Pada 29 Maret 1951, demikian sebut sebuah notulen berbahasa Belanda, sejumlah Jesuit berkumpul di Ignatius College Jogjakarta. Para Jesuit yang mengadakan vergadering itu antara lain J. Bakker, A. Djajasepoetra, J. Dijkstra, R. Soekarta, G. Vriens, dan P. Zoetmulder.
Hasilnya, sesuai anjuran superior missionis R.P.C. de Quay, SJ., rapat memutuskan untuk menerbitkan sebuah majalah sosial budaya, yang berkenaan dengan “pikiran-pikiran di bidang sosiologi, ekonomi, pendidikan, keluarga, dan bidang kemasyarakatan lain”. Rapat juga memutuskan bahwa majalah yang setebal 48 halaman dengan harga Rp. 7.50 per kuartal dan Rp. 2.50 per bulan itu, dipimpin N. Driyarkara.
Pada 14 Mei 1951 kembali diadakan rapat. Pada rapat kali ini terbentuk Badan Penerbit Basis sekaligus merundingkan anggaran dasar; yang kelak disahkan pada 2 Oktober 1952 dengan akta No. 7 notaris Tan A Sioe di Semarang. Badan Penerbit Basis diketuai A. Djajasepoetra, R. Soekarta sebagai bendahara, dan P. Zoetmulder redaktur. Begitulah, Basis kemudian dipimpin dua empu humaniora: N. Driyarkara dan P. Zoetmulder.
Basis yang terbit perdana pada 1 Oktober 1951 mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Menurut notulen 11 Januari 1955, tiras cetak Basis mencapai 3.280. Sebaran Basis waktu itu 1.755 di Jawa dan 1.420 di luar Jawa. Selain jaringan gereja Katolik dan masyarakat umum, pelanggan Basis termasuk juga Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan.
Sejak awal, majalah Basis menjadi saksi perkembangan demokrasi di Indonesia. Basis bahkan ikut “meramaikan” pemilihan umum pertama 1955. Ada cerita menarik terkait dengan pemilu itu.
Pada 1954 Basis menerbitkan tulisan terjemahan berjudul “Pedoman Demokrasi untuk Rakjat”. Menjelang pemilu 1955, tulisan itu ternyata amat dibutuhkan. Basis kemudian memutuskan menerbitkannya kembali dalam bentuk brosur. Tidak tanggung-tanggung, brosur dicetak 25.000 ditambah cetak ulang 5.000. Karena harga yang dipatok untuk brosur itu terlalu kecil, yaitu 75 sen per eksemplar, ditambah lagi potongan untuk pembeli jumlah besar, Basis merugi Rp 1.500,00.
Namun kerugian itu ternyata tidak dipermasalahkan oleh pengurus, karena tujuannya dianggap luhur, yaitu memberikan pedoman bagi rakyat. Demikianlah, Basis sejak itu terus berkembang menjadi pedoman masyarakat atas persoalan-persoalan yang dihadapi dengan pemecahan mendasar. Basis berkhidmat menjadi “wacana yang memungkinkan manusia makin manusiawi”.
Kata “Basis” sendiri berarti “dasar” atau “fundamen”. Namun, bagi Basis, artinya tidak sekadar itu. Pada rapat 29 Maret 1951, para pendiri sepakat nama majalah nantinya “mengingatkan orang pada pengertian psyche nihae”, yaitu “jiwa”. Namun, karena waktu itu ada majalah bernama “Djiwa Baru”, mereka tak ingin membuat nama padanan. Untuk bertahan pada niatan semula, diputuskanlah nama “Basis”. Jadi, lebih dari sekadar “dasar” atau “fundamen”, Basis bermakna “kedalaman”, “kebatinan”, “prinsip kehidupan”, dan “spiritualitas”.
Harmonisasi unik antara dimensi “kemanusiaan” dan “spiritualitas” yang berujung pada “kedalaman” menjadi ruh dalam setiap sajian-sajian Basis. Tekanan pada “kedalaman” juga membuat nuansa filsafat mengental. Bukankah filsafat adalah inti atau sisi “kedalaman” dari semua pengetahuan?
Namun jangan harap Anda menemukan di majalah ini hal “mengawang-awang”, sebagaimana yang lazim ditemukan dalam filsafat. Di dalam isian berlangganannya, majalah dengan motto “Jurnalisme seribu mata: Basis menembus fakta” ini “berupaya untuk tidak hanya menyajikan fakta sebagaimana dilakukan media-media lain, tetapi juga membantu pembaca memahami fakta-fakta yang ada dalam konteks kehidupan bangsa ini, dihadapkan pada nilai-nilai lokal dan universal yang mestinya diikuti”.
Intinya, sebagaimana adagium salah seorang redakturnya sekarang, Frans Magnis-Suseno, titik berangkat Basis adalah “berfilsafat dari konteks”. Maka selain menekankan “kedalaman”, Basis juga amat mempertimbangkan kontekstualitas. Kontekstualitas ini malah terkadang harus berhadapan dengan tema ancangan yang disusun sejak awal tahun. Dikatakan, “Ancangan tema … dipegang secara fleksibel, artinya jika keadaan (sikon) bicara lain, tema dapat disesuaikan, bahkan diubah sama sekali.”
Tema-tema yang pernah diangkat Basis antara lain: tema pendidikan yang rutin muncul pada edisi Juli-Agustus, tema Inul dan seks yang muncul sebagai respons atas fenomena Inul dan larisnya buku Jakarta Undercover, tema tokoh filsafat (Habermas, Derrida, Foucault, dll) yang disesuaikan dengan kejadian dan respons filosofis sang tokoh atau ketika tokoh itu berulang tahun, tema agama (misalnya kekerasan atas nama agama dan sufistik), maupun hukum.
Majalah yang sekarang beroplah 5000 eksemplar ini juga dalam tiap tahun rutin mengadakan diskusi terbatas. Pesertanya adalah internal Basis, undangan, dan para intelektual yang memaparkan wacana tertentu. Tema diskusi biasanya tema yang sedang hangat dan butuh kupasan lebih jauh. Misalnya tema keluarga ketika fenomena deagamisasi keluarga menguat dan tema agama terkait pertanyaan di akhir buku Karen Armstrong Sejarah Tuhan, “apakah agama punya masa depan?” Makalah dan hasil diskusi itu yang kemudian diterbitkan dalam suatu edisi.
Rubrikasi Basis sendiri tidak baku. Redaksi yang berkantor di penerbit Kanisius Jogjakarta sendiri hanya menyiapkan dua rubrik, yaitu “Tanda-tanda Zaman” dan “Bayang-bayang”. “Tanda-tanda zaman” yang ditulis Sindhunata, pemimpin umum dan pemimpin redaksi sekarang, adalah prolog, untuk membantu pembaca masuk dalam konteks bahasan keseluruhan. Sementara “Bayang-bayang” yang disiapkan oleh A. Sudiarja, dimaksudkan sebagai “sisi lain” setelah pembaca mencermati seluruh tulisan. Kalau “Tanda-tanda Zaman” hadir sebagai tulisan paling depan (hlm. 3), “Bayang-bayang” di halaman paling akhir. “Tanda-tanda Zaman” rutin menjumpai pembaca di setiap edisi, namun “Bayang-bayang” kadang muncul kadang istirahat.
Tulisan lain diserahkan kepada masyarakat umum. Rubrikasi juga disesuaikan dengan tulisan yang masuk. Namun demikian, terkadang dalam suatu edisi tak ada sama sekali tulisan dari masyarakat. Maka seluruh tulisan sudah pasti dikerjakan pemimpin redaksi Sindhunata. Meski begitu, karena bobot tulisan penulis serbabisa ini tidak diragukan lagi, dengan tema merentang dari teologi hingga sepakbola, dari cikar bobrok hingga mal, masyarakat tetap saja setia berlangganan.
Selain sesak dengan senarai tulisan, majalah dwibulanan ini juga menyajikan foto serta gambar di sedikit lembarannya. Foto atau gambar bisa dikirimkan siapa saja. Namun yang terbanyak adalah reproduksi dari majalah berbahasa Jerman Der Spiegel. Iklan hanya menghiasi sampul belakang, serta sampul depan-dalam dan belakang-dalam. Iklan hampir tak pernah dijumpai di lembaran isi, meski itu dimungkinkan dengan membayar tidak begitu mahal dibanding majalah lain.
Tuesday, January 8, 2008
Jurnalisme Seribu Mata
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment