...terima kasi

Ivan Sujatmoko said...

penasaran ingin membaca buku ini... :D