Sunday, March 18, 2007

Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak


Judul: The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak
Penulis: Ignatius Haryanto
Kata Pengantar: Aristides Katoppo
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta
Cetakan: I 2006
Tebal: xxvi + 120 halaman


Tak pelak lagi, The New York Times adalah sebuah koran yang besar. Setidaknya, para wartawan koran ini telah diganjar 94 penghargaan Pulitzer semenjak 1918 hingga 2006 atas berbagai prestasinya di bidang jurnalistik. Penghargaan ini terbanyak dari yang diterima koran mana pun. Pulitzer, kita tahu, adalah penghargaan tertinggi yang diberikan bagi insan jurnalisme di Amerika Serikat. Mengagumkan!

Kagum atas prestasi The Times, nama populer The New York Times, membuat Ignatius Haryanto, mantan wartawan majalah Tempo, menyarikan tiga buku penting: The Trust: The Private and Powerful Family Behind The New York Times karya Susan E. Thift dan Alex S. Jones; The Times of My Life and My Life with The Times yang merupakan biografi Max Frankel, pemimpin redaksi The Times; dan The Kingdom and The Power tulisan Gay Talese, mantan wartawan The Times. Hasilnya: buku tipis The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak ini.

Pada awalnya, The Times bukanlah koran dalam kategori sukses. Tersandung masalah keuangan, pemilik asal koran ini, R. Miller, berniat menjualnya. Mendengar rencana penjualan itu, Adolph Ochs, yang kemudian memiliki koran terbesar di Amerika Serikat dan dunia ini, mendatangi sejumlah pebisnis agar mau berinvestasi. Pada 1896 The Times resmi berpindah tangan kepada Ochs.

Begitu memegang The Times, Ochs merombak segi pemberitaan dan pemasaran koran ini. Berita yang disajikan The Times awalnya berita ekonomi, dan kemudian berita hukum dan pemerintahan. Ochs memegang prinsip kerja jurnalistik “menulis berita tanpa takut atau memihak” (hlm. 50) dan menekankan objektifitas pemberitaan (objective news reporting)—sesuatu yang tidak populer saat itu, dimana suratkabar sangat partisan. Karena berita yang diangkatnya, kepercayaan publik terhadap berita-berita The Times meningkat.

The Times tidak banyak menyajikan berita populer dan sensasional, karena Ochs sendiri anti dengan berita-berita seperti itu.

Setelah pemberitaan, Ochs berganti membenahi pemasaran. Pernah Ochs memasarkan The Times hanya dengan 1 sen saja. Imej koran murah pun melekat, dan oplah The Times langsung naik tajam. Kalau saat membeli The Times hanya beroplah 9000 eksemplar saja, tiga tahun kemudian mencapai 75 ribu eksemplar. Angka itu terus meningkat. Pada 1920-an tirasnya mencapai 780 ribu eksemplar.

Adolph Ochs lahir di Cincinnati, Ohio pada 1858 sebagai keturunan Yahudi Jerman. Dunia tinta bukanlah baru bagi Ochs. Pada usia 11 tahun Ochs meninggalkan sekolah dasar dan bekerja sebagai asisten cetak di Knoxville Chronicle. Ochs juga pernah membuat liputan untuk koran Lousivile Courir-Jornal. Bermodal pinjaman sebanyak 250 dolar, usia 19 tahun Ochs mencoba membangun bisnis persuratkabaran dengan mendirikan Chattanooga Daily yang kemudian menjadi Chattanooga Times. Koran ini kurang sukses. Tapi dari sinilah Ochs banyak belajar—sesuatu yang teramat berguna saat dia memimpin The Times nantinya.

Tentu nama di balik sukses The Times tidak hanya Adolph Ochs. Nama lain yang sangat berjasa adalah Arthur Hays Sulzberger, suami Iphigene Bertha Ochs, anak satu-satunya Adolph Ochs. Arthur memimpin The Times sepeninggal Ochs pada 1935. Arthur meneruskan prinsip mertuanya tentang pemberitaan. Bagi Arthur, jurnalis tak lain seorang penerang, yang menghadirkan bintang-gemintang (hlm. 50). Setelah Arthur, The Times dipimpin putra Arthur bernama Arthur Ochs “Punch” Sulzberger (1963-1992), dan kemudian Arthur Ochs Sulzberger Jr. (1992-sekarang).

Sukses The Times adalah juga sukses keluarga Ochs Sulzberger. Dinasti Ochs Sulzberger sukses memperoleh kepercayaan publik. Keberhasilan bisnis media yang dijalankan mereka menjadi bukti keluarga ini mampu mewariskan kepada penerusnya tidak hanya perusahaan, tapi juga sebuah idealisme atau semangat “menulis berita tanpa takut atau memihak”. Tidak berlebihan Susan E. Thift dan Alex S. Jones menyebut keluarga ini sebagai “keluarga sangat kuat” (powerful family).

Buku karya Ignatius Haryanto ini tidak hanya menghimpun kisah sukses The Times. Haryanto juga memaparkan sederetan batu rintangan, bahkan sandungan menghadang di tengah nama besar The Times. Salah satu kasus terheboh barangkali adalah berita palsu atau jiplakan yang dibuat Jayson Blair, wartawan muda The Times tentang kisah Jessica D. Lynch, tentara wanita Amerika Serikat yang tertawan dalam invasi Amerika ke Irak pada Maret 2003. Berita tersebut terbukti jiplakan dari berita yang ditulis wartawan sebuah surat kabar di Texas.

Atas kasus itu, The Times gempar. Namun dengan prinsip “menulis berita tanpa takut atau memihak” warisan Adolph Ochs, mereka bergerak cepat membuat tim investigasi, memecat Blair, meminta maaf kepada publik, serta mengoreksi kode etik pemberitaan mereka.

Buku ini bisa menjadi pembelajaran penting bagi insan pers di negeri ini. Satu catatan yang bisa diberikan adalah bahwa sukses The Times tidak hanya karena faktor internal The Times. Yang tak penting adalah faktor eksternal berupa undang-undang dan iklim kebebasan pers yang memadai di Amerika Serikat. Dalam konteks Indonesia, “menulis berita tanpa takut atau memihak” sering harus berbenturan dengan rezim kuasa yang acap mengancam kelangsungan sebuah surat kabar atau wartawannya. Namun demikian, prinsip itu sejatinya tetap diperjuangkan.

2 comments:

Anonymous said...

Mba Rhoma,
terima kasih sudah mengulas buku karya Mas Har. Saya jadi dapat informasi baru nih. Karena kebetulan, Ign. Haryanto itu guru menulis saya.

Salam kenal!

cKAja said...

sepatutnya menjadi jurnalis memang kita tak boleh memihak. terimakasih ulasannya