Tuesday, June 2, 2009

Perempuan Penjaga Api


Dian=lampu tradisonal dari Jawa

Hari 1: Perempuan berkebaya, terjaga sepanjang malam, menjaga nyala dian. Apinya tidak boleh padam....apinya tak boleh padam, tekadnya. Api adalah lambang kehidupan.

Hari ke 2 : Perempuan ini tetap saja menjaga dian..njalanya tak meredup tapi tetap saja ia menjagannya. Dengan tubuh yang renta di usianya yang menjelang 50 tahun ia tetap terlihat menarik dan menawan. Guratan di wajahnya seperti lukisan alam.

Hari ke3: Perempuan itu tetap menjaga dian. Sanggulan rambutnya masih rapi. Matanya masih saja mengarah pada dian itu. Dia pergi ..dan masuk lagi dengan sepincuk bungan mawar merah dan putih. Bunga itu ia letakan dipinggir dian.

Hari ke 4: Perempuan itu menatap dian. Mata tak bulat, kecil dengan sepasang alis yang tebal ...mata seperti ini hanyalah milik perempuan Jawa. Ia menerawang, penuh kecemasan. Tapi ada harapan di sana, harapan sebuah kehidupan.

Hari ke 5: Perempuan itu masih saja duduk bersimpuh menatap nyala api dian. Ketika nyala apinya meredup cepat-cepat tangan-nya menerungkup nyala api agar tidak megecil. Dia berkomat-kamit seperti mengeluarkan mantra ketika api itu mengecil. Wajahnya memerah...ia terus berkomat kamit.

Hari ke 6: Wajah cantiknya, ia adalah tipikal face Jawa. Perempuan Solo nan anggun, namun penuh karakter. Wajahnya menyiratkan banyak kehilangan dalam hidup..tapi nampaknya ia tetap saja nrimo seperti perempuan-perempuan Jawa lainnya. Kali ini masih saja ia menunggui dian itu.

Hari ke 7: Dian itu masih menyala. Perempuan lain masuk membawakan apem, bunga mawar dan kantil lengkap dengan kemenyan. Ia berikan kepada perempuan yang masih duduk di dekat dian itu.

Hari ke 8: Api dian itu memantul-mantul bandul kalung yang melingkar di leher perempuan itu. Gelang emasnya, dan cicin yang melingkar di jari-jarinya berkilau-kilau dengan pantulan api dian itu. Jelas ia bukan dari golongan rendahan. Ia bangsawan atau orang yang cukup berada.

Hari ke 9: Perempuan penjaga dian itu adalah bekas penggurus Poetri Indonesia Opgericht Bondowoso. Keteguhannya dalam berorganisasi seteguh ia menjaga nyala dian itu.

Hari ke 10: Ia bersimpuh di depan dian. Perempuan itu berbisik ”Tidak boleh berakhir”.

Hari ke 11: Tahun 1927 silam ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dan dian itu adalah kehidupan sang bayi.

Hari ke 12: Perempuan ini menyusui bayinya hingga tumbuh. Sekira 3 tahun kemudian ia kirimkan anak ilaki-lakinya ke luar kota untuk belajar banyak hal.

Hari ke 13: Anak laki-lakinya itu adalah segala-galanya bagi perempuan itu.

Hari ke 14: Rumah bertingkat tiga, dekat sungai dengan ruang bawah tanah tempat berkumpul orang-orang membicara perlawanan, feodalisme, tuan tanah dan kaum penjajah. Anak itu tumbuh bersama kakeknya.

Hari 15: Pergerakan kaum merah 1926 membawa ayah anak itu diciduk kemudian, bernasip naas masuk ke gerbong maut.

Hari 16, 17, 18, 19, 20: Perempuan itu terus ada menjaga nyala dian. Tidak ada letih dan lelah.

Hari 21, 22, 23, 24, 25,26,27,28: Perempuan itu tetap menjaga nyala dian itu.Ia tidak menangis, tertidur dan terjaga disamping dian itu.

Hari ke 29: Nyala api tetap terjaga....bahkan apinya kian membesar. Matanya bebinar. Karena harapannya adalah kehidupan bagi si anak.

Hari ke 30: Apinya tak padam...bibir perempuan itu tersungging..ia tersenyum puas. Ia berkata lirih: ’Anakku Njoto tidak mati..dia hidup dan tak mati”. Perempuan itu tidak sadar, di luar sana anaknya telah hilang tak tahu rimbanya....api dalam dian itu adalah ideologinya yang tetap hidup. Perempuan itu berdiri meninggalkan api dalam dian yang terus menyala. Di akhir tahun 1965.(Rhoma, catatan sebelum tidur)

2 comments:

Puspita said...

Selamat Pagi. Salam kenal.

dian handayani said...

Dian = Nama Aku... :D