“Aku berharap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya, aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku.”—Anne Frank.
Saat menuliskan itu pada Jumat 12 Juni 1942, Anne Frank tepat berusia 13 tahun. Di hari ulang tahunnya itu, Anne mendapatkan kado sebuah buku harian sebagai hadiah, selain blus biru, mainan, sebotol jus anggur yang rasanya mirip wine, puzzle, uang 2,50 gulden, dan voucher seharga dua buah buku dari kedua orangtuanya. Dari kesemua hadiah itu, buku catatan harianlah yang paling dia suka. Anne menulis, “Pertama kali yang aku lihat adalah kamu, dan mungkin yang paling indah di antara semua yang ada.” Sejak itu Anne mulai menulis buku harian.
Anne Frank yang menulis catatan harian hingga usia 15 tahun menuliskan apa pun yang ia suka dan tak ia suka. Ia menulis apa adanya, tanpa paksaan. Ia menulis tentang keluarganya, ketaksukaannya pada ibunya, tentang teman-temannya, tentang perubahan dirinya yang beranjak remaja, termasuk bahkan tentang daftar belanjaan yang ia beli. Memang semula Anne menulis untuk dirinya sendiri, tanpa maksud apa pun.
Suatu ketika pada 1944 Anne mendengar sebuah stasiun radio di London menyiarkan pidato Gerrit Balkestein, seorang pejabat pemerintah Belanda yang hidup di pengasingan. Dalam pidato itu, Gerrit berniat mengumpulkan berbagai catatan saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman. Termasuk di dalam catatan yang dimaksud Gerrit adalah surat dan catatan harian. Pidato itu mengilhami Anne untuk ikut-ikutan menerbitkan sebuah buku berdasarkan catatan hariannya. “Kelak bila perang usai,” harap Anne. Maka ia pun mulai menyortir beberapa bagian yang dianggap tidak menarik dan menambahkan beberapa hal sesuai yang dia ingat. Dan dalam waktu yang sama, ia tetap menulis di buku hariannya yang lama.
Anne terakhir menulis catatan harian pada 1 Agustus 1944. Tiga hari kemudian, delapan orang yang bersembunyi di Secret Annex ditangkap. Miep Gies dan Bep Voskuijl, dua orang sekretaris yang bekerja di gedung itu, menemukan catatan harian Anne berserakan di lantai. Demi keamanan, mereka menyimpannya di laci meja hingga perang usai. Sayang, sebelum buku itu terbit Anne keburu meninggal.
Otto Frank, ayah Anne, setelah meninbang-nimbang, berniat mewujudkan keinginan anaknya menerbitkan catatan harian. Dia pun melakukan seleksi, menyortir, dan membuat edisi ringkas. Edisi “suntingan” Otto inilah yang terbit pada 1947. Beberapa bagian dari catatan Anne dibuang di situ, seperti catatan tentang seksualitas. Kala itu, seks masih tabu diperbincangkan di hadapan public Jawatan Dokumentasi Perang Belanda yang bermarkas di Amsterdam, setelah memeroleh hak waris dari Otto untuk buku Anne, melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap isi buku harian Anne. Setelah melampaui proses penyelidikan yang melelahkan, buku harian Anne terbukti asli. Hasil penyelidikan inilah yang kemudian dikenal sebagai The Critical Edition of the Diary of a Young Girl.
"The 1965 revolt in Indonesia led to the deaths of hundreds of thousands of people accused of communist associations. Tohari asks why there are so few Indonesian writers who address this tragedy?”
“The Moral Responsibility of Indonesian Writers in Dealing with the Human Tragedy in PKI 1965 Revolt” ( http://www.ideaandsociety.acr.edu/pdfs/tohari.pdf/ )
Ahmad Tohari masih pemuda waktu itu. Setamat SMAN II Purwokerto, Tohari menjajal berbagai fakultas seperti ekonomi, sosial politik, dan kedokteran. Tak satu pun yang ia selesaikan. Tohari kemudian memilih menjadi wartawan di harian Merdeka Jakarta. Sebagai wartawan, Tohari dituntut untuk menjelaskan dan memberitakan fakta kepada khalayak umum.
Namun, dari sekian hal yang ia ketahui, yang mesti dibeberkan pada khalayak, ada satu hal yang ia sembunyikan. Bukan karena tak mau menyampaikan, malah membeberkannya yang ingin ia lakukan. Namun Tohari bingung dengan cara-nya. Kala itu Orde Baru tengah kuat-kuatnya mencengkeramkan kuku kekuasaannya di republik ini. Tohari menyadari betul itu. Dia tak mau berlaku gegabah, karena gegabah berarti kehilangan kesempatan menjadi agen sejarah.
Berbekal mesin ketik Tohari pun pulang ke kampung halamannya di kaki Gunung Slamet, meninggalkan pekerjaannya, menjaga jarak dengan hingar-bingar politik di Jakarta. Niatnya hanya satu: menuliskan apa yang harus ia tulis, yang menjadi kegelisahannya sejak lama—semacam nubuwat. Namun bukannya menulis fakta yang ia lakukan, Tohari malah menulis fiksi, sebuah cerita panjang, sebuah novel. Tohari tidak menjadi orang dengan keinginan mengumbar fakta sejarah—menjadi sejarawan, dia malah menjadi sastrawan, tukang cerita. “Ini strategi,” kata Tohari dalam sebuah perjumpaan dengan penulis.
Maka kita pun dapat membaca dalam karangan Tohari:
“Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui kebenaran sejarah. Maka pada suatu ketika orang dapat membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk.”
Tapi kuku kekuasaan ternyata masih terlampau jeli membaca strategi itu. Tohari ditangkap dan disekap selama beberapa hari. Tohari diinterogasi, dan novel yang ia tulis pun mesti dihilangkan beberapa bagiannya. Kelak, 22 tahun kemudian, setelah rezim Orde Baru jatuh, 11 halaman yang dihilangkan itu tampil kembali seperti dimaui Tohari. Novel yang pincang selama dua dekade lebih itu utuh lagi.
Begitulah kalau novel berbicara sejarah. “Sejarah itu kan, pribadi-pribadi yang bikin. Terserah yang bikinnya saja”, kata Pram.
Friday, February 22, 2008
Kalau Novel Berbicara Sejarah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment